Porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional ditargetkan 23 persen pada 2025, yang meningkat menjadi 31 persen pada 2050.
Oleh
ARIS PRASETYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transisi energi dari sumber yang kotor dan tak terbarukan ke sumber terbarukan yang lebih bersih bisa dilakukan dengan cepat. Syaratnya, pemerintah memberi kemudahan investasi dalam bentuk pembiayaan dan fiskal.
Namun, di sisi lain, batubara berpeluang menjadi sumber energi bersih melalui sejumlah rekayasa teknologi.
Menurut Ketua Indonesian Mining Institute Irwandy Arif, upaya Indonesia memprioritaskan sumber energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil terbilang lamban. Padahal, dunia sedang bertransformasi meninggalkan energi fosil yang kotor menuju energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Beberapa negara memiliki visi memanfaatkan energi terbarukan 100 persen dalam bauran energi nasional mereka.
”Transisi (dari energi fosil ke terbarukan) bisa dipercepat lewat dukungan kebijakan dan regulasi yang ramah investasi. Termasuk mendukung pembiayaan untuk proyek-proyek energi terbarukan,” kata Irwandy, Jumat (15/11/2019), di Jakarta.
Di sisi lain, Irwandy berpendapat, dalam 20 tahun sampai 40 tahun mendatang batubara masih dibutuhkan di sejumlah negara Asia. Pasalnya, beberapa negara tengah membangun pembangkit listrik tenaga uap yang berbahan bakar dari pembakaran batubara. Oleh karena itu, lanjut dia, transisi energi menuju energi terbarukan di Indonesia masih perlu waktu.
Dalam Kebijakan Energi Nasional, Indonesia mematok target peran energi terbarukan 23 persen dalam bauran energi nasional di 2025, yang dinaikkan menjadi 31 persen pada 2050. Faktanya, sampai sekarang peran energi terbarukan masih sekitar 8 persen. Sejumlah kalangan meragukan target 23 persen pada 2025 bisa dipenuhi kendati secara teknis memungkinkan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa berpendapat, perlu kebijakan yang progresif dan revolusioner untuk membawa Indonesia menuju pengembangan energi terbarukan yang optimal. Sejumlah negara, seperti Vietnam, lewat kebijakan fiskal dan regulasi yang ramah investasi berhasil membawa negara itu pada realisasi pembangkit listrik tenaga surya 4.500 megawatt di 2019. Vietnam berencana menaikkan kapasitasnya menjadi 10.000 megawatt sampai 2020.
”Vietnam saja bisa. Mengapa Indonesia tidak? Artinya, kebijakan pemerintahnya berpengaruh penting terhadap keberhasilan program transisi energi tersebut," ucap Fabby.
Perlu transisi
Ketua Dewan Penasihat Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) Kuntoro Mangkusubroto mengatakan, ketergantungan pada minyak di era 1970-an membuat Indonesia lupa mengembangkan sumber energi lain. Penjualan minyak di era itu menjadi tulang punggung utama keuangan negara. Pada saat produksi minyak merosot, sedangkan kebutuhan minyak naik drastis, Indonesia diterpa defisit pada neraca perdagangan migasnya.
”Pemanfaatan energi fosil yang masif menyebabkan pencairan es di kutub lebih cepat dari perkiraan. Suhu bumi terus naik. Oleh karena itu, perlu transisi dari energi fosil menuju energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan,” kata Kuntoro.
Kuntoro melanjutkan, perlu sosialisasi ke seluruh pemangku kepentingan mengenai pentingnya transisi menuju energi terbarukan. Kesadaran bahwa energi fosil yang tidak bisa diperbarui dan memberikan dampak bagi perubahan iklim harus terus ditumbuhkan. Salah satu upayanya adalah dukungan lewat kebijakan pemerintah.
”Ingat, 10 tahun lagi bisa jadi batubara akan ditinggalkan dan menjadi musuh di seluruh dunia. Bagaimana Indonesia mengantisipasinya? Itu yang harus dipikirkan dari sekarang,” ujar Kuntoro.