Gunung Merapi Erupsi, Ancaman Bahaya Belum Ditingkatkan
Gunung Merapi di perbatasan antara Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta erupsi, Minggu (17/11/2019) pukul 10.46. Belum ada peningkatan ancaman bahaya atas aktivitas vulkanik dari gunung tersebut.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Gunung Merapi di perbatasan antara Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta erupsi, Minggu (17/11/2019) pukul 10.46. Belum ada peningkatan ancaman bahaya atas aktivitas vulkanik dari gunung tersebut. Hingga saat ini, statusnya juga belum berubah, yakni Waspada (level II).
Berdasarkan catatan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, erupsi itu berdurasi 155 detik dan amplitudo maksimal 70 mm. Aktivitas vulkanik itu menghasilkan kolom asap letusan dengan tinggi sekitar 1.000 meter dari puncak.
Material didominasi gas dan abu vulkanik. Selain itu, terjadi pula luncuran awan panas yang jaraknya kurang dari 1 km ke arah hulu Kali Gendol di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saat letusan terjadi, angin bertiup ke arah barat. Dilaporkan pula terjadi hujan abu tipis di wilayah Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Wilayah tersebut berjarak 15 km dari puncak Merapi.
”Kami informasikan terdapat sumbat lava. Sumbat lava itu yang menyebabkan gas tidak dapat terlepaskan. Gas yang terakumulasi ini kemudian terlepaskan menjadi letusan,” kata Kepala BPPTKG Hanik saat dihubungi pada Minggu siang.
Kami informasikan terdapat sumbat lava. Sumbat lava itu yang menyebabkan gas tidak dapat terlepaskan. Gas yang terakumulasi ini kemudian terlepaskan menjadi letusan.
Dua kali letusan terakhir menghasilkan kolom asap letusan yang lebih tinggi daripada Minggu itu. Pada 14 Oktober 2019, tinggi kolom asap letusan mencapai sekitar 3.000 meter. Sementara pada 9 November 2019, kolom asap letusan hanya bertinggi sekitar 1.500 meter.
Hanik menyampaikan, ancaman bahaya dari aktivitas vulkanik masih belum berubah, yaitu lontaran material dan luncuran awan panas. Selama ini, rata-rata jarak luncurnya sekitar 2 km. Masyarakat diimbau tidak beraktivitas dalam radius 3 km dari puncak. Selain itu, masyarakat juga diminta mewaspadai lahar dingin apabila terjadi hujan di lereng.
”Tidak ada deformasi yang cukup signifikan. Artinya, potensi ancaman itu masih sama, yaitu dalam radius 3 km,” ujar Hanik.
BPPTKG mencatat, terjadi peningkatan aktivitas vulkanik setelah erupsi yang terjadi pada 14 Oktober 2019. Peningkatan aktivitas vulkanik itu terjadi pertama kali pada 25 Oktober 2019. Saat itu, peningkatan terjadi pada gempa vulkano-tektonik dalam (VTA). Jumlahnya mencapai 12 kali dalam sehari. Sehari sebelumnya, Merapi hanya mengalami tiga kali VTA (Kompas, 9 November 2019)
Berdasarkan catatan BPPTKG, kegempaan kembali meningkat setelah letusan pada 9 November 2019. Peningkatan itu terjadi pada 15-16 November. Seismograf mencatat rata-rata VTA mencapai 15 kali per hari dan multiphase (MP) atau gempa vulkanik di sekitar puncak atau kubah lava gunung api hingga 75 kali per hari. Pada Minggu (17/11/2019) pukul 00.00-11.00, tercatat VTA 3 kali, gempa vulkano-tektonik dangkal (VTB) 4 kali, dan MP 16 kali.
”Peningkatan kegempaan ini diduga mencerminkan akumulasi tekanan gas di bawah permukaan kubah yang berasal dari dapur magma di kedalaman lebih dari 3 km,” kata Hanik.
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Sleman Makwan mengatakan, letusan itu tidak mengakibatkan hujan abu di wilayah lereng Merapi di Kabupaten Sleman. Masyarakat juga tidak mengalami kepanikan. Situasi yang tercipta aman dan terkendali.
Makwan menambahkan, dalam langkah preventif, pihaknya selalu menyiapkan masker yang siap dibagikan sewaktu-waktu. ”Stok masker kami masih cukup banyak. Jumlahnya sampai 600.000 buah,” katanya.
Selain itu, General Manager Bandara Internasional Adisutjipto PT Angkasa Pura I Agus Pandu Purnama mengatakan, letusan yang terjadi siang itu tidak memengaruhi aktivitas penerbangan. Penerbangan berlangsung normal, baik di Bandara Internasional Adisutjipto maupun Bandara Internasional Yogyakarta.
”Anginnya tidak menuju ke wilayah penerbangan. Jarak capaiannya (asap) juga tidak terlalu tinggi,” kata Pandu.
Pandu menambahkan, situasi penerbangan terus dipantau. Dilakukan pula paper test guna mengetahui terpaparnya area penerbangan oleh abu vulkanik. Tes itu dilakukan setiap 30 menit. Menurut hasil tes, paparan abu vulkanik itu masih negatif. Selain itu, pihak bandara juga tidak menerima laporan temuan abu vulkanik dari pilot yang beroperasi.