Komposisi Kabinet Indonesia Maju yang memasukkan dua petinggi Partai Gerindra memicu riak politik partai koalisi pendukung pemerintah.
Oleh
SULTANI/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
Komposisi Kabinet Indonesia Maju yang memasukkan dua petinggi Partai Gerindra memicu riak politik partai koalisi pendukung pemerintah. Elite parpol dinilai mengambil langkah pragmatis ketimbang ideologis. Bagaimana pandangan publik terhadap peta koalisi dan oposisi mendatang?
Kehadiran oposisi dalam sistem politik demokrasi merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka menjaga prinsip checks and balances. Oposisi menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Di titik ini, oposisi harus kuat dan konsisten dengan posisi politiknya ini. Partai oposisi harus konsisten dan tidak tergoda untuk menerima tawaran kekuasaan atau jabatan apa pun dari pemerintah.
Fenomena inilah yang diingatkan oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh ketika mengetahui Gerindra menerima tawaran posisi dalam kabinet pemerintahan. Sebagai loyalis Joko Widodo, Nasdem menghendaki presiden lebih mengutamakan partai-partai yang berjuang ”mati-matian” untuk memenangkan Jokowi. Partai yang jadi lawan Jokowi biarlah berada di luar kabinet dan konsisten menjadi oposisi.
Namun, Presiden Jokowi tampaknya lebih mementingkan prinsip politik gotong royong yang merangkul lawan politiknya di pemilu, Prabowo Subianto. Kondisi keterbelahan pandangan dalam masyarakat akibat pemilu presiden perlu kembali dicairkan untuk menyusun agenda pembangunan pemerintahan yang semakin menantang.
Pertemuan antara Surya Paloh dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman di DPP PKS, 30 Oktober 2019, mencuatkan intrik politik baru yang belum pernah terjadi. Partai Nasdem dianggap ”bermain mata” dengan PKS karena dalam pertemuan itu Paloh sekaligus melancarkan berbagai kritik terhadap posisi politik Jokowi dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Tak ayal, muncul kesan di masyarakat terjadi konflik elite politik yang berhulu dan bermuara pada soal pembagian kursi kekuasaan di kabinet. Saling sindir antarelite partai di sekitar Jokowi pun terjadi.
Untunglah, dalam penutupan Kongres II Partai Nasdem, Senin (11/11/2019), Presiden Jokowi dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri hadir dan merajut kembali benang politik yang nyaris terkoyak akibat langkah politik akomodasi Presiden Jokowi. Dalam acara itu, Presiden Jokowi berpelukan erat dengan Paloh sebagai simbol kehangatan hubungan sesama partai koalisi pemerintahan.
Di mata publik jajak pendapat, berbagai manuver elite politik itu tak sekadar menggambarkan upaya memperjuangkan kepentingan publik. Lebih dari itu, para elite politik saat ini dinilai terjebak dalam posisi politik mereka masing-masing sehingga ekspresi politiknya pun hanya terpaku pada kepentingan mereka.
Dua pertiga bagian responden (63,6 persen) menganggap komunikasi para elite politik saat ini terkotak-kotak berdasarkan kepentingan politik partainya, baik sebagai koalisi maupun oposisi. Kepentingan itu bisa berupa kepentingan dalam pemerintahan saat ini ataupun kepentingan politik pada Pemilu 2024.
Kekuatan oposisi
Setiap parpol akan memilih caranya sendiri bermanuver untuk memperjuangkan kepentingan politik. Menghadapi Pilpres 2024, semua parpol baik koalisi maupun oposisi menyiapkan strategi untuk bermanuver agar sukses dalam kontestasi. Oleh karena itu, publik bisa menduga selama lima tahun ke depan loyalitas parpol koalisi kepada Jokowi akan pudar perlahan-lahan.
Sebanyak 67,2 persen responden masih memandang bahwa parpol saat ini cenderung berpikir pendek sebatas kemenangan dalam mendapatkan jabatan publik. Dalam hal loyalitas, pragmatisme parpol sangat kuat terasa.
Dalam koalisi pemerintahan sekalipun, 64,7 persen responden menganggap loyalitas parpol hanya sebatas keuntungan politik yang didapat. Loyalitas semu ini didorong oleh kuatnya keberpihakan parpol pada kepentingan politik ketimbang ideologi.
Buntut dari semua pragmatisme tersebut adalah sikap egoisme partai yang kian kentara. Sebanyak 65,3 persen responden setuju bahwa parpol saat ini lebih mementingkan diri sendiri daripada konstituen atau pemilih.
Pertemuan Paloh dan Sohibul Iman, misalnya, dipandang memiliki dimensi politik yang kuat ketimbang sekadar dialog kebangsaan. Bagian terbesar responden (49,5 persen) menilai pertemuan tersebut merupakan manuver politik dan hanya 26,2 persen yang mengatakan itu dialog kebangsaan.
Perubahan sikap politik Paloh terhadap pemerintahan Jokowi menguatkan prediksi selama ini, Nasdem merupakan partai yang paling sensitif dengan posisinya di kabinet. Banyak kalangan menilai, pertemuan pimpinan tertinggi Nasdem dengan PKS merupakan cara Paloh mengirim sinyal perlawanan kepada Presiden Jokowi dan koalisi pendukungnya.
Pasalnya, pertemuan mendadak tersebut dilakukan setelah Paloh menyadari keinginannya menahan Gerindra masuk kabinet ternyata gagal. Selain itu, peringatan Paloh agar Jokowi tak mencopot Muhammad Prasetyo dari pos Jaksa Agung ternyata juga diabaikan Jokowi.
Meskipun demikian, publik menyangsikan Nasdem akan benar-benar menjadi oposisi Jokowi. Hal ini karena secara hitungan politik, sekalipun Nasdem hendak menjadi oposisi menggantikan posisi Gerindra, kekuatan partai ini tak mampu menambah kekuatan oposisi. Menurut responden, jika Nasdem bergabung dengan PKS, PAN (dan Demokrat) sekalipun, kekuatan oposisi masih sama.
Di sisi lain, lebih dari separuh bagian (56,1 persen) responden menyatakan belum tentu oposisi melemah meskipun Gerindra sekarang menjadi pendukung pemerintah. Pendapat publik tersebut mengindikasikan oposisi bisa tetap eksis meskipun jumlah dan kekuatan mereka sekarang berkurang tanpa Gerindra. Di parlemen, kekuatan oposisi terwakilkan melalui PKS, PAN, dan Partai Demokrat.
Loyalitas
Manuver politik yang dimainkan para elite tak pernah lepas dari kepentingan sebagai individu ataupun pemimpin parpol. Manuver sebagai taktik politik menjadi media untuk menyampaikan pesan kepada pihak yang menjadi target politik.
Manuver bukanlah permainan yang tabu dalam politik. Sayangnya, manuver politik yang muncul pada akhir-akhir ini sarat dengan muatan kepentingan partai. Ketika kepentingan partai mendominasi motif sebuah manuver politik, sinisme publik langsung mencuat. Pencitraan yang negatif terhadap parpol belum bergeser dari benak publik. Jajak pendapat terakhir ini mengungkapkan karakter parpol yang dianggap semakin pragmatis dan oportunis terhadap kekuasaan.
Dari jajak pendapat ini, publik mulai menduga partai-partai yang berpotensi setia kepada pemerintah hingga 2024 dan parpol yang akan lompat pagar sebelum 2024. Setahun lagi, di saat partai-partai pendukung pemerintah selesai masa bulan madu dari pesta kemenangan, manuver-manuver politik bakal lebih hangat di tengah persiapan menjelang Pemilu 2024.