Tim panahan Indonesia bertekad menjaga tradisi sebagai lumbung emas di SEA Games meskipun tengah dilanda keprihatinan. Situasi sulit itu memaksa mereka kreatif dalam mengejar prestasi di Filipina.
Oleh
Yulvianus Harjono
·6 menit baca
Panahan menjadi penyumbang kedua terbanyak medali emas Indonesia pada SEA Games 2017 di Malaysia. Perolehan emas tim panahan Indonesia, yaitu empat keping, hanya kalah dari atletik yang mengumpulkan lima emas. Indonesia bahkan mampu bersaing sengit dengan Malaysia, tuan rumah sekaligus kekuatan dominan panahan di Asia Tenggara dewasa ini.
Sebagai cabang unggulan, populer, dan rutin tampil di Olimpiade, tim panahan pun patut dikelompokkan dalam daftar prioritas di SEA Games Filipina 2019 yang akan dimulai akhir 30 November ini. Namun, realitas berkata lain. Bersama atletik, panahan digolongkan ke dalam cabang ”kasta” ketiga dari total empat kluster yang ditetapkan Kementerian Pemuda dan Olahraga RI.
Situasi kurang ideal yang dihadapi tim nasonal panahan Indonesia itu tidaklah terlepas dari luputnya target emas di Asian Games Indonesia, 2018 lalu. Ketika cabang lainnya, seperti tenis, balap sepeda, dan wushu, berpesta emas, tim panahan Indonesia maksimal menyumbang perak, yaitu melalui Diananda Choirunisa. Cabang-cabang peraih emas Asian Games saat itu lantas dikelompokkan ke kluster kedua.
Adapun kluster pertama ditempati cabang peraih medali di Olimpiade Brasil 2016, yaitu bulu tangkis dan angkat besi. Cabang-cabang yang kurang berprestasi di kedua ajang itu harus rela ditempatkan di kuster kedua dan ketiga. Pengelompokan itu berdampak langsung ke cabang-cabang terkait, yaitu besaran bantuan dana Kemenpora dalam mempersiapkan atlet ke SEA Games 2019.
Dari total anggaran Rp28,6 miliar yang diajukan Pengurus Pusat Persatuan Panahan Indonesia (Perpani), hanya seperempat atau Rp 7,8 miliar yang dikabulkan Kemenpora. Hal itu berimbas pada terpangkasnya durasi pemusatan latihan, gaji pelatih dan atlet, pengadaan peralatan tanding, hingga try out atau uji coba. Pemusatan latihan tim panahan yang idealnya berjalan sejak Januari lalu misalnya, baru dimulai empat bulan kemudian.
Salah satu atlet, yaitu Asiefa Nurhaenza, bahkan sampai meminjam busur—peralatan dasar di cabang panahan—ke rekan setimnya. Busur pribadi miliknya patah ketika mengikuti kemp pelatihan di Korea Selatan, September lalu. Celakanya, dana dari Kemenpora tidaklah cukup untuk pengadaan busur baru bagi 16 atlet panahan yang akan tampil di Filipina, 5-9 Desember mendatang. Satu busur jenis recurve ataupun compound bisa mencapai Rp 45 juta.
”Dari rencana anggaran Rp 1,6 miliar untuk pengadaan peralatan, hanya turun Rp 600 juta (dari Kemenpora). Jumlah ini sangat minim. Tidak cukup untuk membeli busur,” ungkap Manajer Tim Panahan Indonesia Taufan Tri Anggoro, Jumat (15/11/2019).
Pangkas uji coba
Akibat lainnya dari minimnya dana bantuan pemerintah, Perpani juga memangkas try out para atlet menjelang SEA Games di Filipina. Dari tiga uji coba yang direncanakan, yaitu di Bangkok, China, dan Belanda, hanya satu yang terealisasi. Kejuaraan Dunia Panahan 2019 di S-Hertogenbosch, Belanda, 10-16 Juni lalu, menjadi satu-satunya uji coba atau pemanasan yang mereka ikuti sebagai tim.
Diakui sejumlah atlet panahan, uang saku mereka pun tersendat dua bulan terakhir ini. Padahal, uang saku mereka saat ini lebih kecil dari pelatnas di periode-periode sebelumnya. Untuk atlet senior, misalnya, uang saku mereka saat ini hanya Rp 7,2 juta. Padahal, saat SEA Games 2017 dan Asian Games 2018, uang saku bulanan itu mencapai Rp 12 juta.
Begitu pula dengan pelatih di tim panahan. Gaji mereka turun, yaitu dari sebelumnya Rp 12 juta kini menjadi 7,2 juta. ”Sekarang ini, ya, bisa dikatakan kondisi prihatin,” ucap Budi Widayanto, pelatih tim recurve putra panahan Indonesia.
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto menjelaskan, munculnya kebijakan sistem kluster yang baru diterapkan tahun ini tidak terlepas dari terbatasnya anggaran. Dibandingkan pada 2018, misalnya, anggaran untuk seluruh cabang di 2019 ini turun Rp 200 miliar. Untuk itu, pemerintah memandang perlu adanya pengelompokan bantuan dana berdasarkan kinerja atau prestasi cabang terkait selama ini.
”Kami bisa memahami sepenuhnya kekecewaan sebagian besar pengurus cabang. Namun, tiada pilihan lain karena anggaran sangat terbatas. Kami berharap mereka mencari (dana) dari sumber-sumber lainnya. Yang pasti, Kemenpora berusaha obyektif (di dalam menentukan bantuan dana) dan tidak ada pungutan atau potongan biaya apa pun,” tuturnya melalui keterangan persnya, kemarin.
Sponsor
Memahami situasi sulit itu, baik Perpani maupun para atlet panahan tahun ini mulai melakukan hal di luar kebiasaan, yaitu kreatif dan mandiri dalam memenuhi kebutuhannya. Sri Ranti dan Prima Wisnu Wardhana, dua atlet peraih emas di nomor compound perorangan SEA Games 2017, misalnya, tidak lagi sekadar mengandalkan bantuan pemerintah ataupun Perpani dalam mengasah dirinya di ajang internasional.
Maret lalu, keduanya mengikuti try out, yaitu putaran pertama Piala Asia 2019 di Bangkok, dengan dana mandiri. ”Saya tetap berangkat ke Bangkok karena ingin mengejar peringkat (World Archery). Tiket pesawat pulang-pergi Rp 3,5 juta dari uang sendiri, adapun (biaya) hotel dan makan dari sponsor pribadi. Suasananya saat ini memang prihatin. Namun, kami tidak bisa berpangku diri,” tutur Prima.
Perpani, di kepengurusan baru saat ini, juga aktif mencari dana dari pihak-pihak ketiga. Sejumlah perusahaan nasional mereka gaet sebagai sponsor melalui program Bapak Asuh yang diinisiasi mantan Menpora Imam Nahrawi. Lewat program itu, Perpani, misalnya, akan mendapatkan bantuan pengadaan busur untuk atlet dari bank BNI 46. Tahun ini, Perpani juga telah mengikat diri dengan sponsor lainnya, yakni Indika Energy.
Di sisi lain, gairah dan tekad para atlet untuk mengejar medali di Filipina juga tidak berkurang. Sebelumnya, Perpani menargetkan tiga emas di SEA Games itu, yaitu masing-masing di nomor campuran recurve dan compound perorangan putra maupun putri. Riau Ega Agatha, andalan di recurve putra misalnya, bertekad meraih emas SEA Games pertamanya di nomor perorangan.
Meskipun telah empat kali terjun di SEA Games, yaitu mulai 2011 silam, tidak sekali pun ia meraih emas di kategori individu. Kelahiran putra pertamanya pada tahun ini menjadi motivasi ekstra baginya untuk mengakhiri penantian lamanya itu. ”Rasa penasaran jelas ada,” ujar pengoleksi tiga emas SEA Games di nomor recurve campuran dan beregu itu.
Semangat besar juga muncul dari muka-muka baru alias atlet yunior, seperti Ryan Rafi Adiputro dan Arif Dwi Pangestu. Kedua pemanah recurve yang masih duduk di bangku SMA itu mengaku bangga dan sangat antusias bisa mengenakan seragam Merah Putih untuk kali pertama di SEA Games. Menurut Budi, pelatih keduanya, skor menembak mereka terkadang melewati para seniornya macam Ega.
”Semangat mereka membara. Namun, seperti anak muda pada umumnya, (performa) mereka masih naik turun dan kadang lambat menerapkan teknik serta antisipasi perubahan mendadak, misalnya arah angin. Namun, seiring perjalanan waktu dan pengalaman, mereka bakal kian matang. Secara umum, performa mereka cukup menjanjikan,” tutur Budi mengenai kedua atlet muda itu.
Meskipun tidak mudah mengingat besarnya ancaman Malaysia ataupun tuan rumah Filipina, kombinasi atlet senior dan yunior itu diharapkan bisa berbuah tiga emas di Filipina. Secara jangka panjang, itu juga bisa menjadi modal menatap Olimpiade Jepang 2020 serta Asian Games China 2022. ”Jika hasilnya bagus di SEA Games nantinya, mudah-mudahan (posisi) kami di kluster bisa naik sehingga (dukungan dana) untuk program Olimpiade pada tahun depan bisa lebih lancar,” kata Taufan kemudian.