Bahaya terorisme bukan hanya ledakan bom, namun juga transfer ideologi radikal melalui internet dan jejaring media sosial. Bahaya inilah yang patut diwaspadai.
Oleh
Ingki Rinaldi
·5 menit baca
Ambisius. Itulah satu kata yang dipakai Nasir Abbas, pakar isu terorisme, untuk menggambarkan bagaimana jaringan kelompok teroris memanfaatkan teknologi informasi. Tak hanya untuk mendukung terlaksananya aksi, proses perekrutan dan transfer ideologi radikal juga gencar dilakukan melalui internet dan jejaring media sosial. Bahaya inilah yang patut diwaspadai. Sebab, bukan hanya ledakan bom, aktivitas itu juga merupakan salah satu kekuatan terbesar jaringan kelompok teror.
Nasir melempar ingatannya ke tahun 1987, saat masih berada di Afghanistan. Mantan petinggi Jamaah Islamiyah itu menceritakan pengalamannya menggunakan sinyal wireless dari perangkat handy talkie untuk meledakkan bom. Fungsinya sebagai detonator atau pemicu ledakan.
Pada 2002 di Bali, ia menggunakan sinyal telepon genggam untuk aksi serupa. Orang- orang mengenal aksinya dengan Bom Bali I.
Dalam konferensi bertajuk ”Antara Kebebasan dan Pembatasan: Hoaks dan Ekstremisme di Internet”, akhir Oktober lalu, di Jakarta, Nasir memaparkan bagaimana teknologi informasi dimanfaatkan untuk melancarkan serangan teror.
Ambisius, itulah kata yang oleh Nasir paling tepat untuk menggambarkan hubungan jaringan kelompok teroris dengan teknologi informasi. Ambisi itu terlihat dari keberhasilannya mengirim layanan pesan singkat (SMS) antarnegara pada 1998. Pada masa yang sama, orang-orang di Indonesia baru bisa berkirim SMS di dalam negeri antarsesama pengguna operator layanan telekomunikasi yang sama.
”Saya (sudah) bisa kirim SMS dari Filipina ke Indonesia dengan provider berbeda,” katanya.
Dalam konferensi yang diselenggarakan Goethe-Institut, Center for Digital Society (CfDS), dan ICT Watch itu, Nasir memaparkan materi berjudul ”Media Sosial Sebagai Jalur Rekrutmen untuk Jaringan Teror”. Menurut dia, jejaring kelompok teror relatif sama dengan orang lain yang menggunakan alat telekomunikasi dan teknologi untuk hidup sehari-hari.
Itulah mengapa saat perekrutan anggota teroris dilakukan di dunia nyata maka hal sama dilakukan juga di dunia maya. Perekrutan itu berlangsung dalam, sekurang-kurangnya, dua jalur berbeda.
”Beda format saja (tetapi) aktivitas sama. Isu yang mau disampaikan sama. Malah lebih mudah, (karena) dengan dunia maya, tanpa bertemu pesan sampai,” kata Nasir.
Pertama, lewat jalur pendidikan agama, dalam hal ini ajaran agama yang dibajak ideologi terorisme. Kedua, lewat jalur pendidikan militer.
Aktivitas media orang yang berperan dalam skema perekrutan adalah dengan menjelajahi internet yang berisikan konten dukungan pada paham kekerasan. Selain itu, juga konten yang memberikan pengetahuan mengenai militerisme.
Selanjutnya, dilakukan diskusi secara virtual dengan seseorang atau kelompok yang memiliki ideologi sama. Berikutnya, mereka akan saling berbagi video, artikel, dan buku elektronik.
Beberapa hal yang ditemukan terkait subyek mengenai radikalisme dan atau terorisme di sejumlah pelantar medsos adalah akun Facebook yang berhubungan dengan radikalisme dan terorisme. Di antaranya berisikan konten propaganda, khilafah, dan cara pembuatan bom.
Selain itu, ditemukan juga akun Twitter yang berisikan paham radikalisme. Ada juga kanal berita dan informasi radikal, di antaranya dalam kantor berita Amaq.
Sejumlah artikel, seperti tulisan terdakwa kasus teror bom Thamrin di Jakarta, Aman Abdurrahman, dengan judul ”Sudahkah Anda Kafir kepada Thaghut?” juga menjadi salah satu kontan yang ditemukan. Ditemukan juga laman berisikan petunjuk membuat bom.
Cara membuat alat-alat untuk melakukan teror juga bisa diketahui tanpa mesti bertemu. Pendeknya, kata Nasir, teknologi komunikasi mempermudah jaringan terorisme dalam menyebarkan pengaruh dan upaya perekrutan anggota yang dilakukan.
Bukan bom
Nasir mengatakan, kekuatan paling besar dari kelompok teroris bukanlah ledakan bom, tetapi pada bagaimana cara mereka mengajari anak-anak sejak prasekolah hingga universitas. Mereka menebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Secara terpisah, dosen Sekolah Kajian Stratejik & Global Universitas Indonesia, Puspitasari, mengatakan, medsos bukan hanya dimanfaatkan untuk melakukan perekrutan. Perannya lebih dari sekadar untuk menghubungkan dan menggabungkan orang-orang ke dalam ideologi kekerasan.
”Tetapi juga untuk penggalangan (dana) dan pendanaan,” kata Puspitasari.
Peran aparat
Nasir mengatakan, yang saat ini penting dilakukan adalah peran aparat dalam mengontrol dan menindak kelompok tersebut. Jika tidak segera dilakukan, pengaruh mereka akan membesar.
Menurut dia, saat jaringan terorisme aktif, keaktifan yang sama juga perlu dilakukan untuk memberantasnya. Pemberantas terorisme juga mesti berambisi dan aktif untuk melakukan upaya pemberantasan itu.
Untuk mencapai itu, diperlukan penghilangan budaya ”asal bapak senang” dalam membuat laporan yang terkadang tak sesuai fakta. Pasukan yang lebih militan dalam memberantas aksi terorisme dibutuhkan dalam hal ini.
Pendiri laman Islami.co dan Direktur nu.or.id, Savic Ali, pada kesempatan itu menyampaikan pentingnya penegakan hukum. Selain itu, diperlukan pembentukan narasi tandingan dan pengorganisasian masyarakat untuk membuat kelompok- kelompok penekan baik di dunia maya maupun nyata.
Saat jaringan terorisme aktif, keaktifan yang sama juga perlu dilakukan untuk memberantasnya.
Jurnalis dan pembuat film asal Jerman, Patrick Stagemann, yang hadir lewat fasilitas telekonferensi, menekankan perlunya literasi media. Ia juga menyoroti peran jurnalis yang mesti lebih terlibat dalam diskusi di masyarakat luas.
Sementara Direktur Goethe-Institut Indonesia Stefan Dreyer mengatakan, dialog mengenai transformasi digital penting dilakukan guna merespons perkembangan zaman yang memengaruhi semua pihak di semua tempat. Dua hal yang menjadi fokus bahasan, yaitu kerusakan akibat disinformasi, hoaks, dan ekstremisme serta batas tipis tindakan legal yang diperlukan dalam kaitannya dengan kebebasan serta sensor dalam berpendapat. Tema yang terakhir jadi dilematis sebab esensi internet adalah komunikasi digital tanpa batasan.
Saat praktik itu diatur dengan norma-norma etik, kata Stefan, maka sama saja dengan kembali para praktik pada masa lalu dan menggantungkan hal tersebut kepada pemerintah. Banyak komplikasi dan memerlukan solusi yang tidak mudah dirumuskan serta diperoleh.