Kemendagri Pastikan Pembentukan 56 Desa Konawe Cacat Hukum
Pemerintah memastikan penetapan 56 desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, cacat hukum. Telah dipastikan bahwa peraturan daerah kabupaten yang dijadikan dasar hukum penetapan wilayah sejumlah desa itu tidak sah.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri memastikan bahwa penetapan 56 desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, cacat hukum. Telah dipastikan bahwa peraturan daerah kabupaten yang dijadikan dasar hukum penetapan wilayah sejumlah desa itu tidak sah.
Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nata Irawan, Senin (18/11/2019), di Jakarta, mengatakan, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-desa dalam Wilayah Kabupaten Konawe tidak sah.
”Kami sepakat bahwa perda yang ditetapkan oleh bupati itu cacat hukum. Berdasarkan keterangan yang kami terima, (perda) itu memang tidak melalui mekanisme DPRD,” kata Nata di kompleks Kemendagri, Jakarta.
Nata mengatakan, sejak 2017 sampai dengan 2019, ke-56 desa tersebut telah menerima dana desa dari pemerintah pusat sekitar Rp 113,3 miliar.
Dari 56 desa tersebut, ditemukan 34 desa yang memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai desa; 18 desa dinilai masih perlu pembenahan dalam aspek administrasi, kelembagaan, dan ketersediaan sarana-prasarana desa, serta 4 sisanya akan didalami secara hukum lebih lanjut karena diduga fiktif.
Keempat desa tersebut adalah Arombu Utama, Kecamatan Latoma; Lerehoma, Kecamatan Anggaberi; Wiau, Kecamatan Routa; dan Napooha, Kecamatan Latoma. ”Empat desa tersebut terdapat inkonsistensi data jumlah penduduk dan luas wilayah desa,” ujar Nata.
Untuk itu, lanjut Nata, dengan ditemukannya desa-desa yang diduga bermasalah dan berpotensi menimbulkan kerugian negara, perangkat desa dari ke-56 desa tersebut akan didalami keterangannya lebih lanjut oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara.
Dengan ditemukannya desa-desa yang diduga bermasalah dan berpotensi menimbulkan kerugian negara, perangkat desa dari ke-56 desa tersebut akan didalami keterangannya lebih lanjut oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara.
Nata mengatakan, berdasarkan kerja sama dengan Polri, Kemendagri diberi kesempatan 60 hari untuk melakukan pemeriksaan dan pembinaan oleh aparat pengawas internal pemerintah (APIP). Apabila dalam 60 hari tidak dilakukan, permasalahan ini akan masuk wilayah penyelidikan polisi.
Direktur Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa Kemendagri Aferi Syamsidar Fudail mengatakan, Kemendagri hanya mendapat rekomendasi dari pemerintah provinsi sebelum mengeluarkan kode wilayah desa.
”Perda-perda itu semestinya diverifikasi oleh pemprov. Kemendagri tugasnya hanya mendaftarkan berdasarkan rekomendasi provinsi,” kata Aferi.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng berpendapat, pembentukan perda yang tidak melibatkan DPRD dan memungkinkan pengucuran dana desa ke desa-desa yang pembentukannya tidak sah adalah sebuah bentuk korupsi kebijakan yang sangat serius.
Artinya, seharusnya segala implikasi yang muncul akibat perda tersebut harusnya gugur, kata Robert, termasuk alokasi dana desa. ”Seharusnya dana desa itu dikembalikan,” lanjutnya.
Dengan temuan ini, Robert mengatakan, pemerintah pusat harus lebih kuat dalam hal supervisi perancangan perda dan verifikasi implementasi kebijakan, termasuk alokasi APBN untuk dana desa. ”Ini hanya puncak dari gunung esnya, saya kira. Bisa jadi daerah lain juga terjadi. Harus mulai disisir,” tuturnya.
Tidak mencabut
Meski demikian, Kemendagri juga tidak akan mencabut keberadaan 56 desa tersebut. Nata berpendapat, 56 desa itu secara sosiologis dan historis telah terbentuk sejak lama. Pasal 116 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pun menyatakan, desa yang sudah ada sebelum undang-undang itu berlaku akan tetap diakui sebagai desa.
”Maka, 56 desa tersebut secara historis dan sosiologis dinyatakan sah sebagai desa,” kata Nata.
Padahal, ke-56 desa tersebut baru menerima kode wilayah desa pada tahun 2017 melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan.
Aferi mengatakan, pengajuan desa tersebut merupakan sebuah upaya pendaftaran ulang desa yang sudah ada sebelumnya, bukan pembentukan desa baru.
Bahkan, ia menyebutkan, pada 74.954 desa yang terdaftar saat ini, tidak ada desa yang pembentukannya mengacu pada UU Desa. ”Artinya, semua desa yang ada saat ini, termasuk 56 desa itu, proses terbentuknya sudah lama dan pendaftarannya belum sesuai dengan mekanisme UU No 6/2014 tentang Desa,” kata Aferi.
Menyisir potensi keberadaan desa-desa fiktif di daerah lain, Kemendagri akan segera mempersiapkan surat edaran kepada setiap kabupaten untuk menginventarisasi ulang desa masing-masing serta penataan ulang desa.
Aferi berpendapat, upaya pemekaran ataupun penggabungan dapat dilakukan sebagai bentuk penataan desa tersebut, dengan melihat syarat kependudukan yang ditetapkan oleh UU Desa, contohnya jumlah penduduk.
”Misalnya, Desa Wiau di Konawe itu jumlah kepala keluarganya hanya tujuh. Ini, kan, sangat tidak efisien, ya, nanti kita minta gabung,” kata Aferi.