Keberadaan kelompok radikal di tengah masyarakat masih kerap disangkal sejumlah kalangan. Sikap tak acuh itu, tanpa sadar, telah membuka ruang bagi radikalisme dan terorisme tumbuh subur.
Oleh
PANDU WIYOGA
·2 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Keberadaan kelompok radikal di tengah masyarakat masih kerap disangkal sejumlah kalangan. Sikap tak acuh itu, tanpa sadar, telah membuka ruang bagi radikalisme dan terorisme tumbuh subur. Keterbukaan untuk menerima kedua hal itu merupakan tanggung jawab bersama.
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), Noor Huda Ismail, Sabtu (16/11/2019), menyatakan, masyarakat belum mampu terbuka menerima kenyataan radikalisme memang ada di sekitar kita. Padahal, keterbukaan dibutuhkan untuk mengurai proses radikalisme agar bisa memahami penanggulangannya.
”Harus dipetakan dulu siapa saja yang terpapar (radikalisme) dan bagaimana pergerakannya. Setelah itu, ajak tokoh masyarakat untuk mencegah lewat dialog atau bentuk kerja kemanusiaan lainnya,” kata Huda.
Kepala Polda Sumut Inspektur Jenderal Agus Andrianto mengatakan, selama ini penangkapan terduga teroris selalu dianggap sebagai pengalihan isu. Hal ini terjadi setelah polisi menangkap tiga terduga teroris sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.
”Tidak ada untungnya kita mengalihkan isu. Mereka benar-benar ada di sekitar kita,” ujarnya, Jumat (15/11/2019).
Menurut dia, pelaku terorisme sudah kehilangan rasa kemanusiaan. Mereka tega merampas hak hidup orang lain. Teroris tidak pandang bulu dalam menentukan sasaran. Semua orang perlu waspada karena siapa pun bisa jadi korban berikutnya.
Dihubungi secara terpisah, peneliti YPP, Thayep Malik, mengatakan, penyebaran radikalisme dan terorisme mulai marak di Sumut sejak 2015 setelah Syawaluddin Pakpahan kembali dari Suriah. Ia merupakan bagian dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang menyerang Markas Polda Sumut pada 2017.
Adapun terkait peristiwa bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan, Thayep belum dapat memastikan apakah RMN merupakan bagian dari sel JAD. Namun, secara ideologi, pelaku diduga kuat berbaiat kepada NIIS.
Huda menambahkan, radikalisme sangat mudah menyebar pada era digital. Pola penyebaran NIIS di Indonesia, terutama JAD, umumnya memakai media sosial dari dalam penjara. Berawal dari perkenalan daring itulah jaringan tersebut memikat simpatisan baru.
Berdasarkan temuan Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror, istri pelaku RMN, yaitu DA, aktif berkomunikasi lewat media sosial dengan narapidana terorisme berinisial I yang kini mendekam di Lapas Kelas II Wanita Medan. Mereka juga diketahui kerap bertemu di lapas (Kompas.id, 14/11/2019).
”Maka dari itu literasi digital sangat dibutuhkan sebagai bagian dari upaya pencegahan radikalisme,” kata Huda.