Ajang lari Borobudur kini menjadi ikon wisata olahraga nasional. Kegiatannya tidak semata adu lari demi gengsi dan prestasi, tetapi juga melahirkan ruang-ruang inspirasi.
Oleh
Regina Rukmorini / Kristi Dwi Utami / Megandika Wicaksono
·4 menit baca
Ajang lari Borobudur yang dirintis sejak era tokoh atletik Bob Hasan kini berubah menjadi ikon wisata olahraga nasional. Kegiatannya bertransformasi tidak saja sebagai ajang adu lari demi gengsi dan prestasi, tetapi juga melahirkan ruang-ruang inspirasi.
Salimin (20), atlet paratriatlon nasional, terkejut dicegat sejumlah ibu saat memacu kursi rodanya dalam Friendship Run Borobudur Marathon 2019 Powered by Bank Jateng, Sabtu (16/11/2019). Para ibu itu mengajaknya foto bersama. ”Ibu-ibu itu berkata kepada saya, foto itu diharapkan bisa membuat anaknya lebih bersemangat, meniru semangat saya saat lari di atas kursi roda,” ujarnya.
Sontak, dia merasa bangga karena dirinya ternyata bisa menjadi contoh bagi orang lain. Sadar tak sedang berkompetisi, Salimin dan lima atlet paratriatlon lain peserta Friendship Run tidak memacu laju kursi rodanya. Itu justru memberi makna bagi Salimin. Selain diajak berfoto, ia juga diajak ngobrol dan disuguhi minum oleh warga sekitar.
Friendship Run adalah rangkaian Borobudur Marathon 2019. Bersifat nonkompetisi, suasana acara lari yang diikuti 500 pelari itu cair dan guyub.
Suasananya enak banget dan ada nuansa budaya di Borobudur Marathon ini.
Canda tawa pelari dengan penari sudah membuncah di pelataran Candi Pawon, tempat start. Dengan dandanan kostum buto atau raksasa, para penari antusias melayani permintaan berfoto bersama pelari.
”Suasananya enak banget dan ada nuansa budaya di Borobudur Marathon ini. Kostumnya unik-unik dan penarinya ramah mau diajak berfoto,” kata Helsa Caesaria, pelari dari Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ia dan sejumlah rekannya datang ke Magelang untuk memberi semangat salah satu teman yang mengikuti kategori half marathon pada Borobudur Marathon 2019, Minggu (17/11).
Menambah saudara
Aldi (29), salah satu penari kuda lumping Sanggar Bekso Turonggo Mudo, Desa Manteran, Kecamatan Ngablak, senang diajak berfoto para pelari. ”Senang ikut pentas di acara ini. Bisa tambah pengalaman dan sedulur (saudara),” ujar dia.
Dari sanggar ini, ada 20 penari dan penabuh musik. Para penari mengenakan kostum badong sebagai penutup tubuh berwarna-warni. Kelompok ini biasa ditanggap memeriahkan hajatan, seperti pernikahan. ”Sehari-hari kami petani sayur,” ujar Ahmad (20), penari lain.
Koordinator Kesenian Friendship Run, Riyadi, menyampaikan, penari dan penabuh yang terlibat kirab 80 orang. Mereka dari komunitas seniman lima gunung di sekitar Magelang. Para penari antara lain dari Padepokan Wargo Budoyo, Sanggar Saljana, Sanggar Andong Jinawi, dan Sanggar Srikandi.
”Tarian yang dibawakan kuda lumping, jingkrak sundang, dan gupala gunung. Tarian ini menekankan gerakan kekuatan kaki. Demikian pula dengan maraton ini,” tutur Riyadi.
Suprat (67), warga Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur, mengatakan, setiap kali ada Friendship Run dan Borobudur Marathon, ia selalu menyempatkan diri memotret dan merekam pelari saat melintasi depan rumahnya, menggunakan telepon seluler. Rekaman video itu disimpan dan dikirim ke anak dan cucu di Banjarmasin.
Saya hanya ingin mengenalkan Borobudur melalui dunia yang saya tahu, ajang lari.
Yayuk Sri Sunarti (65), warga Desa Wanurejo lain sangat senang karena dua tahun terakhir rute lari Borobudur Marathon selalu melintasi rumahnya. Karena itu, dia selalu berupaya menyediakan minuman bagi para pelari. Tahun ini, ia berencana memberikan teh sereh. ”Supaya praktis dan bisa dibawa lari, teh akan saya kemas dalam plastik,” ujarnya.
Kebahagiaan serupa juga disampaikan Siti (38) yang antusias menunggui anaknya, Fitri (15), siswi kelas IX SMPN 1 Borobudur yang ikut menyemarakkan Friendship Run. ”Acaranya meriah sekali. Anak saya sejak kecil suka olahraga lari dan senang sekali ini bisa ikut berlari,” tuturnya.
Borobudur Marathon yang digelar Minggu ini menyambut 10.900 pelari dari berbagai negara. Ketua Yayasan Borobudur Marathon Liem Chie An tak menyangka ajang yang ia rintis 2013 itu ada pada level ini. ”Saya hanya ingin mengenalkan Borobudur melalui dunia yang saya tahu, ajang lari,” ujarnya.
Transformasi
Borobudur Marathon metamorfosis dari Bob Hasan 10K, yang diinisiasi tokoh atletik Bob Hasan pada 1990. Ajang berubah nama jadi Borobudur 10 K dan digelar pada 1999, 2000, 2002, dan 2005. Sebelum dimulai lagi oleh Chie An pada 2013, ajang itu sempat vakum.
Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo mengatakan, Borobudur Marathon menggabungkan tiga konsep, yakni olahraga, budaya, dan komunikasi. Dengan itu, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, dan Indonesia akan dikenal di dunia sekaligus mengungkit ekonomi masyarakat.
Direktur Bisnis Ritel dan Unit Usaha Syariah Bank Jateng Hanawijaya menuturkan, Bank Jateng mendukung Borobudur Marathon sebagai strategi menarik wisatawan ke Candi Borobudur dan Jateng. Bank Jateng juga berkomitmen mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Magelang.
Ini luar biasa.
”Kami meliterasi UMKM terkait pembayaran dengan sistem uang elektronik. Kami juga menginjeksi modal bagi pelaku UMKM potensial yang terkendala modal melalui kredit usaha rakyat,” tuturnya.
Tak hanya pelaku UMKM, penyedia jasa rumah inap juga diberi pelatihan standar rumah inap. Jika mereka kesulitan modal, bisa memperoleh fasilitas KUR dari Bank Jateng.
Widya (35), pelaku UMKM yang berpartisipasi dalam Pasar Harmoni Borobudur Marathon, mengungkapkan, ia terbantu. Sebelumnya, Bajingan Telo, camilan berbahan dasar singkong buatannya tak banyak dikenal publik. Pasar Harmoni mengangkat produknya.
Para pelari pun sangat terkesan. Asril (22), pelari asal Yogyakarta, menyebut Borobudur Marathon berbeda dengan maraton lain. Ajang ini berhasil memanggungkan potensi kebudayaan dan perekonomian lokal dengan kemasan elegan melalui hajatan olahraga tingkat dunia.