Pelanggaran Bahan Pelajaran
Pemilu 2019 menyisakan 348 kasus pidana pemilu yang 320 di antaranya telah divonis bersalah. Kasus pidana tersebut diharapkan jadi pelajaran meski vonisnya dinilai tak memberikan efek jera.
Pilkada 2020 bakal digelar kurang setahun dari sekarang. Sejumlah catatan mengenai pelanggaran dan kasus pidana Pemilu 2019 idealnya dapat dijadikan bahan pelajaran.
Riset putusan pengadilan terkait pidana pemilu yang dilakukan lembaga kajian hukum dan peradilan Indonesia Legal Roundtable (ILR) hingga akhir Agustus 2019 menunjukkan 348 kasus pidana pemilu yang sudah divonis. Putusan ini dikeluarkan di 160 pengadilan negeri dan 28 pengadilan tinggi.
Dari jumlah tersebut, terdapat 320 kasus pidana pemilu yang terbukti dan divonis bersalah di tingkat pengadilan negeri dan tinggi. Vonis pidana bersyarat atau percobaan sebesar 53 persen dan 39 persen dengan vonis pidana penjara atau ditahan.
ILR menemukan 72 kasus politik uang dalam Pemilu serentak 2019 yang diadili di pengadilan. Adapun jenis pelanggaran kedua terbesar adalah memanipulasi perolehan suara. Jumlahnya 56 kasus. Kejadian terbanyak berada di Sulawesi Selatan dengan 40 kasus.
Adapun provinisi dengan jumlah vonis pidana politik paling sedikit adalah Sumatera Selatan, Lampung, dan Kalimantan Tengah. Masing-masing hanya memiliki satu catatan kasus. Kasus-kasus pidana pemilu itu tersebar merata di 34 provinisi.
Baca Juga: Kerangka Hukum Pemilu Perlu Diperbaiki
Riset itu dipaparkan pada diskusi “Penegakan Hukum Pidana Pemilu, Dinamika, dan Masalahnya,” Senin (7/10/2019) di Jakarta itu menghadirkan sejumlah narasumber sebagai pembicara. Selain Direktur Eksekutif ILR Firmansyah Arifin, hadir pula Komisioner Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta. Selain itu turut datang pula Komisioner Badan Pengawas Pemilu Rahmat Bagja dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.
Tahapan Kampanye
Riset tersebut juga mengungkap bahwa tindak pidana pemilu terjadi paling banyak pada tahapan kampanye. Jumlahnya 168 kasus.
Tahapan berikutnya yang juga kerap terjadi tindak pidana pemilu adalah masa pemungutan dan penghitungan suara. Jumlahnya 74 kasus. Rekapitulasi penghitungan suara (69 kasus), masa tenang (22 kasus), dan pencalonan (15) kasus merupakan tahapan-tahapan lain yang juga rawan tindak pidana pemilu.
Sementara jenis pelanggaran yang paling banyak dilakukan adalah politik uang dengan jumlah 72 kasus. Praktik itu diikuti mengubah hasil perolehan suara dengan 56 kasus.
Selain itu ada pula praktik mencoblos di lebih dari satu surat suara/TPS berbeda (48 kasus), kepala desa tidak netral (30 kasus), dan kampanye di tempat ibadah/pendidikan (19 kasus). Selain itu mencoblos dengan mengaku menggunakan surat suara orang lain (19 kasus), menggunakah ijazah atau dokumen palsu (15 kasus), dam Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak netral (12 kasus).
Kategorisasi lain adalah merusak alat peraga kampanye, kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, melakukan penghinaan SARA, kampanye di luar jadwal, kampanye melibatkan ASN, dan melakukan kekerasan/ganggyan ketertiban. Selain itu membuat kotak suara atau hasil rekapitulasi tidak tersegel, menghilangkan hasil rekap suara, mengacau dan mengganggu serta menghalangi kamoanye, memalsukan data pemilih, dan kampanye dengan mengajak WNI yang belum memiliki hak memilih.
Calon anggota legislatif, warga, tim sukses, kepala desa, bakal caleg, ASN/birokrat, profesional/swasta, saksi-saksi, dan bupati menjadi aktor yang terlibat dalam sejumlah kasus tersebut. Tidak kurang 86 calon anggota legislatif menjadi pelaku pidana pemilu, disusul warga (59 orang), dan tim sukses atau pendukung (33 orang).
Sebagian penyelenggara pemilu juga turut divonis dalam sejumlah kasus tersebut. Termasuk di dalamnya adalah anggota PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) tingkat kabupaten/kota, anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) tingkat kabupaten/kota, staf sekretariat KPU kabupaten/kota, anggota PPS (Panitia Pemungutan Suara) tingkat kabupaten/kota, anggota Bawaslu tingkat kabupaten/kota, dan anggota KPU tingkat kabupaten/Kota.
Direktur Eksekutif Indonesia Legal Roundtable (ILR) Firmansyah Arifin menyebutkan di antara sejumlah kasus menonjol adalah yang menjerat anggota KPU Puncak di Papua dan KPU Kota Palembang di Sumatera Selatan.
Jenis Vonis
Dari sisi vonis, terdapat penjara-kurungan dan denda yang diberikan kepada para pelaku. Vonis penjara selama 1-3 bulan diberikan terhadap 190 putusan. Selain itu 4-6 bulan kepada 76 putusan, lebih dari enam bulan terhadap 22 putusan, lebih dari 1 tahun terhadap 19 putusan, dan kurang dari satu bulan bagi 13 putusan.
Adapun untuk vonis denda, 136 putusan diberikan denda Rp 2,5 juta-5 juta. Denda Rp 1 juta-2 juta terhadap 101 putusan. Denda Rp 6 juta-10 juta bagi 40 putusan. Di atas Rp 10 juta terhadap 23 putusan dan denda hingga Rp 500 ribu terhadap 20 putusan.
Sejumlah catatan yang dikutip dari temuan riset itu adalah, penegakan hukum pidana Pemilu 2019 yang cenderung ringan atau bahkan berupa vonis percobaan yang dianggap sulit memberikan efek jera. Selain itu terdapat pula perbedaan putusan dalam kasus sama yang dianggap berkelindan dengan tingkat kesungguhan hakim menangani pidana pemilu.
Masih dari catatan riset tersebut, disebutkan dalam satu pengadilan atas kasus berbeda terdapat hukuman yang sama persis. Selain itu disebutkan pula bahwa vonis tidak menjangkau semua pelaku dan vonis yang menjadikan perkara politik uang tidak jelas. Selain itu ada pula ketidakpastian dalam pengaturan diskualifikasi calon tetap dan calon terpilih.
Riset tersebut juga memetakan sejumlah pola tindak pidana pemilu yang dilakukan. Sebagaimana dikutip dari laporan riset tersebut, sejumlah pola itu ialah adanya niatan tinggi mendukung pilihannya untuk menang dengan menggunakan segala cara dan memanfaatkan pihak terdekat yang dianggap bisa membantu pemenangan. Ini diikuti janji imbalan menguntungkan pribadi serta bisa diterima satu sama lain.
Selain itu, pola lainnya ialah dengan menggunakan materi berupa benda, uang, atau harta kekayaan lain guna membiayai cara-cara terlarang itu. Hal lain yang juga dilakukan adalah dengan melibatkan pihak-pihak yang memiliki akses kekuasaan atas penyelenggaraan pemilu.
Modus politik uang yang dilakuka, seperti dicantuman dalam hasil riset tersebut ialah dengan membagikan uang mulai puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Selain itu membagikan sembako, pakaian ibadah, memberikan voucher berhadiah barang hingga perjalanan ibadah umroh. Di dalamnya termasuk juga janji memberikan pekerjaan, uang bulanan, pembangunan jalan, dan sebagainya jika kelak terpilih. Hal ini terbagi pada iming-iming yang dilengkapi dengan surat perjanjian ataupun tidak.
Adapun modus manipulasi suara, sebagaimana dikutip dari laporan riset itu, dilakukan dengan mengubah hasil suara dengan menambah atau mengurangi perolehan suara. Melibatkan penyelenggara, staf sekretariat, dan operator sistem informasi penghitungan. Pelibatan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap data penghitungan hasil suara ini dilakukan secara kolektif dan diikitu dengan iming-iming bayaran uang.
Riset tersebut itu juga mengeluarkan sejumlah rekomendasi. Di dalamnya termasuk menguatkan perspektif dan komitmen penegak hukum. Khususnya para hakim dalam mengadili perkara agar dapat memberikan efek jera.
Rekomendasi lainnya ialah membangun kesepahaman para hakim dalam melihat aturan tindak pidana pemilu dan hukum acara peradilan pidana pemilu. Berikutnya, mendorong transparansi dan kejelasan informasi kasus pelanggaran pidana pemilu di pengadilan, KPU, dan Bawaslu. Selain itu menyiapkan serta meningkatkan integritas penegak hukum serta penyelenggara pemilu lewat proses seleksi transparan, partisipatif, dan obyektif. Rekomendasi terakhir, dengan merumuskan ulang sejumlah ketentuan pidana pemilu secara konsisten, sistematis, dan lebih jelas serta efektif.
Baca Juga: Urgensi Revisi UU Pemilu Terus Disuarakan
Firmansyah mengatakan, jumlah kasus pidana Pemili 2019 naik signifikan jika dibandingkan dengan Pemilu 2014. Ia menyebutkan kenaikan itu mencapai 58,3 persen.
“Akan tetapi kita harus cermat bahwa data (pidana pemilu) 2019 ini terkait dengan Pileg. Hanya 13 kasus atau 3,7 persen (dari total kasus) yang terkait dengan Pilpres,” kata Firmansyah.
Hal lain yang juga penting diperhatikan, imbuh Firmansyah, adalah waktu kejadian pengadilan yang diketahui mulai dilakukan pada September hingga Novber 2018 seiring masa kampanye. Lantas stabil mulai Desember 2018 hingga April 2019. Lonjakan tajam terjadi pada Mei dan Juni 2019 lalu turun hingga di akhir Agustus.
Seperti Biasa
Sukma Violetta yang juga hadir dalam diskusi tersebut menyoroti betapa pidana pemilu cenderung ditangani seperti biasa oleh sejumlah hakim. Hal itu di antaranya diwakili dengan sebagian vonis yang tidak memberikan efek jera.
Praktik dalam sejumlah pengadilan juga tidak menunjukkan adanya manajemen tersendiri dalam menangani perkara ppidana pemilu. Bahkan, cenderung tidak menunjukkan bahwa penanganagn perkara tersebut penting untuk demokrasi di Indonesia.
“(Diperlakukan sebagai) Business as usual (praktik operasional yang normal dan seperti biasa) saja,” kata Sukma.
Sukma mengatakan, mestinya ada ketegasan dalam menangani praktik pidana pemilu, terutama praktik politik uang. Pasalnya, imbuh Sukma, karena praktik politik uang merupakan masalah dan tindakan tercela.
Sukma juga menyoroti relatif banyaknya sanksi yang bersifat percobaan. Ia menyebutkan sanksi seperti itu tidak memiliki efek apapun. Termasuk pula di dalamnya ialah hukuman tiga bulan yang cenderung banyak diputuskan. Selain itu juga sanksi bebas yang tidak berefek.
Pada kesempatan itu, Sukma memaparkan pula hasil pemantauan yang dilakukan KY. Ini sebagaimana amanat dalam UU Nomor 22/2014 tentang KY yang bertugas melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim.
Terkait Pemilu 2019, jenis perkara yang dipantau persidangannya ialah yang terkait dengan praktik politik uang dan menggunakan fasilitas negara dalam kampanye. Selain itu dipantau pula persidangan yang terkait dengan kampanye di tempat ibadah dan perkara yang menyebabkan suara pemilih tidak bernilai.
Pemantauan dilakukan di Jatim, Jateng, Jakarta, Banten, Bangka Belitung, Riau, Sumut, Sumsel, Yogyakarta, Sulsel, NTT, dan Papua. Pemantauan dilakukan terhadap 244 persidangan dimana 200 pemantauan di antaranya berasal dari permohonan masyarakat dan sisanya merupakan inisiatif KY.
Sebanyak 22 perkara di antaranya terbukti bersalah serta disanksi. Dua gugatan ditolak. Masing-masing karena perkara tata usaha negara dan perkara perdata.
Kontribusi Penegakan
Studi tersebut, kata Titi, bisa memberikan kontribusi bagi penegakan hukum pemilu. Di sisi lain, juga bisa menjadi kritik bagi Bawaslu dan masukan agar lebih kencang dalam bekerja.
Sesuai siklus kepemiluan, Titi mengatakan bahwa saat ini menjadi masa dilakukan peninjauan atas strategi dan proposal untuk perbaikan. Terutama jika dikaitkan dengan implementasi UU Pemili yang kualitasnya berkelindan dengan relatif singkatnya jeda antara masa pengesahan dengan dimulainya tahapan.
“Jangan abaikan keadilan pemilu, (karena yang penting) bukan sistem pemilu saja. Rekomendasi temuan ILR ini mesti didorong,” sebut Titi.
Pada sisi lain Titi mengajak untuk melakukan evaluasi atas pasal-pasal tindak pidana pemilu. Menurutnya, tidak semuanya mesti dipidanakan. Ia menyebutkan agar dengan demikian lebih mengedepankan sanksi administratif.
Hal ini membutuhkan penguatan kewenangan Bawaslu yang sifatnya lebih pada penegakan sanksi administratif. Perpanjangan waktu kedaluwarsa penanganan kasus, dengan demikian perlu diperpanjang.
Terkait penegakan sanksi tersebut, Titi menilai bahwa selama ini Bawaslu jugatelah tereduksi kemandiriannya dalam menegakkan pidana pemilu oleh keberadaan sentra penegakan hukum terpadu (Sentra Gakkumdu). Ia menilai agar Sentra Gakkumdu yang beranggotakan Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan untuk hanya menjadi forum diskusi alih-alih memutuskan perkara. “Lebih baik lagi (jika) dibuarkan untuk menjaga kemandirian,” sebut Titi.
Sementara menurut Bagja, terdapat pula sejumlah permasalahan lain dalam penanganan pidana pemilu. Di antaranya adalah penerapan persidangan in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa.
Kesulitan ini saat dihadapkan pada sejumlah terdakwa yang melarikan diri atau pergi keluar kota. Terutama jika dihubungkan dengan pemahaman yang berbeda terkait penerapannya oleh sejumlah ketua pengadilan.