Terusan Suez, Lain Dulu Lain Kini...
Ada pemeo: jika seseorang pernah mengunjungi Selat Bosphorus di kota Istanbul, Turki, yang memisahkan Benua Eropa dan Asia, belum sempurna jika orang itu belum mengunjungi Terusan Suez, yang memisahkan Afrika dan Asia.
Minggu, 17 November, besok, Terusan Suez tepat berusia 150 tahun. Penanda usia ini seperti tak berarti banyak bagi Pemerintah Mesir meski kontribusi aset vital itu sangat besar. Tak ada peringatan khusus untuk merayakannya.
Lain dulu, lain sekarang. Itulah kalimat yang tepat untuk melukiskan kondisi Terusan Suez, Mesir, saat ini. Pada hari Minggu, 17 November 2019, genap berusia 150 tahun. Terusan Suez dibuka pada 17 November 1869 untuk memperpendek jalur lintasan laut yang menghubungkan Asia dan Eropa.
Sebelumnya, kapal dagang atau kapal perang dari Asia ke Eropa dan sebaliknya harus menempuh perjalanan laut sangat panjang dengan mengelilingi Benua Afrika untuk sampai tujuan.
Tidak ada suasana luar biasa ketika Kompas mengunjungi kawasan Terusan Suez di kota Ismailia, sekitar 127 kilometer timur laut kota Kairo, dan kota Suez, sekitar 139 kilometer timur Kairo, Selasa (12/11/2019). Kehidupan di dua kota itu berjalan normal, seperti hari-hari biasa, menjelang genap 150 tahun usia Terusan Suez. Pemerintah Mesir tampaknya tidak menggelar acara peringatan apa pun untuk mengenang momen 150 tahun usia Terusan Suez.
Terlepas dari itu, satu hal yang mencolok bahwa kini mengunjungi kawasan Terusan Suez tidak semudah dulu lagi. Dulu, siapa pun sangat mudah berwisata ke kawasan Terusan Suez sambil berfoto ria sebagai kenang-kenangan di terusan yang memisahkan antara Benua Asia dan Afrika itu.
Rakyat Mesir dikenal memiliki tradisi berkunjung dan berwisata ke Terusan Suez, khususnya di kota Ismailia, pada sisi tepi barat terusan itu. Kota Ismailia memang dirancang sebagai kota wisata.
Di kota tersebut terdapat Danau Timsah yang indah dan langsung tersambung ke Terusan Suez. Dari danau itu, pengunjung bisa melihat kapal-kapal yang melintas Terusan Suez. Di sepanjang Danau Timsah, terdapat hotel- hotel mewah, seperti Hotel Mercure dan Golden Tulip, serta banyak rumah inap
(homestay) dan restoran.
”Saya hampir tiap pekan berkunjung ke kota Ismailia untuk sekadar menikmati pemandangan Danau Timsah dan sekaligus belanja ikan segar yang sangat murah di sini,” kata Hamadah (43), warga asal Kairo, di tepi Danau Timsah.
”Pada hari libur, banyak orang Kairo berkunjung ke kota Ismailia untuk santai-santai di tepi Danau Timsah sambil melihat Terusan Suez dari kejauhan. Habis bersantai orang Kairo biasanya memborong ikan segar dan buah mangga yang harganya lebih rendah ketimbang di Kairo.”
Anugerah Ilahi
Bagi rakyat Mesir, Terusan Suez disebut anugerah Ilahi kedua setelah Sungai Nil karena menjadi sumber kehidupan vital rakyat negara itu. Dalam laporan fiskal tahun 2017-2018, Terusan Suez meraup pendapatan 5,585 miliar dollar AS.
Terusan Suez pun masuk empat besar sumber devisa di Mesir, selain pariwisata, minyak, dan pajak transfer gaji warga Mesir yang bekerja di luar negeri.
Terusan Suez juga memberi nilai strategis bagi Mesir. Selama ini Terusan Suez dikenal sebagai jalur vital kapal-kapal komersial dan kapal perang dari Eropa ke Asia dan juga sebaliknya.
Bahkan, ada pemeo: jika seseorang pernah mengunjungi Selat Bosphorus di kota Istanbul, Turki, yang memisahkan Benua Eropa dan Asia, belum sempurna jika orang itu belum mengunjungi Terusan Suez. Namun, sekarang bisa jadi hanya mimpi bagi turis atau siapa pun yang ingin mewujudkan pemeo tersebut. Betapa saat ini tidak mudah mengunjungi Terusan Suez kebanggaan rakyat Mesir itu.
Sepanjang Terusan Suez sekarang bercokol pos-pos militer yang penjaganya siap memberi peringatan dan mengusir siapa pun yang coba mendekati atau sekadar duduk santai di tepi Terusan Suez. Apalagi, mau coba mengambil foto di kawasan Terusan Suez. Di sana-sini terdapat pengumuman ”Dilarang Memotret”.
Sepanjang Terusan Suez sekarang bercokol pos-pos militer yang penjaganya siap memberi peringatan dan mengusir siapa pun yang coba mendekati atau sekadar duduk santai di tepi Terusan Suez.
Barangkali tidak ada alasan yang tepat bagi militer yang berkuasa di Mesir saat ini untuk menjaga superketat Terusan Suez itu, kecuali untuk mengantisipasi serangan teroris terhadap aset vital rakyat dan negara Mesir tersebut. Hanya 100-200 km timur Terusan Suez, terletak Semenanjung Sinai Utara yang terkenal sebagai basis kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) sayap Mesir atau wilayah Sinai. Wilayah Semenanjung Sinai Utara sampai sekarang menjadi area konflik senjata antara militer dan NIIS sayap Mesir itu.
Tak ingin ambil risiko
Militer Mesir tampaknya tidak ingin mengambil risiko atas kemungkinan terburuk atas Terusan Suez. Sekecil apa pun serangan terhadap Terusan Suez bisa mengganggu dan bahkan menghancurkan ekonomi Mesir.
Situasi dan perubahan drastis di Terusan Suez itu terasa dalam kunjungan Selasa lalu. ”Anda mau ke mana?” kata seorang perwira militer kepada Kompas yang semula ingin menyeberang dengan naik feri dari tepi barat ke tepi timur Terusan Suez.
”Saya mau naik feri untuk menyeberang ke tepi timur,” kata Kompas sambil menunjukkan kartu pers dari Pemerintah Mesir. Perwira militer itu sambil menunjukkan isyarat telunjuk tangannya mengarahkan agar balik arah untuk kembali.
”Anda harus punya izin khusus dari dinas intelijen untuk bisa menyeberang ke tepi timur Terusan Suez,” tegasnya.
”Anda harus punya izin khusus dari dinas intelijen untuk bisa menyeberang ke tepi timur Terusan Suez,” tegas petugas militer itu.
Upaya lain mencari akses terdekat dengan Terusan Suez yaitu dengan meluncur ke kota Suez, sekitar 90 km selatan kota Ismailia. Di tepi Terusan Suez terdapat tiga kota besar, yaitu Port Said di ujung utara Terusan Suez, Ismailia di tengah, dan Suez di ujung selatan terusan.
Setiba di kota Suez setelah menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam dari kota Ismailia, terpampang area tepi Laut Merah yang menjadi bibir Terusan Suez. Di area titik pertemuan Laut Merah dan Terusan Suez itu terdapat kafe-kafe sederhana tidak jauh dari tepi Terusan Suez. Namun, lagi-lagi ada pos militer antara kafe dan tepi Terusan Suez plus pengumuman ”Dilarang Memotret”.
”Ini tempat paling dekat dengan Terusan Suez,” kata Mahmud (21), pekerja kafe yang mengaku sebagai mahasiswa tingkat tiga di salah satu perguruan tinggi di kota Suez. ”Kalau mau lihat pemandangan kapal-kapal yang lewat Terusan Suez, tempat ini yang paling strategis.”
Sambil duduk dan minum teh di kafe itu, pengunjung bisa mencuri-curi kesempatan lengahnya petugas di pos militer tersebut untuk mengambil foto ke arah Terusan Suez. Kompas sempat pula meminta izin khusus kepada petugas militer itu agar diperbolehkan mengambil foto dengan alasan datang jauh dari Indonesia dan bukan warga Mesir.
Petugas tersebut memberi izin dengan syarat tidak boleh mengambil banyak foto. Itulah sekelumit cerita perjalanan ke Terusan Suez yang pada Minggu besok tepat berusia 150 tahun. Perjalanan yang memberi kesan, berkunjung ke Terusan Suez tak semudah dulu lagi....