Tinjau Ulang Sistem Pembagian Waktu Pelatnas
Kementerian Pemuda dan Olahraga diharapkan meninjau ulang sistem kluster cabang-cabang olahraga, supaya pembinaan atlet bisa berlangsung sepanjang tahun. Saat ini, hanya kluster satu yang pelatnasnya setahun penuh.
JAKARTA, KOMPAS – Dengan dalih keterbatasan anggaran, Kementerian Pemuda dan Olahraga melakukan pembagian waktu pemusatan latihan terhadap cabang olahraga. Praktis, yang bukan golongan cabang elite atau prioritas tidak bisa melangsungkan pelatnas setahun penuh.
Kebijakan itu dinilai salah kaprah karena yang namanya pelatnas harus berkelanjutan, tidak boleh dibatasi. Untuk itu, Kemenpora harus meninjau ulang sistem pembagian waktu pelatnas tersebut agar tidak menjadi preseden buruk berkelanjutan terhadap pembinaan atlet tingkat nasional.
Mulai tahun ini, Kemenpora menyalurkan anggaran bantuan pelatnas dengan membagi cabang olahraga menjadi empat kluster sebagaimana riwayat prestasi dan potensi ke depan. Kluster pertama adalah cabang peraih medali Olimpiade, yaitu bulu tangkis dan angkat besi.
Kluster kedua diisi sembilan cabang olahraga dengan prestasi medali emas Asian Games, termasuk dayung, pencak silat, sepeda, dan wushu. Sepuluh cabang olahraga dengan prestasi SEA Games masuk dalam kluster ketiga, termasuk renang, senam, dan panahan. Sebanyak 33 cabang olahraga lainnya masuk dalam kelompok keempat.
Pengelompokan itu dilakukan untuk mengatur alokasi anggaran. Cabang yang masuk kluster pertama akan mendapatkan anggaran bantuan pelatnas lebih besar dibanding cabang kluster kedua, ketiga, dan keempat. Cara itu sejatinya cukup ideal mengingat anggaran Kemenpora yang terbatas.
Namun, yang menjadi masalah, Kemenpora justru membatasi pelatnas cabang. Cabang yang masuk kluster pertama dipersilakan melakukan pelatnas setahun penuh. Sedangkan cabang kluster kedua, ketiga, dan keempat rata-rata baru mulai pelatnas pertengahan tahun ini. Bahkan, ada sejumlah cabang yang pelatnasnya hanya tiga bulan.
Situasi itu tidak sesuai dengan semangat pembinaan atlet yang harusnya berkelanjutan tanpa henti. ”Atlet rowing misalnya, kalau berhenti latihan sebentar, itu butuh usaha dari nol lagi untuk membentuk daya tahan mereka. Apalagi olahraga ini sangat mementingkan kekuatan fisik atlet. Latihan ini harus langsung dikontrol tidak bisa dilepas satu-satu,” ujar pelatih kepala rowing PB PODSI Muhammad Hadris di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, Selasa lalu.
Menimbulkan masalah
Pada prinsipnya, semua cabang ingin melakukan pelatnas satu tahun penuh untuk menjaga kesinambungan latihan. Namun, karena keterbatasan anggaran dari Kemenpora, hal itu justru menimbulkan sejumlah masalah.
Di cabang dayung PB PODSI, Kemenpora mengelompokkan cabang itu dalam kluster kedua dan memberikan anggaran bantuan pelatnas sekitar Rp 12 miliar dengan kegiatan pada Juni-Desember 2019. Namun, karena pelatnas sudah berlangsung sejak awal tahun, anggaran itu digunakan untuk membayar kebutuhan atlet maupun pelatih selama Januari-Juli.
Imbasnya, paling tidak semua atlet dan pelatih displin rowing belum menerima gaji lima bulan terakhir. Mereka terakhir mendapatkan gaji yang dirapel Juni-Juli. Belakangan oleh Kemenpora, PB PODSI dinilai menyalahi aturan dengan mengambil keputusan sepihak menggunakan anggaran bantuan pelatnas Juni-Desember 2019 menjadi untuk Januari-Juli.
Ternyata, masalah itu tidak hanya terjadi di PB PODSI. Situasi tak jauh berbeda terjadi di displin sofbol dan bisbol PB Perbasasi. Manajer pelatnas sofbol putri Iwan Jarot dihubungi dari Jakarta, Kamis (14/11/2019), mengatakan, pihaknya tidak bisa memaksa diri melakukan pelatnas sejak awal tahun. Sebagai konsekuensinya, para atlet melakukan latihan sendiri di daerah masing-masing pasca melakukan seleknas pada Februari lalu.
Mereka hanya dipanggil ketika diperlukan membela timnas, seperti ketika mengikuti Piala Asia Softball Putri 2019 di Jakarta, April lalu. Namun, karena kebutuhan ikut kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020 di Shanghai, China, September dan persiapan SEA Games 2019 Filipina, 17 atlet yang ada dipanggil untuk sentralisasi latihan di Jakarta sejak September.
Mirisnya, PB Perbasasi yang masuk cabang kluster keempat itu belum melakukan MOU dengan Kemenpora. Jikapun sudah ada tandatangan nota kesepahaman, PB Perbasasi yang kemungkinan dapat anggaran tak lebih dari Rp 3,5 miliar itu hanya diberikan kesempatan pelatnas selama Oktober-Desember.
Akibatnya, Iwan bersama sejumlah donatur harus patungan menalangi secara mandiri semua kebutuhan pelatnas. Mereka menyediakan akomodasi, konsumsi, transportasi, membayar sewa lapangan di Kompleks GBK, hingga kebutuhan pergi ikut kualifikasi Olimpiade 2020.
”Kami semua siap membantu karena berpikir pengurus cabang ataupun pemerintah akan menggantinya. Namun, dua pekan sebelum SEA Games, itu belum juga ada kejelasan. Kami kan ngos-ngosan juga kalau harus terus menalangi kebutuhan pelatnas,” katanya.
Wakil Ketua Umum PB Perbasasi Leo Agus menuturkan, pihaknya akan melakukan MOU dengan Kemenpora pada Jumat (15/11/2019). Sebelumnya, kesepakatan itu tertunda karena ketua umum mereka selalu berada di luar negeri saat akan melakukan tanda tangan. Di sisi lain, mereka menilai MOU di akhir tahun akan lebih memudahkan dalam pembuatan laporan pertanggungjawaban.
Harap ada perubahan
Sejumlah cabang berharap cara pembatasan waktu pelatnas itu ditinjau ulang pada tahun anggaran yang akan datang. Sebab, sistem itu sangat tidak bijaksana untuk keberlanjutan pembinaan. ”Di cabang apapun, pembinaan itu harus berkelanjutan. Di sofbol dan bisbol, minimal pemerintah memfasilitasi tim ikut sejumlah kejuaraan internasional yang tersebar di sepanjang tahun. Jangan hanya dibatasi pada waktu-waktu tertentu saja,” tutur Leo.
Pelatih pelatnas renang Albert C Sutanto mengutarakan, seharusnya Kemenpora tidak memukul rata pembagian anggaran berdasarkan kluster. Sebab, setiap cabang olahraga mempunyai karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda.
”Harus ada skala prioritas untuk membagi anggaran. Cabang Olimpiade dengan jumlah medali banyak dan kesulitan mendapat sponsor, harus jadi prioritas. Untuk renang, di tingkat Asia Tenggara saja persaingan sudah kelas dunia,” ujarnya.
Menpora Zainudin Amali mengatakan, pihaknya berencana meninjau ulang pembagian anggaran pelatnas berdasarkan sistem kluster. ”Sistem itu nanti kita lihat, bisa berubah. Kalau bagus nanti diteruskan, kalau jelek kita ubah,” katanya seusai konferensi pers di Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Zainudin menuturkan, sistem kluster sudah ditetapkan sebelum dirinya menjabat sebagai Menpora. Sistem itu dibuat berdasarkan kesepakatan antara Kemenpora dan cabang olahraga. Terkait durasi pelatnas, misalnya, tidak semua cabang olahraga menerima dukungan anggaran penuh satu tahun.
”Ada kesepakatan bahwa ada pelatnas dari pertengahan ke akhir tahun. Ketersediaan anggaran memang begitu, masa suruh kami ambilkan (uang) dari mana. Kalau cabang menggelar pelatnas selama setahun, kemampuan keuangan kami cuma tiga hingga enam bulan, bagaimana?” katanya.
Menurut Zainudin, kepastian perubahan sistem kluster akan dibuat setelah SEA Games 2019. ”Proses pembagian anggaran pelatas berdasarkan sistem kluster termasuk agenda tata kelola anggaran yang akan kami review. Kami berkomitmen untuk mereformasi tata kelola,” tuturnya.
Dalam kesempatan itu, Zainudin menyampaikan, Indonesia mengirim 837 atlet dari 51 cabang olahraga untuk bersaing di SEA Games 2019. Ia mengatakan bahwa target medali untuk SEA Games 2019 sebanyak 45 emas. Jumlah target ini turun dari sebelumnya, yaitu meraih lebih dari 50 emas.
”Kalau diminta berapa target perkiraan yang dilaporkan ke kami sekitar 50 emas, tapi kami diskon lagi karena ada margin error, karena main di luar negeri, jadi kami pastikan dengan CdM menjadi sekitar 45 emas. Ini lebih tinggi dibandingkan perolehan sebelumnya, 38 emas,” ujar Menpora.
Zainudin menjelaskan, komposisi kontingen Indonesia terdiri atas 60 persen atlet muda dan 40 persen senior. ”Kami tetap membutuhkan senior untuk jadi motivasi atlet-atlet muda, dan menambah pengalaman mereka dalam bertanding,” katanya.