PBB Peringatkan Bolivia, Kekerasan Bisa Tak Terkendali
Utusan PBB, Jean Arnault, mengatakan, sebuah tim akan bertemu dengan para politisi dan kelompok sosial pada Minggu (17/11/2019). Mereka akan bekerja sama mengakhiri kekerasan serta mendorong pemilu yang demokratis.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
LA PAZ, MINGGU — Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan kekerasan bisa tidak terkendali di Bolivia. Jumlah korban meninggal akibat krisis politik di negara tersebut terus meningkat hingga 23 orang.
Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Michelle Bachelet mengatakan, meningkatnya kekerasan di Bolivia dapat mengacaukan proses demokrasi. Saat ini, mantan Wakil Ketua Senat, Jeanine Anez, menjabat sebagai presiden sementara untuk mengisi kekosongan kekuasaan pasca-pengunduran diri Evo Morales sebagai presiden.
”Saya khawatir situasi di Bolivia bisa lepas kendali jika pihak berwenang tidak menanganinya dengan penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia,” kata Bachelet melalui keterangan tertulis, Sabtu (16/11/2019).
Kekerasan kembali terjadi pada Jumat (15/11/2019) di sejumlah wilayah, seperti Kota Cochabamba dan Sacaba. Hingga hari ini, sebanyak 23 orang tewas akibat krisis politik di Bolivia yang berlangsung sejak pemilihan presiden pada 20 Oktober 2019.
Anggota Ombudsman Cochabamba Nelson Cox mengatakan, catatan rumah sakit menunjukkan sebagian besar kematian dan cedera pada Jumat disebabkan oleh luka tembak. Selain itu, tercatat lebih dari 100 orang terluka.
”Kami bekerja sama dengan Kantor Ombudsman Nasional untuk melakukan otopsi dan mencari keadilan bagi para korban,” kata Cox.
Kerusuhan di Bolivia terus terjadi selama beberapa minggu terakhir. Kerusuhan berawal dari protes atas atas keterpilihan Morales sebagai politikus berhaluan kiri kembali sebagai presiden Bolivia untuk periode keempat.
Pasca-penolakan publik, yang ditambah tekanan militer, Morales pun lari ke Meksiko. Meksiko memang langsung menawarkan suaka politik kepada Morales begitu gejolak ketidakpuasan sebagian rakyat Bolivia terhadap hasil pemilu mencuat.
Anez pun mengambil posisi sebagai presiden sementara akibat sejumlah pejabat lainnya mengundurkan diri. Namun, pendukung Morales menolak Anez yang berhaluan kanan. Bentrok antara pendukung Morales dan pihak berwenang pun tak terelakkan.
Melalui media sosial, Morales berulang kali menuding upaya kudeta atas dirinya. Anez dituduh ikut terlibat.
”Para pemimpin kudeta membantai orang-orang pribumi dan rendah hati karena meminta demokrasi,” katanya di Twitter menyusul laporan meningkatnya angka kematian.
Anez tidak kalah balik menuding Morales sebagai pelaku kudeta karena berupaya untuk kembali mencalonkan diri sebagai presiden setelah menjabat selama 14 tahun. Ia juga menyalahkan Morales karena memicu kekerasan dari luar negeri.
Menurut laporan kepolisian, para petani pendukung Morales bersenjata alat berat. Mereka membawa pistol, granat, dan peluncur roket rakitan yang terbuat dari pipa digergaji.
Pemilu baru
Sejak menjabat sebagai presiden sementara Bolivia meskipun kongres gagal mencapai status kuorum pada Selasa (12/11/2019), Anez menyebutkan akan segera mengadakan pemilu. ”Saya sekarang menyerukan transisi pemerintahan yang damai dan demokratis, mencabut kondisi yang telah membuat kami menjadi negara totaliter,” tuturnya.
Utusan PBB, Jean Arnault, mengatakan, sebuah tim akan bertemu dengan para politisi dan kelompok sosial pada Minggu (17/11/2019). Mereka akan bekerja sama untuk mengakhiri kekerasan serta mendorong sebuah pemilu yang bebas dan transparan.
Meningkatnya kekerasan dan jumlah kematian mendorong Morales bersikap lebih tenang dalam menyikapi krisis politik di Bolivia. ”Demi demokrasi. Saya tidak punya masalah untuk tidak ikut dalam pemilihan baru,” kata Morales dalam sebuah wawancara di Mexico City, Meksiko.
Partai pendukung Morales, yang kini menjadi oposisi, telah meminta DPR Bolivia untuk membahas rencana pilpres yang baru dalam sebuah sesi pada Selasa, pekan depan. (Reuters/AFP)