Stagnasi Neraca Perdagangan, Cermin Lesunya Industri Nasional
Pergerakan kinerja neraca perdagangan sepanjang Januari-Oktober 2019 cenderung lebih stagnan daripada periode sama 2017 dan 2018. Ini patut diwaspadai karena menunjukkan industri manufaktur nasional jalan di tempat.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pergerakan kinerja neraca perdagangan sepanjang Januari-Oktober 2019 cenderung lebih stagnan dibandingkan dengan periode sama tahun 2017 dan 2018. Hal ini patut diwaspadai karena menunjukkan industri manufaktur nasional jalan di tempat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kinerja perdagangan sepanjang Januari-Oktober 2019 defisit 1,78 miliar dollar AS. Nilai impor sepanjang Januari-Oktober 2019 sebesar 140,89 miliar dollar AS, sedangkan ekspornya senilai 139,10 miliar dollar AS.
”Pergerakan neraca perdagangan dari bulan ke bulan sepanjang Januari-Oktober 2019 cenderung datar, serta surplus dan defisitnya cenderung kecil. Pergerakan ini jauh berbeda dengan periode sama pada 2017 dan 2018,” kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers, Jumat (15/11/2019).
Data BPS juga menunjukkan, kinerja neraca perdagangan dari bulan ke bulan sepanjang Januari-Oktober 2019, kecuali April 2019, bergerak di rentang 1 miliar dollar AS, baik surplus maupun defisitnya. Pada periode Mei-Oktober 2019, pergerakannya di bawah kisaran 350 juta dollar AS.
Di sisi lain, surplus atau defisit neraca perdagangan dari bulan ke bulan sepanjang Januari-Oktober 2017 dan 2018 bergerak di rentang 1 miliar dollar AS hingga 2 miliar dollar AS.
Menurut Suhariyanto, Indonesia tetap harus berhati-hati dengan kinerja neraca perdagangan kendati pada Oktober 2019 neraca perdagangan surplus 161,3 juta dollar AS. Surplus itu mampu mengurangi defisit neraca perdagangan pada Januari-Oktober.
Hanya saja yang perlu dicermati, sepanjang Januari-Oktober 2019 nilai ekspor dan impor sama-sama turun. ”Impor dan ekspor tersebut masing-masing turun 9,94 persen dan 7,8 persen dibandingkan Januari-Oktober 2018,” katanya.
Manufaktur lesu
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, berpendapat, tren stagnasi tersebut menggambarkan kondisi perindustrian nasional yang tengah melesu. ”Kecenderungan ini patut diwaspadai agar tidak terjadi secara berkepanjangan,” ujarnya.
Menurut Lana, tren pergerakan neraca perdagangan sepanjang Januari-Oktober 2019 itu seiring dengan kondisi industri manufaktur nasional. Pada Oktober 2019, Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia rendah karena berada di bawah batas ideal PMI yang sebesar 50.
PMI manufaktur Indonesia pada Oktober 2019 sebesar 47,7 atau lebih rendah dibandingkan dengan September 2019 yang sebesar 49,1. ”Penurunan ini disebabkan oleh melemahnya permintaan terhadap industri Indonesia,” katanya.
Penurunan ini disebabkan oleh melemahnya permintaan terhadap industri Indonesia.
PMI manufaktur merupakan indeks yang menunjukkan optimisme pelaku sektor bisnis manufaktur terhadap prospek perekonomian ke depan. Apabila angka PMI manufaktur di atas 50, berarti manufaktur tengah mengalami ekspansi atau tumbuh, sedangkan di bawah 50 berarti sektor tersebut sedang mengalami kontraksi atau melambat.
Sementara BPS mencatat, kontribusi industri pengolahan terhadap neraca perdagangan Januari-Oktober 2019 sebesar 75,56 persen. Namun, ekspor industri pengolahan pada Januari-Oktober 2019 turun 3,74 persen menjadi 105,11 miliar dollar AS dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Berdasarkan penggunaan barang, kelompok bahan baku/penolong berkontribusi 74,06 persen terhadap impor sepanjang Januari-Oktober 2019. Dibandingkan dengan Januari-Oktober 2018, penurunan impor kelompok ini mencapai 11,19 persen menjadi 104,34 miliar dollar AS.
”Stagnasi kinerja neraca perdagangan yang mencerminkan kondisi perindustrian nasional itu perlu diwaspadai karena berpotensi berdampak pada pendapatan tenaga kerja di dalam negeri. Apalagi, ekspor Indonesia masih mengunggulkan komoditas sumber daya alam,” ujarnya.
Stagnasi kinerja neraca perdagangan yang mencerminkan kondisi perindustrian nasional itu perlu diwaspadai karena berpotensi berdampak pada pendapatan tenaga kerja di dalam negeri.
Sebagai solusi, lanjut Lana, pemerintah dapat menstimulus peningkatan permintaan dalam negeri terhadap produk industri nasional. Kenaikan permintaan ini dapat memperbaiki harga komoditas di tingkat global.
Konsumsi global
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani mengatakan, masih ada kesempatan meningkatkan konsumsi global hingga akhir tahun ini. Hal itu menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor.
”Ekspor di akhir tahun dapat naik karena terdapat peningkatan konsumsi pasar dunia, khususnya untuk produk olahan dan barang-barang konsumsi,” katanya.
Menurut Shinta, peningkatan permintaan pasar global pada akhir tahun ini berada di luar ekspektasi pelaku usaha dan industri. Awalnya, para pelaku usaha memperkirakan permintaan dunia akan stagnan seiring dengan pelambatan pertumbuhan ekonomi global.
Meskipun demikian, untuk menggenjot ekspor di tengah melesunya perekonomian dunia masih menjadi tantangan jangka panjang. ”Diversifikasi produk dan pasar ekspor membutuhkan efisiensi biaya produksi dan rantai pasok agar lebih berdaya saing di kancah global,” ujarnya.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menyatakan, pemerintah masih optimistis terhadap kinerja neraca perdagangan nasional.
”Secara tahun berjalan, selisih antara penurunan ekspor dan impor pada Januari-Oktober 2019 dapat menandakan adanya penyerapan produk industri nasional oleh pasar dalam negeri,” katanya.