Tantangan Integrasi Transportasi Publik Ibu Kota (2-habis)
Waktu tunggu menjadi hal penting lain dalam integrasi moda transportasi di Jakarta dan bodetabek. Waktu tunggu moda yang lama juga akan membuat orang enggan naik angkutan umum.
Oleh
M Puteri Rosalina
·5 menit baca
Waktu tunggu menjadi hal penting lain dalam integrasi moda transportasi di Jakarta dan bodetabek. Waktu tunggu moda yang lama juga akan membuat orang enggan naik angkutan umum. Waktu tunggu antarmoda yang diharapkan bagian terbesar responden (51,15 persen) adalah kurang dari 5 menit. Sepertiga responden masih menoleransi waktu tunggu 6 hingga 10 menit.
Kenyataannya, dari pengalaman penulis menggunakan angkutan umum, rata-rata waktu tunggu angkutan umum di 6 hingga 10 menit. Penulis mencoba rute Kota Tua di utara Jakarta hingga kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, bersambung ke arah Tangerang Selatan. Total waktu perjalanan mencapai sekitar 2 jam, dengan tiga kali ganti moda, yakni Bus Transjakarta Koridor 1, MRT, Transjakarta koridor 8, serta terakhir kereta Komuter lintas Serpong.
Waktu perjalanan selama 2 jam tersebut jika dilakukan pada hari kerja sangat menyita waktu perjalanan dan terasa membosankan. Meski di dalam bus Transjakarta dan MRT terasa nyaman, tetap tak akan bisa menandingi waktu tempuh yang singkat jika naik sepeda motor pribadi ataupun ojek daring.
Lamanya waktu perjalanan dari Bekasi-Palmerah menggunakan kereta komuter seperti itulah yang juga membuat Dewi (46) urung menggunakan kereta komuter. Waktu perjalanan menggunakan kereta komuter memakan 2,5 jam dengan 4 kali berganti angkutan. Jarak dari rumahnya di Bekasi ke kantor di Palmerah sekitar 30 km. Akhirnya, Dewi memilih menggunakan bus dari Bekasi hingga Komdak, naik omprengan ataupun menggunakan taksi.
Lokasi pergantian moda
Idealnya, menurut Institute for Transportasi and Development Policy, ada koneksi langsung antarmoda sehingga lebih cepat, hemat waktu tunggu dan waktu transfer, serta lebih mudah. Koneksi perlu dilengkapi pula dengan kenyamanan pejalan kaki berupa koridor yang terlindung, pohon perindang, trotoar yang bersih dan bebas gangguan.
Tempat menunggu yang nyaman dengan memakai kanopi sebagai peneduh juga diharapkan oleh mayoritas responden (87 persen). Kanopi yang akan melindungi dari hujan dan panas sudah cukup bagi warga Jabodetabek sebagai tempat menunggu, asalkan jadwal angkutan umum tepat waktu dan tidak perlu berjalan jauh.
Contoh buruk integrasi moda terjadi di Simpang CSW, Blok M, Jakarta Selatan yang merupakan tempat pelintasan bus Transjakarta Koridor 1 dan koridor 13, serta MRT.
Integrasi TJ Koridor 1 dengan MRT sudah cukup baik, meski penumpang harus berpindah tempat menunggu dari halte TJ Al Azhar dengan Stasiun MRT ASEAN, hanya sekitar 50 meter dan disediakan fasilitas penyeberangan dan trotoar.
Beda halnya integrasi antara koridor 13 dan Stasiun MRT ASEAN. Halte Koridor 13, tepat di atas stasiun MRT ASEAN, hanya halte setinggi 23 meter tersebut hanya dihubungan dengan tangga, tanpa eskalator ataupun lift. Jelas saja, integrasi antara TJ koridor 13 dan MRT mati, tidak ada yang mau menggunakan fasilitas integrasi yang ada.
Sementara lokasi pergantian moda yang ideal adalah kawasan Dukuh Atas. Dukuh Atas tempat transit moda MRT, bus Transjakarta, Stasiun Kereta Komuter dan Kereta Bandara dihubungkan oleh tempat menunggu Terowongan Dukuh Atas. Terowongan Dukuh Atas sementara ini bisa dijadikan tempat menunggu oleh para penumpang antarmoda. Kebetulan di sekitarnya ada kawasan kuliner. Sambil menunggu pergantian moda, para penumpang bisa menikmati kuliner kaki lima seperti mi ayam, bubur ayam, coffee shop, dan restoran Manado.
Sebanyak 9 persen responden menginginkan adanya fasilitas resto dan tempat belanja di tempat pergantian antarmoda. Keinginan responden tersebut diakomodasi dengan kehadiran Kawasan Berorientasi Transit (TOD) yang salah satu fasilitasnya adalah shopping centre dan tempat makan.
Kawasan TOD, menurut Pergub DKI Jakarta No 44 Tahun 2017, merupakan kawasan campuran permukiman dan komersial dengan aksesibilitas tinggi terhadap angkutan umum massal rel dan jalan. Stasiun dan terminal angkutan massal menjadi pusat kawasan dengan bangunan kepadatan tinggi.
Pilih ojek daring
Pemerintah telah menetapkan 54 kawasan TOD di Jabodetabek melalui Peraturan Presiden No 55 Tahun 2018 mengenai Rencana Induk Transportasi Jabodetabek 2018-2029. Sebanyak 24 merupakan TOD skala kota dan sisanya skala subkota dan lingkungan yang skala layanannya lebih kecil.
Sejak Agustus 2019, harapan tersebut telah terwujud. Pemprov DKI bekerja sama dengan Forum Diskusi Transportasi Jakarta (FDTJ) membuat peta jaringan transportasi umum Jakarta yang dapat diunduh dan didapatkan secara gratis oleh warga. Meski belum menyeluruh, informasi soal rute transportasi umum telah terpasang di 28 halte sepanjang Jalan Sudirman sampai jalan MH Thamrin.
Namun, upaya pemerintah dalam menyediakan moda integrasi belum maksimal dimanfaatkan oleh warga Jabodetabek. Terbukti separuh lebih responden memilih menggunakan ojek daring setelah keluar dari halte Transjakarta atau stasiun komuter. Bahkan, sekitar 12 persen memilih naik sepeda motor ataupun mobil pribadi sebagai angkutan pengumpan.
Hasil survei jajak pendapat ini sejalan dengan Survei yang dilakukan oleh ITDP pada 2018. Hasil studi ITDP ”Profil dan Performa Angkutan Umum di Jakarta” menemukan adanya penurunan penumpang angkutan umum hingga 30 persen. Selain itu pada survei lain ITDP dihasilkan, 58 persen pengguna ojek daring, sebelumnya adalah pengguna angkutan umum. Dua temuan ini menunjukkan, penumpang angkutan umum cenderung memilih ojek daring sebagai ganti angkutan umum.
Salah satu alasan warga belum memanfaatkan moda integrasi, berharap hanya ada satu kali pergantian moda, dicetuskan oleh sekitar sepertiga responden. Jika perpindahan moda sudah lebih dari dua kali, akan membuat enggan warga untuk menggunakan moda integrasi. Ojek daring pasti akan dipakai untuk mengantar menuju tempat aktivitas selepas keluar dari halte Transjakarta ataupun stasiun kereta komuter.
Sistem integrasi seluruh moda umum di Jabodetabek menjadi salah satu kunci untuk menarik masyarakat menggunakan angkutan umum. Integrasi moda tak sekadar menciptakan konektivitas rute antardua atau lebih angkutan umum. Namun, juga harus dipikirkan jangan sampai rute konektivitas tersebut lebih dari tiga moda karena hal tersebut akan semakin membuat masyarakat enggan untuk menggunakan angkutan umum.
Mengajak warga Jabodetabek untuk beralih menggunakan transportasi publik bukanlah hal yang mudah. Selain menyediakan angkutan umum yang memadai serta sistem integrasi moda yang baik, juga diperlukan faktor pendorong lainnya seperti kebijakan ganjil-genap ataupun jalan berbayar (ERP) agar semakin besar alasan warga beralih menggunakan angkutan umum.