Dialog Tanpa Henti Dua Kubu
Lebih dari setengah tahun setelah Pemilihan Presiden 2019 dilaksanakan, keterbelahan sosial di tengah masyarakat masih terjadi.
Lebih dari setengah tahun setelah Pemilihan Presiden 2019 dilaksanakan, keterbelahan sosial di tengah masyarakat masih terjadi. Belum lagi jika keterbelahan itu disigi dari perspektif ideologis. Padahal, jika dilihat dari sisi politik, para politikus cenderung sudah kembali saling berkoalisi.
Hidup di tengah-tengah perbedaan dan kemajemukan dalam suku, agama, ras, dan pandangan politik merupakan kenyataan sehari-sehari masyarakat Indonesia. Bagi sebuah bangsa, kemajemukan itu seperti dua sisi mata uang, bisa sebagai kekuatan, tetapi sekaligus juga sebagai kelemahan.
Dua dimensi kemajemukan, yaitu bisa menjadi kekuatan dan bisa juga sebagai kekuatan pemecah, diungkapkan oleh Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) Din Syamsuddin saat membuka diskusi publik bertema ”Rekonsiliasi Nasional: Apa, untuk Apa, dan Bagaimana?”, akhir Oktober 2019, di Jakarta. Pada titik ini, menjadi penting diajukannya pertanyaan untuk apa dilakukannya rekonsiliasi.
Din mengatakan, keterbelahan bangsa mesti diakui terjadi setelah Pemilihan Presiden 2019 berlalu. Bahkan, keterbelahan itu juga cenderung terjadi pada umat dalam satu agama dan juga anggota dalam satu organisasi.
Padahal, di sisi yang lain, rekonsiliasi politik sudah terjadi. Tidak tanggung-tanggung, Prabowo Subianto, yang maju sebagai pesaing tunggal Joko Widodo untuk menduduki kursi presiden 2019-2024, kini telah bergabung di pemerintahan Jokowi. Prabowo diangkat dan dilantik Jokowi menjadi Menteri Pertahanan.
Sementara itu, di arus bawah, rekonsiliasi belum mulus terjadi. Padahal, rekonsiliasi nasional dalam bingkai Pancasila dan persatuan Indonesia dinilai sebagai keniscayaan. Hal itu terutama dalam menginsafi konteks Indonesia sebagai bangsa majemuk yang beragam. Hal yang juga penting diperhatikan dalam diskusi mengenai rekonsiliasi adalah perlunya pemimpin berdiri di atas semua golongan. Tidak ada kondisi tatkala pemenang mengambil seluruh bagian kekuasaan.
Untuk membahas proses rekonsiliasi tersebut, selain Din yang juga mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, hadir pula sebagai pembicara Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ahmad Basarah, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, Sekretaris Jenderal Partai Perindo Ahmad Rofiq, akademisi politik Chusnul Mar’iyah, dan Ketua Kesatuan Perempuan Partai Golkar Ulla Nuchrawaty.
Asli Indonesia
Zulkifli memulai dengan mengomentari secara permukaan kondisi keterbelahan tersebut. Berbeda dengan Din, Zulkifli menilai kondisi saat ini baik-baik saja. Oleh karena itu, jenis dan maksud rekonsiliasi menjadi layak dipertanyakan. Ia mengurai mulai dari aspek tujuan kemerdekaan Indonesia agar terjadinya persatuan guna mencapai kedaulatan. Kondisi berdaulat akan bisa mewujudkan keadilan yang pada gilirannya memunculkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hanya saja, kata Zulkifli, bagi orang politik atau politikus, hal terpenting adalah tercapainya tujuan. Batasan antara boleh dan tidak boleh cenderung tipis sebab yang paling penting berhasil. ”(Sementara) Publik melihatnya sebagai hitam putih, halal haram,” kata Zulkifli.
Pandangan itu setidaknya tecermin dengan koalisi yang dibangun partai-partai politik seusai Pilpres 2019. Belakangan, masuknya Prabowo ke dalam struktur pemerintahan membuat sebagian masyarakat cenderung tidak habis pikir. Padahal, menurut Zulkifli, bergabungnya Prabowo ke dalam kabinet pemerintahan merupakan wujud asli bangsa Indonesia. Hal tersebut dinilainya menyelesaikan setengah persoalan sekalipun sebagian pihak masih belum bisa menerima.
Menurut Zulkifli, hilangnya keterbelahan yang terjadi akibat perbedaan politik pada pilpres lebih jelas lagi terlihat di parlemen. Setelah semua pihak beroleh jatah, tidak ada lagi kubu 01 dan kubu 02 di MPR. Demikian pula di DPR.
Seperti diketahui, setiap fraksi di DPR mengirimkan anggotanya duduk sebagai pimpinan MPR setelah kursi pimpinan MPR bertambah menjadi 10.
Zulkifli menyebutkan bahwa ada kepentingan besar yang menyatukan mereka. Bangsa Indonesia tidak berbakat untuk menarik garis tegas kawan dan lawan dalam kutub oposisi biner. Beragamnya agama dan suku bangsa menjadi alasannya.
Adapun Ahmad Basarah lebih berfokus pada dimensi konflik yang dipakai sebagai landasan dalam melakukan rekonsiliasi, yaitu dimensi politik, sosial, dan ideologi. Menurut dia, rekonsiliasi di tataran politik relatif mudah dilakukan. Sementara pada dimensi sosial, rekonsiliasi cenderung agak sulit, dan pada dimensi ideologi, tingkatannya dianggap jauh lebih susah.
Konflik ideologi
Ia mengemukakan, dalam relasi antara negara dan agama, terdapat konflik ideologi yang terjadi. Muncul semacam islamophobia di satu kubu dan nasionalisme-phobia di kubu lainnya. Ada kecurigaan bahwa kelompok agamis dianggap tidak nasionalis dan sebaliknya, kelompok nasionalis dianggap tidak agamis.
Padahal, ujar Ahmad, jika melihat pada pembentukan negara, golongan nasionalis dan Islam saling bersintesis. Ia mencontohkan mengenai dokumen asal Piagam Jakarta yang justru berasal dari Soekarno. Akan tetapi, lanjut Ahmad, saat akan ditandatangani pada 18 Agustus 1945, M Hatta mengambil prakarsa untuk menemui tokoh-tokoh Islam. Hal itu menyusul datangnya sejumlah tokoh dari Indonesia timur yang menyatakan bakal berpisah bilamana isi Piagam Jakarta dipertahankan.
”Kurang dari dua jam sebelum rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), alim ulama bersedia mengubah tujuh kata dalam Piagam Jakarta,” kata Ahmad. Hal itu menunjukkan tuduhan bahwa kaum nasionalis tidak agamis tidak terbukti. Demikian pula tuduhan bahwa kaum agama tidak nasionalis juga tidak berdasar.
Ahmad menambahkan, hubungan antara Islam dan nasionalisme sudah sangat jelas berkembang dalam bingkai negara Indonesia. Karena itulah, rekonsiliasi juga mesti dimaknai keluar dari konflik ideologis karena kesalahpahaman dalam melihat hubungan antara Pancasila dan agama.
Jika ditilik dari lintasan sejarah, terdapat sejumlah respons yang berbeda dari kaum agama, dalam hal ini Islam, terhadap Pancasila. Faisal Ismail (1995), dalam disertasi berjudul ”Islam, Politics, and Ideology in Indonesia: A Study of The Process of Muslim Acceptance of The Pancasila” di McGill University, Montreal, menuliskan hal tersebut.
Keberatan kaum nasionalis-Islam terhadap Pancasila terjadi ketika hal itu diajukan kaum nasionalis-sekuler sebagai dasar negara dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dilakukan sebelum Proklamasi Kemerdekaan 1945. Lantas hal itu terjadi lagi pada perdebatan-perdebatan dalam Majelis Konstituante yang berlangsung sejak 1956 hingga 1959.
Perilaku yang sama, tulis Faisal Ismail, dipertunjukkan kembali oleh perwakilan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat pemerintah menetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dalam Sidang Umum MPR tahun 1978. Ketika itu, PPP memilih untuk melakukan aksi walk out.
Dalam diskusi yang dihadiri perwakilan sejumlah organisasi, akademisi, dan aktivis tersebut, sejumlah pertanyaan mengenai proses Pemilihan Umum 2019 masih dilontarkan. Sebagian lagi mempertanyakan tentang praktik nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa.
Sementara Rofiq, dalam paparannya, memilih fokus pada pembahasan mengenai politik sebagai permainan dengan kondisi menang dan kalah sebagai sebuah kewajaran. Ia juga menggarisbawahi belum dijelaskannya alasan rekonsiliasi elite dilakukan karena terkesan seperti hinggap begitu saja di kubu yang sebelumnya berseberangan.
Chusnul, pada sisi lain, memaparkan tentang rekonsiliasi sejati yang tidak berarti melupakan hal-hal di masa lalu, terutama dalam konteks pemilu. Menurut dia, kepercayaan publik lewat perilaku politik berupa satunya kata dengan perbuatan mesti dibangun karena terkait dengan legitimasi.
Buah solidaritas
Pengajar komunikasi politik Universitas Paramadina, Arif Susanto, pada kesempatan terpisah mengatakan, konsensus mengenai dasar negara Indonesia sudah dituntaskan para pelopor bangsa. Namun, hanya relasi mutual setiap generasi yang bisa membuatnya hidup.
Fakta menariknya adalah identitas Indonesia yang sejak awalnya majemuk dan bersifat hibrida. Karena itulah, dituntut adanya solidaritas warga sebagai simpul penjaga Bhinneka Tunggal Ika. Sebagai buah dari solidaritas itu, muncullah konsensus berupa kesepahaman mengenai Pancasila. Ini bukan pengorbanan satu pihak dan bukan juga untuk menghasilkan kemenangan bagi pihak lain.
Dialog terus-menerus dibutuhkan dalam konteks ini agar Pancasila dapat menjadi ideologi yang hidup. Arif menilai bahwa saat ini bukan rekonsiliasi ideologis yang dibutuhkan, melainkan keterbukaan ideologis ala negara modern.
Dalam keterbukaan ini, Indonesia menuntut semua orang untuk mampu berdamai dengan sejumlah paradoks dalam kehibridaan dan kemajemukannya. Arif menilai, gagasan negara modern Indonesia ingin menghadirkan orientasi kosmopolit mengenai hidup bersama dalam keberagaman alih-alih ketunggalan.