”Ditahan di India, Ayah Belum Pulang Melaut”
Munazir (33), Azmansyah (29), dan Kaharuddin (50), nelayan Aceh, ditahan oleh aparat keamanan India di kawasan Andaman karena dituduh melanggar batas teritorial. Keluarga yang ditinggalkan merana.
Mata Nurlianti (27) masih sembab. Saban malam dia menangis membayangkan keadaan Munazir (33), suaminya, yang kini ditahan di India. Munazir, Azmansyah (29), dan Kaharuddin (50), nelayan Aceh, ditahan aparat keamanan India di kawasan Andaman karena dituduh melanggar batas teritorial.
”Tanggal 17 (November) nanti, pas dua bulan suami ditahan,” kata Nurlianti ditemui Kompas, Senin (11/11/2019) di rumahnya di Gampong/Desa Jawa, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh.
Sore itu, Nurlianti duduk di lantai sambil menarik pelan kain ayunan. Cendikia (1,8 tahun) anak semata wayang mereka tidur pulas di sana. ”Adek baru keluar dari rumah sakit. Dia rindu ayahnya,” kata Nurlianti.
Munazir, Azmansyah, dan Kaharuddin ditangkap oleh aparat keamanan India pertengahan September 2019. Mereka melaut menggunakan kapal motor Athiya 02 kapasitas 7 gross ton. Tiga nelayan itu bergerak dari pelabuhan kecil di Gampong Jawa pada 17 September 2019.
Nurlianti menuturkan, biasaya, suaminya melaut paling lama 12 hari. Namun, waktu itu sudah 18 hari suaminya belum kembali. Sepanjang hari hati Nurlianti gundah gulana. Dia membayangkan sesuatu yang buruk menimpa suaminya.
Nurlianti melaporkan kepada Panglima Laot/Lembaga Adat Nelayan Aceh bahwa Munazir dan dua temannya belum kembali. Beberapa hari setelah melaporkan, Nurlianti mendapat kabar bahwa suaminya ditahan oleh aparat keamanan di India.
”Bahagia, suami saya masih hidup, tetapi sampai kapan dia ditahan di sana. Si Adek selalu tanya ayahnya,” kata Nurlianti lirih.
Nurlianti mengatakan, sejak suaminya ditahan, Cendikia selalu menanyakan ayah kapan melaut. Terkadang Cendikia minta diantar ke pantai menunggui ayahnya pulang. ”Kalau ditanya, saya bilang, ayah masih di laut, besok pasti pulang,” ujar Nurlianti.
Gampong Jawa berbatasan langsung dengan laut. Warga Gampong Jawa umumnya berprofesi sebagai nelayan, tetapi nelayan kecil, bukan pemilik kapal.
Sejak suaminya ditahan, kondisi ekonomi Nurlianti kian melarat. Dia tidak punya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Suaminya hanya nelayan kecil yang melaut dengan kapal milik pengusaha. Penghasilan suaminya hanya Rp 2 juta per bulan. ”Rezeki nelayan tidak menentu, kadang tidak ada tangkapan sama sekali,” kata Nurlianti.
Munazir berasal dari Kabupaten Aceh Timur, sedangkan Nurlianti aslinya dari Kabupaten Pidie. Setelah menikah pada 2012, mereka tinggal di Gampong Jawa. Tinggal di rumah kontrak biaya sewa Rp 3 juta per tahun. Nurlianti kian gundah, sebab bulan Desember kontrakan berakhir sementara dia belum punya uang untuk memperpanjang.
Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sangat sulit. ”Seandainya ada bantuan sembako, saya sangat bersyukur,” kata Nurlianti.
Seandainya ada bantuan sembako, saya sangat bersyukur. (Nirlianti)
Di Desa Blang Ni, Kecamatan Simpang Ulim, Kabupaten Aceh Timur, Royani (24) juga sedang bersedih. Suaminya, Azmansyah, yang juga ditahan di India belum jelas kapan akan dipulangkan ke Aceh.
Royani dan Azmansyah memiliki satu anak bernama Muhammad Syauki, usia 9 bulan. Terakhir kali Royani melihat suaminya beberapa hari sebelum melaut. Royani memohon bantuan kepada pemerintah untuk membantu pemulangan suaminya. ”Kami keluarga miskin dan anak masih kecil. Saya kesulitan mencari penghasilan,” kata Royani.
Sekretaris Panglima Laot Aceh Miftah Cut Adek mengatakan, KM Athiya tanpa sengaja masuk ke perairan India sebab saat itu kondisi laut disalup kabut dampak kebakaran lahan dan hutan. Biasanya wilayah nelayan melaut atau mencari ikan diperkirakan 50-100 mil dari Banda Aceh. Dengan jarak tersebut berarti berada di sekitar atas Pulau Aceh, Aceh Besar. Lama melaut maksimal 12 hari.
Miftah mengatakan, pada saat mereka berangkat melaut, kabut asap cukup tebal menyelimuti perairan Aceh. Miftah khawatir Munazir tersesat hingga kehabisan bahan bakar.
Pasalnya, pada hari keempat kapal Munazir sempat bertemu dengan salah satu kapal pukat langga. Kebetulan salah seorang awak kapal langga tersebut yang juga teman dari nakhoda KM Athiya. Waktu itu, Munazir dan dua ABK dalam keadaan baik. Bahkan, mereka mendapatkan empat ekor tuna ukuran besar. ”Dengan ukuran kapal 7 GT, tidak mungkin mereka mencuri ikan. Kalau dituduh mencuri ikan, itu sangat zalim,” kata Miftah.
Selain Munazir dan dua temannya, ada juga tiga nelayan asal Kabupaten Aceh Barat Daya yang juga ditahan di India. Banyak nelayan Aceh ditangkap karena masuk ke perairan negara lain.
Sepanjang 2019 setidaknya ada 44 orang nelayan Aceh yang ditahan di beberapa negara tetangga, seperti di Myanmar, Thailand, India, dan Malaysia. Sebagian berhasil dipulangkan dan sebagian harus mendekam di penjara.
Menurut Miftah, tidak mungkin nelayan Aceh mencuri ikan di perairan negara lain. Sebab, ketersediaan ikan di perairan Indonesia melimpah. ”Namun, pengetahuan nelayan kita terhadap membaca peta laut masih rendah,” kata Miftah.
Selain itu, tidak semua kapal nelayan Aceh memiliki perlengkapan navigasi yang lengkap. Akibatnya, nelayan kerap tanpa sengaja masuk ke perairan negara lain.
Dalam beberapa kasus, pemerintah berhasil memulangkan nelayan melalui negosiasi alot dengan negara yang menahan. Pada 12 November 2018, sebanyak 16 nelayan Aceh ditahan di Myanmar. Pemprov Aceh bersama Kementerian Luar Negeri memulangkan 14 orang, sementara satu orang ditahan, dan satu lagi meninggal di Myanmar.
Menurut Miftah, seharusnya nelayan dapat dicegah memasuki perairan negara lain dengan cara meningkatkan pengetahuan mereka membaca peta dan melengkapi alat navigasi.
Nelayan Aceh juga tidak memiliki asuransi kecelakaan. Idealnya, kata Miftah, nelayan mempunyai asuransi sehingga jika terjadi kecelakaan di laut, ada santunan untuk keluarga yang ditinggalkan.
Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Aliman menyatakan, diperlukan peningkatan kemampuan nelayan dalam membaca peta dan navigasi agar tidak masuk ke perairan negara lain. Terkait dengan program asuransi nelayan, tahun lalu sebagian besar nelayan Aceh telah didaftarkan sebagai peserta asuransi. Tahun pertama premi dibayar oleh pemerintah daerah, tetapi karena pada tahun berikutnya nelayan tidak membayar premi, keanggotaan menjadi non-aktif.
Tahun pertama premi dibayar oleh pemerintah daerah, tetapi karena pada tahun berikutnya nelayan tidak membayar premi, keanggotaan menjadi non-aktif.
Sementara dalam kasus penangkapan nelayan, kata Aliman, pemerintah daerah bersama Kementerian Luar Negeri selalu berupaya memulangkan mereka.
Kini, Cendikia dan Syauki menanti ayahnya pulang dari melaut.