Memo kembali diandalkan untuk lolos ke Olimpiade Tokyo 2020. Pedayung beruuisa 24 tahun ini kembali ke pelatnas setelah absen satu tahun karena menjalani pendidikan militer.
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Setelah absen berlatih selama setahun karena menjalani pendidikan TNI Angkatan Laut, pedayung andalan Indonesia Memo, kembali untuk persiapan kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020. Dalam waktu kurang dari enam bulan, Memo harus membiasakan diri dengan kondisi perahu agar mampu mengayuh dayung sesuai kecepatan standar.
Pelatih kepala tim dayung Indonesia, Muhammad Hadris, mengatakan, absennya Memo dari pelatnas membuat kondisi fisiknya menurun drastis. ”Selama masa pendidikan, kecepatan mengayuh dayung Memo turun 30 detik. Namun, secara teknik, tidak ada yang berubah,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (17/11/2019).
Memo adalah pedayung asal Pulau Seram, Maluku. Setelah 12 tahun Indonesia absen, Memo dan pedayung putri Dewi Yuliawati tampil di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Terakhir kali Indonesia meloloskan pedayungnya ke Olimpiade adalah di Athena 2004, yakni pedayung putri Papua, Pere Karoba
Bergabungnya Memo ke pelatnas dayung turut menggairahkan dayung di Indonesia, antara lain dengan menjadi juara umum SEA Games 2013 dan 2015 dan merebut emas perdana di Asian Games 2018.
Setelah tampil di Asian Games, Memo absen dari pelatnas untuk pendidikan militer. Jenis latihan fisik di pangkalan militer yang berbeda dengan kebutuhan dayung, membuat penampilan Memo turun drastis.
”Selama pendidikan militer, Memo berlatih lari, push up, atau halang rintang. Jenis latihan itu berbeda dengan kebutuhan atlet dayung yang perlu keseimbangan, daya tahan, dan kecepatan kaki dan tangan. Berat badan Memo juga turun dan ia kurang istirahat sehingga memengaruhi kemampuan fisiknya,” kata Hadris.
Sebelum bergabung dengan TNI AL, catatan waktu Memo pada nomor single sculls putra (MIX) adalah 6 menit 09 detik untuk jarak 2.000 meter. Namun, setelah absen berlatih selama setahun lebih, kecepatannya merosot 30 detik, yaitu menjadi 6 menit 38 detik.
Hadris menuturkan, Memo masih menjadi harapan untuk menembus Olimpiade Tokyo 2020 karena hingga kini belum ada pedayung nasional yang bisa mendekati kecepatannya. Dalam waktu kurang dari enam bulan hingga kualifikasi Olimpiade di Chungju, Korsel, pada April 2019, kekuatan, kecepatan, dan daya tahan tubuh Memo harus terbentuk.
Melepuh
Saat menjalani latihan pertama, 9 November, telapak tangan Memo melepuh karena belum terbiasa. Setiap hari, ia melahap latihan dayung sejauh 40-44 kilometer di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Memo juga berlatih kecepatan dan daya tahan dengan menggunakan ergometer.
Untuk keseimbangan dan kekuatan, ia berlatih kebugaran setiap hari. Latihan dijalani bersama tim dayung Indonesia yang sedang mempersiapkan diri tampil di SEA Games Manila 2019. Di ajang ini, Memo absen karena nomor andalannya tidak dimainkan.
Memo mengaku sangat senang kembali ke pelatnas dayung. ”Saya senang karena bisa kumpul dengan teman-teman lagi. Seharusnya saya berlatih sejak bulan lalu, tetapi baru mendapat izin dari pimpinan,” kata atlet yang bercita-cita ingin mengulang penampilannya di Olimpiade pada 2020.
Pedayung berusia 24 tahun itu bergabung dengan militer atas saran mantan ketua Satlak Prima dan PB PODSI Achmad Sutjipto. Memo menjalani test dan mengikuti pendidikan selama setahun di Surabaya, Jawa Timur.
Menurut Memo, banyak hal berbeda antara situasi di pelatnas dengan di pangkalan militer. Saat menjalani pendidikan militer, Memo harus bangun pukul 03.00 WIB. Setelah itu, ia menjalani pendidikan sesuai program militer. Saat berada di pelatnas, Memo baru bangun pukul 06.00 karena latihan dayung dimulai satu jam kemudian.
Selain itu, sebagai anggota militer, Memo menerima uang saku yang lebih sedikit dari atlet. Selama pendidikan militer, Memo mengantongi uang satu Rp 3,8 juta per bulan, sedangkan sebagai atlet ia menerima honor Rp 10 juta per bulan.
Meski uang saku per bulan lebih sedikit, Memo memilih jalan hidup sebagai anggota militer dan atlet sekaligus. “Kalau jadi atlet tidak selamanya punya pendapatan. Saya memilih jadi anggota militer demi kehidupan jangka panjang,” katanya.