Alur cerita dalam gambar tersebut “dihidupkan” oleh sang dalang dengan cara menggulung layar. Satu gulungan umumnya berisi tiga hingga empat jagong atau bab.
Oleh
Fajar Ramadhan
·5 menit baca
Ketenaran kesenian wayang beber melambung seiring dengan kedigdayaan Kerajaan Majapahit pada abad ke-13. Seiring berjalannya waktu, pamornya terus menurun, termasuk di sekitar kawasan yang dianggap sebagai ibu kota Majapahit. Upaya pelestarian kini digiatkan.
Kamis (14/11/2019) malam, warga Desa Ketapanrame, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, untuk pertama kalinya menyaksikan langsung pergelaran wayang beber. Padahal, Trawas selama ini dikenal sebagai kawasan terpenting pada era Majapahit sebagai tempat pertapaan raja-raja Majapahit.
Pertunjukan wayang beber dibuka dengan tembang dolanan ”Padhang Wulan”. Lagu tersebut sekaligus menjadi pengiring lima anak laki-laki keluar dari belakang panggung sambil menari dan berjalan melingkari latar panggung.
Mereka membawakan tarian selamat datang bagi warga yang rela berdiri berimpitan di samping panggung area barat Taman Ghanjaran. Kebanyakan dari mereka datang karena penasaran dengan wayang beber. Beberapa warga terang-terangan mengaku belum pernah melihat bentuknya.
Wayang beber sendiri adalah wayang yang dilakonkan dengan cara membentangkan layar berupa kain atau kertas bergambar. Alur cerita dalam gambar tersebut ”dihidupkan” oleh sang dalang dengan cara menggulung layar. Satu gulungan umumnya berisi tiga hingga empat jagong atau bab.
Pertunjukan wayang beber dalam rangka Festival Chaitra Majapahit Indonesiana tersebut menjadi momentum pengenalan kembali kepada warga di tengah pamornya yang kian redup. Acara ini sengaja menyasar kalangan tua, muda, hingga anak-anak. Pemain pendukung, seperti sinden, pemain keroncong, penabuh gamelan, dan penari, ikut disesuaikan.
Rasa penasaran mereka mulai terjawab saat dalang cilik, Steven, membuka pertunjukan lewat cerita rakyat Timun Mas. Beberapa dari mereka tampak mengernyitkan dahi saat menyaksikan dalang bercerita sambil menunjuk gambar pada selembar kain di hadapannya.
Sekitar 30 menit berselang, dalang membawakan cerita baru mengenai Babad Majapahit. Cerita hasil kerja sama dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta tersebut menggambarkan tentang awal mula berdirinya Kerajaan Majapahit, mulai dari Perang Pamalayu hingga penobatan Raden Wijaya sebagai raja pertama.
”Dari sini kami ingin menceritakan semangat berdirinya kerajaan besar tanpa menumpas bangsa lain,” kata koordinator pergelaran Wayang Beber, Arif Setiawan, Kamis.
Dusun ke dusun
Salah satu pegiat wayang beber adalah Komunitas Mahesa Sura. Selama lebih kurang dua tahun terakhir, mereka berikhtiar melestarikan kesenian wayang beber, mulai dari kawasan Pacet, Mojokerto. Mereka melakonkan wayang tersebut dari dusun ke dusun setiap bulan purnama.
Arif mengatakan, warga Trawas dan Pacet pernah mengatakan, wayang beber terakhir dimainkan di Mojokerto sekitar tahun 1960-an. Wayang ini juga lebih populer di kawasan Wonosari dan Pacitan, Jawa Timur, serta DI Yogyakarta dibandingkan dengan Mojokerto yang dikenal sebagai ibu kota Majapahit.
”Sekarang kami baru mengenalkan dari dusun ke dusun. Namun, ke depan kami berencana mengenalkan dari kafe ke kafe,” kata Arif, yang juga anggota Mahesa Sura.
Perkembangan wayang beber hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Merujuk catatan perjalanan Ma Huan, Arif menyebutkan, wayang beber cukup populer pada era Majapahit. Wayang ini biasa dimainkan pada bulan purnama dalam upacara ruwatan atau penolak bala.
Pegiat budaya Kota Mojokerto, Wibisono, memperkirakan, wayang beber sebenarnya sudah mulai dikenal sejak era Kerajaan Kediri atau sekitar abad ke-10. Meski begitu, kebesaran Kerajaan Majapahit yang mengantarkan wayang beber dikenal lebih luas.
”Banyak kalangan menyebutkan bahwa Majapahit adalah pengekspor kebudayaan pertama,” katanya.
Arif mengaku, tantangan terbesar dalam upaya melestarikan wayang beber adalah penonton mudah merasa bosan. Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan, pergelaran wayang beber sering diselingi pertunjukan keroncong, sinden, atau bantengan.
Spektrum luas
Berbeda dengan wayang kulit, pola cerita yang diangkat untuk pergelaran wayang beber memiliki spektrum luas. Cerita yang diangkat tidak terbatas pada kisah pewayangan, seperti Mahabarata dan Ramayana. Lebih dari itu, wayang beber bisa mengangkat mengenai cerita rakyat, ritual, bahkan kondisi sosial.
Wayang juga dianggap sebagai media penyampaian pesan pada era Kerajaan Kediri. Selain tidak terbatas pada pola cerita, wayang beber juga mudah dibawa dibandingkan dengan wayang kulit. Pesan-pesan yang saat itu disampaikan adalah tentang kepahlawanan, percintaan, hingga tragedi.
Dalam Pameran Seni Rupa dan Wayang Beber Festival Chaitra Majapahit, misalnya, dipamerkan sejumlah wayang beber metropolitan. Di dalamnya berkisah mengenai kondisi sosial masyarakat pada saat ini. Selain itu, wayang beber juga berisi tentang kritik sosial.
Salah satu karya Dani Iswardhana berjudul Suluk Banyu, misalnya, memuat cerita tentang perlawanan komunitas air terhadap pendirian pabrik air minum di daerahnya. Pembangunan tersebut disinyalir dapat berdampak pada kondisi lingkungan masyarakat sekitar.
”Uniknya, yang melakonkan adalah dalang cilik. Mereka duduk di bangku SD dan SMP,” ujar Wibisono.
Selain itu, ada juga wayang yang berisi tentang cerita rakyat. Salah satunya adalah karya dari Herman Effendie yang berjudul Othak-Othak Ugel, sebuah makhluk serakah dalam mitologi Jawa Timur. Karya ini mengandung pesan agar manusia menjauhi sifat serakah.
Medium dari wayang beber sejatinya adalah kertas daluwang, yaitu kertas dari kulit pohon daluwang. Seiring berjalannya waktu, medium wayang beber kini telah bergeser menjadi kain. Kendati demikian, inovasi-inovasi juga terus dilakukan untuk mempermudah kelestariannya.
Wayang beber juga menjelma sebagai mural lantaran digambar dengan medium tembok. Para pegiat wayang beber juga membuatnya dalam bentuk pigura dan tas. Kini, mereka tengah merancang untuk membuat kampung Balong Rawe Baru, Kelurahan Kedundung, Kota Mojokerto.
”Konsep pembuatan kampung wayang ini bertujuan agar kekayaan lokal ini menjadi global. Selain itu, juga untuk menghidupkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),” kata Wibisono.
Berbagai upaya pelestarian memang terus digiatkan. Meski begitu, Arif berpesan agar masyarakat juga tidak menutup mata. Menurut dia, jangan menyalahkan anak muda jika tidak paham mengenai asal-usul wilayahnya jika generasi tua tidak mampu mengenalkannya.