Demonstrasi yang diwarnai kekerasan dan bentrokan dengan polisi tidak kunjung berhenti di Hong Kong. Bahkan, kekerasan terus meningkat.
Lima bulan demonstrasi berlangsung tiada henti di Hong Kong. Korban berjatuhan dari kalangan demonstran, petugas kian kewalahan menghadapi mereka.
Dipicu rencana pemerintah lokal menelurkan undang-undang ekstradisi, demonstrasi meledak menentangnya. Dengan undang-undang itu, pelaku kejahatan di Hong Kong dapat diekstradisi ke China daratan. Muncul kecurigaan, rancangan undang-undang itu akan digunakan Beijing untuk membungkam aktivis pro demokrasi.
Unjuk rasa kian keras dan tak berhenti meski Pemerintah Hong Kong menyatakan membatalkan pembuatan RUU itu. Pengunjuk rasa bahkan mendesak penyelidikan terhadap kekerasan oleh petugas keamanan. Mereka juga menambah tuntutan, yakni demokratisasi lebih luas di Hong Kong, termasuk secara bebas memilih pemimpin Hong Kong serta semua anggota parlemen. Pengunjuk rasa ingin sama sekali tak ada kendali Beijing.
Semula banyak kalangan menilai Beijing gamang menghadapi situasi di Hong Kong. China daratan enggan menggunakan kekerasan untuk mengakhiri demonstrasi karena khawatir tekanan bermunculan, sebagaimana terjadi pada peristiwa Tiananmen 1989.
Namun, dalam ”How China Sees the Hong Kong Crisis” (Foreign Affairs, September 2019), Andrew J Nathan menulis, Beijing justru menghadapi persoalan Hong Kong dengan penuh percaya diri. Nathan menyatakan, China melihat unjuk rasa yang dimotori kaum muda berakar pada isu ekonomi. Pendapatan warga stagnan, sementara harga sewa apartemen meningkat gila-gilaan dan menggerogoti gaji pekerja.
Kepercayaan diri Beijing tinggi juga karena merasa memiliki pengaruh kuat di kalangan elite ekonomi atau pengusaha raksasa, serta mempunyai hubungan kuat dengan gerakan buruh. Demonstrasi dinilai hanya didukung sebagian kecil komponen masyarakat.
Keengganan Beijing menggunakan ”tangan besi” juga bukan karena pertimbangan Hong Kong penting secara ekonomi dan tak boleh diusik dengan tambahan petugas keamanan dari China daratan. Saat ini, hanya kurang dari 12 persen ekspor China melalui Hong Kong. Selain itu, dari semula memiliki produk domestik bruto (PDB) setara 18 persen PDB China daratan pada 1997, kini Hong Kong memiliki PDB ekuivalen 2,7 persen PDB China daratan.
Dulu banyak perusahaan China memperoleh dana dari bursa Hong Kong. Sekarang, bursa Shanghai dan Shenzen jauh melampaui Hong Kong. Perusahaan China pun sudah bisa melantai di bursa New York, London, Frankfurt, dan sebagainya guna mendapatkan dana segar. Dunia masih menunggu bagaimana drama di Hong Kong berakhir.