Tentara China Muncul Terbuka di Hong Kong, Membersihkan Puing Unjuk Rasa
Kemunculan pasukan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China di jalan-jalan di Hong Kong, meski untuk membantu membersihkan jalan, bisa mencuatkan kontroversi baru terkait status otonomi wilayah Hong Kong.
Oleh
MH SAMSUL HADI DAN ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
HONG KONG, SABTU — Pasukan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China dengan memakai celana pendek dan kaus T-shirt muncul di jalan-jalan di Hong Kong, Sabtu (16/11/2019), untuk membantu warga setempat membersihkan puing-puing bekas unjuk rasa demonstran anti-pemerintah. Kemunculan pasukan PLA di jalan-jalan, meski dengan peran tersebut, bisa mencuatkan kontroversi terkait status otonomi wilayah yang dikuasai China itu.
Lebih dari lima bulan terakhir, Hong Kong diguncang unjuk rasa warga yang marah atas situasi yang dipersepsikan sebagai campur tangan kekuatan Partai Komunis China terhadap wilayah bekas koloni Inggris itu. Beijing membantah ikut campur tangan dalam situasi di Hong Kong. Mereka menuding unjuk rasa tersebut memanas berkat pengaruh kekuatan asing.
Pada Sabtu sore, pasukan PLA itu telah meninggalkan jalan-jalan di luar kampus Universitas Baptist yang terletak di samping barak militer PLA di Kowloon Tong. Garnisun PLA di Hong Kong menyatakan, saat sejumlah warga mulai membersihkan puing-puing bekas unjuk rasa, sebagian tentara ”membantu membersihkan jalan di depan gerbang garnisun”.
Juru bicara Pemerintah Hong Kong mengatakan, Pemerintah Hong Kong tidak meminta bantuan dari PLA, tetapi PLA sendiri yang memulai langkah pembersihan itu sebagai ”kegiatan masyarakat yang bersifat sukarela”. Demosistō, organisasi prodemokrasi di Hong Kong, menyebut operasi pembersihan oleh PLA bisa menjadi preseden buruk jika pemerintah kota di Hong Kong mengundang militer PLA untuk ikut mengurusi masalah internal.
Sebelum ini, tentara China baru sekali muncul di jalan-jalan di Hong Kong sejak penyerahan wilayah itu dari Pemerintah Inggris ke Pemerintah China tahun 1997, yakni saat membantu pembersihan puing-puing bencana setelah topan tahun 2018. Pada Agustus lalu, Beijing menggerakkan ribuan tentara melewati perbatasan dan memasuki Hong Kong. Kantor berita China, Xinhua, saat itu menyebut pergerakan pasukan China itu sebagai rotasi pasukan yang rutin.
Beberapa perwakilan asing dan analis keamanan memperkirakan, hingga 12.000 tentara China saat ini ditempatkan di Hong Kong. Angka itu lebih dari dua kali lipat jumlah personel di garnisun pada umumnya.
”Kami tidak ingin bermusuhan dengan warga dan tentara PLA secara langsung,” kata James Wong (23), salah seorang pengunjuk rasa yang masih bertahan di sebuah jembatan di Universitas Baptist. ”Kami tidak secara langsung menentang PLA, tetapi lebih pada menentang pemerintahan mereka. Namun, PLA seharusnya tidak meninggalkan markas mereka karena ini teritorial Hong Kong.”
Beberapa hari lalu, media Pemerintah China menyatakan bahwa Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China siap diterjunkan untuk mendukung polisi Hong Kong jika diperlukan. Salah satu momen paling keras sejak unjuk rasa meletus lima bulan terakhir terjadi, Senin (11/11/2019), saat polisi menembak seorang mahasiswa pengunjuk rasa bertopeng dan seorang pria pro-Beijing dibakar.
Koran China, Global Times, menyatakan agar polisi tetap ”tegar” dan ”tegas mendukung” tindakan polisi Hong Kong. ”Jika perlu, Pasukan Polisi Bersenjata Rakyat China dan PLA dari garnisun Hong Kong akan mendukung Anda sesuai dengan hukum dasar,” tulis Global Times.
Sejak 1997, China telah menempatkan hingga 12.000 personel di kota Shenzhen, sepanjang perbatasan dengan Hong Kong. Ini memicu kekhawatiran bahwa Beijing akan turun tangan untuk mengakhiri kerusuhan di Hong Kong.
Di bawah Undang-Undang Dasar Hong Kong, pemerintah setempat dapat meminta bantuan dari garnisun PLA di kota Hong Kong jika terjadi gangguan ketertiban umum. Sementara Pasal 18 memungkinkan Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional China untuk menyatakan keadaan darurat.
Pada saat itu, Beijing dapat membuat hukum apa pun untuk Hong Kong yang dianggapnya sesuai untuk menghadapi krisis.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, Selasa lalu, mengatakan, Pemerintah China mendukung penuh pemerintahan Pemimpin Eksekutif Carrie Lam dan kepolisian Hong Kong ”dalam penegakan hukum, memelihara ketertiban sosial, dan melindungi keselamatan warga.”
Harian milik pemerintah, China Daily, menyatakan, kepolisian Hong Kong telah ”sabar dan menahan diri” selama lebih dari lima bulan terakhir. Hal ini sepertinya justru mendorong para pemrotes untuk lebih berbuat kekerasan.
”Kelonggaran hakim Hong Kong sejauh ini ditunjukkan oleh para pelanggar... juga mendorong tindakan teroris,” kata surat kabar itu dalam tajuk rencananya pada edisi Selasa (12/11/2019).
Rekaman kasus penembakan oleh polisi terhadap seorang mahasiswa pada Senin—disiarkan langsung di Facebook—memperlihatkan seorang polisi menembak seorang pengunjuk rasa yang tidak bersenjata yang mendekatinya. Global Times mengatakan, sambil menyebut pemrotes sebagai ”penjahat”, perwira itu ”harus melepaskan tembakan dalam keadaan tertentu”.
Sementara itu, dalam pertengkaran mengerikan terpisah, seorang penyerang bertopeng menyiramkan cairan mudah terbakar kepada seorang lelaki yang membuat orang itu terbakar. Video tersebut dengan cepat menyebar di media sosial. ”Dengan mengklaim demokrasi dan kebebasan, para perusuh tidak bisa menoleransi orang-orang yang menyampaikan perspektif yang berbeda,” tulis Global Times.
Media itu memperingatkan para pengunjuk rasa: ”Anda berada di ambang kehancuran... pergilah secepat mungkin selagi Anda masih bisa menelepon.”