Jaringan Terorisme Sumut Terungkap
Pengejaran para terduga teroris terkait kasus bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Medan mulai mengungkap jejaring terorisme di Sumatera Utara.
Polisi telah menangkap 18 tersangka terkait bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan. Dari penangkapan yang dilakukan di Sumatera Utara dan Aceh ini, diketahui bahwa jaringan pelaku teror cukup banyak di Sumut.
MEDAN, KOMPAS— Pengejaran para terduga teroris terkait kasus bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Medan mulai mengungkap jejaring terorisme di Sumatera Utara. Dalam empat hari, sejak Rabu lalu hingga Sabtu (16/11/2019), 18 tersangka teroris ditangkap di Sumut dan Aceh telah ditangkap.
Penangkapan terakhir kemarin dilakukan di Desa Kota Datar, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Dalam penangkapan ini, 2 terduga teroris tewas ditembak, 1 tertangkap, dan 1 lolos. Saat mau ditangkap, tersangka teroris menyerang dengan pisau hingga melukai seorang anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror di bagian tangan, pinggang, dan paha.
Sejumlah material yang siap dirakit menjadi bom ditemukan dalam penangkapan tersebut. Bukti bom rakitan yang sebelumnya dibuang dua tersangka teroris lainnya di Kelurahan Canang Kering, Belawan, Medan, sudah ditemukan.
”Pascabom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, diketahui jaringan pelaku cukup banyak di Sumut,” ujar Kepala Polda Sumatera Utara Inspektur Jenderal Agus Andrianto di RS Bhayangkara, Medan, kemarin.
Dari 18 tersangka teroris yang ditangkap dalam empat hari terakhir, 15 orang ditangkap di Sumut dan 3 di Aceh. Jumlah itu masih bisa bertambah karena pengusutan terhadap jaringan pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Medan, yaitu RMN, masih terus dilakukan. (Pengejaran) masih akan berlanjut karena kami berusaha memberikan rasa aman kepada masyarakat,” kata Agus.
Aksi bom bunuh diri yang dilakukan RMN pada Rabu lalu diduga merupakan bagian dari upaya simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) untuk menunjukkan eksistensinya di Indonesia.
Sejak 2015
Peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), Thayep Malik, mengatakan, penyebaran paham radikal dan terorisme di Sumut banyak terjadi sejak 2015 setelah Syawaluddin Pakpahan kembali dari Suriah. Ia bagian dari anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang menyerang Markas Polda Sumut pada 2017.
Terkait RMN, Thayep tak bisa memastikan apakah yang bersangkutan merupakan bagian dari sel JAD. Namun secara ideologi, RMN diduga kuat berbaiat kepada NIIS.
Sementara di Hamparan Perak yang kemarin menjadi lokasi penangkapan tersangka teroris, sembilan tahun lalu juga pernah terjadi serangan teror. Saat itu, empat polisi jaga di Markas Polsek Hamparan Perak ditembak hingga membuat tiga di antaranya meninggal.
Adapun penangkapan tersangka teroris di Hamparan Perak, kemarin, dimulai dengan adanya polisi yang mencegat dua sepeda motor yang dinaiki empat orang. ”Satu orang (pengendara motor) langsung menyerang,” kata Sardan (49), warga Desa Kota Datar. Saat kejadian pukul 10.50, ia sedang duduk di teras rumah. Lokasi penangkapan itu sekitar 40 kilometer dari Kota Medan.
Saksi mata lain, Herlina (35), mengatakan, satu pelaku lari melewati belakang rumah warga. Saat itu, warga diminta menjauh dari sekitar lokasi.
Keduanya tak mengenal para terduga teroris itu. ”Tidak pernah melihatnya. Bukan warga desa kami,” kata Herlina.
Kapolda Sumut Irjen Agus mengatakan, dua terduga teroris terpaksa ditembak saat melawan. Tersangka yang tertangkap dibawa ke Markas Brigade Mobil untuk diperiksa. Adapun polisi yang terluka sudah ditangani dan stabil di RS Bhayangkara, Medan.
Pengajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Zaki Mubarak, mencatat, sejak 2010, lebih dari 70 persen serangan teroris menyasar polisi dan kantor polisi. Ini diduga sebagai balas dendam atas penangkapan teroris oleh polisi.
Menurut Zaki, mayoritas pelaku teror di Indonesia berkomunikasi dengan NIIS. Sebanyak 80 persennya punya hubungan dengan JAD, baik secara struktural maupun fungsional.
Kini, sebagian pelaku teror berketerampilan tinggi masih ada di Irak dan Suriah. Tokoh berideologi kuat di penjara. Kondisi ini membuat para ”simpatisan” menjadi pelaku teror. Itu membuat bom yang diledakkan rata-rata bom berdaya ledak rendah
Deradikalisasi
Menurut salah satu orang yang terlibat penyerangan di Mapolsek Hamparan Perak, sembilan tahun lalu, Khairul Ghazali, proses deradikalisasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) masih memiliki sejumlah kekurangan. Salah satunya belum menyentuh narapidana berideologi kuat.
Bahkan, sejumlah narapidana aktif menebar radikalisme dari penjara, termasuk melalui media sosial untuk merekrut simpatisan baru. Temuan Tim Densus 88 Antiteror, istri pelaku RMN, yaitu DA, aktif berkomunikasi lewat media sosial dengan narapidana terorisme berinisial I di Lapas Kelas II Wanita Medan. Mereka juga diketahui kerap bertemu di lapas (Kompas.id, 14/11/2019).
”Maka dari itu, literasi digital sangat dibutuhkan sebagai bagian dari upaya pencegahan radikalisme,” kata pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail.
Selain itu, untuk meredam paparan radikalisme, perlu dipetakan siapa dan kelompok mana yang terpapar. Setelah itu, pemerintah perlu mengajak para tokoh masyarakat mencegahnya melalui dialog atau kerja kemanusiaan yang lain.
Terkait deradikalisasi, kata Ghazali, efektif apabila melibatkan mantan narapidana terorisme yang pernah memiliki keyakinan sama untuk mendekati mereka. ”Itu pun tetap harus dipantau dan dievaluasi prosesnya karena tidak semua mantan narapidana memiliki ’frekuensi’ yang sama,” katanya.
Sejauh ini, meski upaya deradikalisasi oleh BNPT belum maksimal, jumlah narapidana yang meninggalkan ideologinya masih lebih banyak daripada yang tetap radikal.
Dalam diskusi di Jakarta, Deputi Deradikalisasi BNPT Irfan Idris mengatakan, deradikalisasi memang harus berkesinambungan dan holistik. Saat ini masih disiapkan desain besar strategi lebih komprehensif untuk menangani terorisme.
Kerap disangkal
Noor Huda mengingatkan, keberadaan kelompok radikal di tengah masyarakat masih kerap disangkal. Sikap itu, tanpa sadar, membuka ruang bagi radikalisme dan terorisme tumbuh subur.
Adapun Kapolda Sumut mengatakan, masih ada saja pihak yang menilai penangkapan terduga teroris sebagai pengalihan isu. Satu di antaranya saat polisi menangkap tiga terduga teroris sebelum pelantikan presiden-wapres terpilih.
”Tidak ada untung mengalihkan isu. Mereka benar-benar ada di sekitar kita,” ujarnya.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara, ideologi kekerasan yang menjadi landasan terorisme tumbuh subur dalam lingkungan yang mendukung.
”Ideologi apa pun, dalam hal ini agama, dipakai sebagai legitimasi moral mereka melakukan aksi terornya. Adapun persoalan sebenarnya, yakni ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, dan kepincangan penegakan hukum, jadi pemicu mereka melakukan itu,” katanya.
Pendekatan di luar keamanan, seperti memupus kesenjangan dalam banyak hal, dinilai akan berdampak panjang. Hal itu harus dilakukan selain penangkapan dan pengejaran terduga teroris.
(NSA/NDU/REK/IGA)