Rencana menaikkan dana bantuan untuk partai politik secara signifikan di tengah menguatnya hegemoni partai perlu diwaspadai agar tidak semakin memperparah politik oligarki.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
Gagasan menaikkan dana bantuan untuk partai politik dalam jumlah yang signifikan perlu dibarengi perbaikan infrastruktur partai secara menyeluruh. Jika tidak, dikhawatirkan politik oligarki partai justru menguat.
JAKARTA, KOMPAS — Rencana menaikkan dana bantuan untuk partai politik secara signifikan di tengah menguatnya hegemoni partai perlu diwaspadai agar tidak semakin memperparah politik oligarki. Pembenahan regulasi sebagai prasyarat peningkatan dana bantuan harus menyertakan juga aspek penguatan demokrasi di internal partai.
Dalam kajian terkait dana bantuan partai politik dan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang dikembangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dana bantuan politik untuk partai akan ditentukan berdasarkan skor SIPP partai yang bersangkutan.
Adapun SIPP adalah sistem untuk mengukur kinerja partai dari lima aspek: keuangan partai, rekrutmen, kaderisasi, demokrasi internal, serta kode etik. Indeks SIPP akan mengukur keadaan partai secara tahunan. Pola penilaiannya bisa dilakukan partai melalui self-assesment yang disertai dokumen pendukung serta evaluasi oleh tim terpisah.
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI Moch Nurhasim mengatakan, dengan indeks itu, pemberian dana bantuan dari negara untuk partai diharapkan lebih terukur. Untuk saat ini, patokan pemberian dana bantuan untuk partai hanya berdasarkan jumlah perolehan suara partai saat pemilu serta status partai bersangkutan sebagai pemilik kursi di DPR.
”Semakin tinggi skor SIPP, dana bantuan yang diperoleh partai dari negara juga semakin besar. Ini cara menyiapkan sistem untuk mengukur perkembangan partai secara obyektif,” kata Hasim di Jakarta, Kamis (14/11/2019).
Syarat partai menerima kucuran dana bantuan yang besar dari negara tidak bisa hanya berpatok pada pertanggungjawaban akuntabilitas dan transparansi keuangan partai, tetapi juga perbaikan proses demokrasi di internal partai.
Hal itu berkaitan dengan proses penentuan pemimpin partai, pengurus partai, mekanisme pengambilan keputusan, penentuan pejabat publik dan calon anggota legislatif, serta desentralisasi kewenangan di partai.
Saat ini, proses demokrasi di sebagian besar partai cenderung macet. Sejumlah partai kembali dipimpin oleh ketua umum yang sama yang sudah memimpin lebih dari dua periode. Partai menunjukkan kecenderungan terjebak pada politik patronase.
Itu diperparah juga dengan tren ketiga partai itu dalam penyusunan pengurus partai yang ditetapkan secara sentralistik dan tunggal oleh ketua umum partai. Pengambilan keputusan penting lainnya, seperti penentuan pejabat publik dan calon anggota legislatif juga cenderung berlangsung tertutup, tidak demokratis, dan berdasarkan politik kedekatan, bukan meritokrasi.
Direktur Eksekutif untuk Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menilai pembenahan aspek demokrasi di internal partai penting menjadi pertimbangan di tengah menguatnya hegemoni partai. Dinamika politik tahun ini menunjukkan, partai tidak terhentikan ketika sudah kompak menyepakati suatu hal, meski ada penolakan keras publik.
Revisi Undang-Undang tentang KPK dan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) adalah contoh dua undang-undang yang kompak disepakati semua fraksi dan tetap disahkan, praktis tanpa membuka ruang partisipasi kepada publik.
”Prinsip dasarnya adalah bagaimana membuka ruang-ruang di partai kepada publik. Kalau langsung hadir dengan angka kenaikan dana banpol, tetapi parameter pembenahan partai sebagai lembaga demokrasi itu tertinggal, akan semakin sulit memberi ruang untuk publik,” ujar Titi.
Pandangan itu dibenarkan kalangan politisi. Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera mengatakan, pemerintah perlu hati-hati dengan wacana menaikkan dana bantuan politik itu jika tidak ada komitmen dari partai dan pemerintah sendiri untuk membenahi infrastruktur politik partai secara menyeluruh.
”Kalau uang ditambah, tetapi partai tetap begini-begini saja, sirkulasi kepemimpinan dan pengurus macet, justru yang terjadi elitisme semakin menguat, oligarki semakin menjadi-jadi, rakyat semakin tidak terlibat,” katanya.
Oleh karena itu, ia sepakat pembenahan regulasi dengan substansi yang terjamin dijadikan prasyarat kenaikan dana banpol. ”Jangan berpikir partai mau atau tidak (membenahi diri). Harus dipaksa (merevisi undang-undang). Jika tidak, dana banpol tidak usah dinaikkan,” ujarnya.