Berlari pada cuaca panas bukanlah perkara mudah karena badan akan cepat lelah. Karena itu, pelari harus pintar mengatur kecepatan dalam berlari dan kebutuhan cairan dalam tubuh.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo
·4 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Berlari pada cuaca panas bukanlah perkara mudah karena badan akan cepat lelah. Karena itu, pelari harus pintar mengatur kecepatan dalam berlari dan kebutuhan cairan dalam tubuh.
Direktur Lomba Borobudur Marathon Andreas Kansil mengakui, pada tiga hari terakhir cuaca di Magelang cukup panas dan diperkirakan juga akan terjadi pada saat perlombaan Borobudur Marathon pada Minggu (17/11/2019). Ia telah mengukur temperatur suhu di sekitar area lintasan lari dan hasilnya mencapai 32 derajat celsius dengan kelembaban di atas 70 persen.
Dengan kondisi cuaca yang cukup panas tersebut, pelari kemungkinan akan sulit menghasilkan catatan waktu terbaiknya. Tenaga mereka akan cepat terkuras. Dalam situasi seperti ini, pelari harus dapat memastikan bahwa kondisi tubuhnya tetap baik.
”Jangan tunggu tubuh sangat lemas untuk istirahat. Dengarkan sinyal tubuh. Jika sudah merasa pusing, mual, dan disorientasi sebaiknya langsung ke tim medis yang telah disiapkan di pos minum (water station),” ujar Andreas saat ditemui di Magelang, Jawa Tengah, Kamis (14/11/2019).
Menurut Andreas, cuaca yang panas ini akan berpengaruh pada pelari separuh maraton (21 kilometer) dan maraton (42,195 kilometer). Untuk peserta kategori 10 kilometer, mereka tidak akan terlalu terpengaruh karena jarak tempuhnya tidak terlalu jauh.
Ia menyarankan, ketika menemukan water station, sebaiknya pelari menambah asupan cairan dengan minum air mineral dan isotonik. Pelari dapat meminum air lebih banyak dibandingkan ketika berlari di cuaca normal. Akan tetapi, pelari sebaiknya minum air secukupnya agar perut tidak sakit saat berlari. Selain itu, pelari juga dapat menyiramkan air mineral atau meletakkan spons ke tubuhnya agar lebih segar.
Dokter spesialis olahraga, Michael Triangto, mengatakan, pelari seharusnya mempersiapkan diri tidak hanya dari sisi teknik, tetapi juga dari sisi kesehatan minimal satu minggu sebelum perlombaan. Hal itu diperlukan agar pelari memiliki waktu untuk memperbaiki komposisi tubuh dengan mengecek ke laboratorium.
Salah satu hal penting yang harus diperhatikan adalah kecukupan cairan. Pelari dapat mengeceknya dengan melihat air kencing di WC duduk. Ketika air terlihat berwarna kuning atau seperti teh, berarti tubuh kekurangan cairan. Maka, sebaiknya segera minum air mineral.
Apabila air terlihat keruh atau kental, hal itu menunjukkan tubuh mengalami dehidrasi yang terjadi karena tubuh banyak kehilangan elektrolit, natrium, kalium, dan magnesium. Jika hal ini terjadi, tubuh bisa mengalami kejang-kejang atau konsentrasi otak melemah.
Untuk menghindari dehidrasi, setiap pelari harus bisa memahami kondisi tubuhnya masing-masing. Selain mempersiapkan kesehatannya, pelari juga harus memperhatikan pakaian yang digunakan. ”Ketika berlari di cuaca panas, jangan menggunakan baju yang banyak mengeluarkan keringat,” ujar Michael.
Selain persiapan dari pelari, Michael juga menyarankan agar panitia siap mengantisipasi dengan menyediakan pos minum yang cukup. Maksimal setiap setengah jam, pelari dapat memperoleh air minum. Di samping itu, panitia juga harus menyiapkan tim medis yang memadai agar siap menangani pelari yang mengalami masalah kesehatan.
Direktur Medis Borobudur Marathon 2019 Andi Kurniawan sudah mengantisipasi cuaca panas saat perlombaan dengan menyiapkan layanan medis sesuai standar internasional. ”Kami sudah siapkan pos medis di setiap 2,5 kilometer sebelum 21 km dan setiap 1,5 km setelah 21 km,” kata Andi.
Sebanyak 13 ambulans telah disiapkan di sepanjang rute maraton dan 5 ambulans di garis finis. Ia juga telah menyiapkan 24 pos medis yang dilengkapi dengan dokter dan petugas paramedis di setiap pos. Di garis finis, telah disiapkan tiga dokter spesialis olahraga. Selain itu, pada 1,5 km terakhir, telah disiapkan dokter spesialis olahraga yang akan berkeliling di sekitar lintasan.
Dokter yang dipersiapkan merupakan dokter olahraga dan dokter umum yang sudah terlatih dalam menangani masalah kesehatan pada lomba lari, salah satunya yang disebabkan karena suhu panas. Mereka juga siap untuk menangani pelari yang mengalami gangguan jantung.
Andi mengingatkan, ketika peserta sudah merasa kelelahan, sebaiknya langsung mendatangi pos medis. Ia berharap peserta tidak memaksakan diri apabila kondisi kesehatannya sudah tidak kuat lagi.
Pegiat lari, Riefa Istamar, menceritakan pengalamannya ketika berlari pada cuaca panas. ”Kalau cuaca panas, harus menurunkan kecepatan lari. Boleh memiliki ambisi, tetapi harus mengatur strategi dalam berlari dan jangan gengsi,” ujar Riefa.
Jika sudah merasa lelah, sebaiknya istirahat. Apabila dipaksakan, hasilnya juga tidak akan maksimal, bahkan bisa berakibat buruk.
Salah satu peserta Borobudur Marathon dari Magelang, Mahmud Syukur Djojo Saman (45), mengaku tidak khawatir dengan cuaca di Magelang yang panas karena telah berlatih lari minimal tiga kali dalam seminggu. Ia telah berlatih lari sejauh 10 km sehingga pada perlombaan ini Mahmud berani mengambil kategori separuh maraton atau 21 km.
Peserta separuh maraton lainnya dari Yogyakarta, Paulina Hany (29), juga tidak terkejut dengan cuaca panas di Borobudur Marathon karena telah mengikuti perlombaan ini sebanyak empat kali. Untuk mengatasi kekurangan cairan karena berlari di cuaca panas, ia akan selalu mampir di pos minum.
Sementara itu, peserta kategori 10 km dari Magelang, Oei Hong Djien (80), memilih untuk menikmati perlombaan ini dengan berjalan kaki. ”Saya tidak mungkin berlari. Yang terpenting dapat bersuka ria di acara ini,” kata kolektor dan kurator seni rupa tersebut.