Jaksa Agung ST Burhanuddin turut menyoroti stagnasi indeks kerentanan suap dalam berbisnis di Indonesia. Kejaksaan dinilai bisa turut mengawasi kinerja lembaga publik untuk mengantisipasi penyuapan.
Oleh
Insan Al Fajri
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa Agung ST Burhanuddin turut menyoroti stagnasi indeks kerentanan suap dalam berbisnis di Indonesia. Kejaksaan dinilai bisa turut mengawasi kinerja lembaga publik untuk mengantisipasi penyuapan.
Indeks risiko penyuapan dalam berbisnis yang dirilis TRACE International, November 2019, menempatkan Indonesia pada peringkat ke-90 dari 200 negara. TRACE International adalah entitas asosiasi bisnis anti-penyuapan dengan anggota dan klien lebih dari 500 perusahaan multinasional di seluruh dunia.
Dalam kajian yang dilakukan sejak 2014, tetapi minus 2015, Indonesia cenderung pada posisi yang sama atau stagnan. Skor indeks risiko penyuapan dihitung dari 1 hingga 100, dengan angka 1 menunjukkan risiko paling rendah dan 100 paling tinggi.
Burhanuddin, Senin (18/11/2019), di Jakarta, menyatakan akan menjadikan hal itu sebagai salah satu topik dalam rapat kerja. Rapat akan digelar pada 3-5 Desember 2019. ”Silakan ditunggu, nanti hasilnya akan kami sampaikan ke publik,” katanya.
Indeks kerentanan suap yang dirilis TRACE International dihasilkan dari kombinasi skor empat variabel. Variabel itu adalah interaksi antara unsur bisnis dan pemerintah, pencegahan dan penindakan dalam anti-penyuapan, transparansi pemerintah dan pelayanan publik, serta kapasitas pemantauan masyarakat sipil yang juga mencakup peran media.
Tahun 2019, Indonesia ada di posisi ke-90 dengan skor indeks 50. Posisi itu naik dua peringkat dari posisi 2018 (92) dengan skor indeks penyuapan relatif stagnan, yakni 51, dan pada tahun sebelumnya 45 (2017), 55 (2016), dan 51 (2014).
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril menyatakan, stagnasi indeks penyuapan menunjukkan Indonesia masih rentan suap. Kejaksaan bisa ambil bagian dalam proses pengawasan.
Hal ini dimungkinkan karena kejaksaan terstruktur dari pusat sampai daerah. ”Jadi, potensi pungutan liar, misalnya, yang dilakukan institusi dalam melayani publik, bisa diantisipasi,” katanya.
Selain itu, dia melanjutkan, praktik lancung tak menutup kemungkinan terjadi juga di kejaksaan sebagai institusi penegak hukum. Kejaksaan harus menguatkan pengawasan internal. Pengawasan dilakukan di bidang pelayanan hukum publik dan proses penanganan perkara.
”Jangan sampai ada kasus yang tidak jelas perkembangannya. Atau kasus yang tiba-tiba dihentikan tanpa keterangan memadai,” katanya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi Sanny Iskandar menyatakan, untuk membangun sistem antisuap dan antikorupsi, diperlukan kehendak politik yang kuat dari kepala pemerintahan tertinggi beserta semua aparaturnya (Kompas, 18/11/2019).