Pelatihan Kesiapsiagaan Bencana Akan Menyasar Keluarga
Kesiapsiagaan masyarakat untuk menghadapi bencana alam, khususnya gempa dan tsunami, menjadi sebuah keniscayaan. Kini, kesiapsiagaan bencana tengah disiapkan untuk menyasar kelompok masyarakat terkecil, yakni keluarga.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bencana alam, khususnya gempa bumi dan tsunami, merupakan kejadian yang selalu berulang. Kesiapsiagaan masyarakat untuk menghadapinya menjadi sebuah keniscayaan. Kini, kesiapsiagaan bencana tengah disiapkan untuk menyasar kelompok masyarakat terkecil, yakni keluarga.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menyampaikan hal itu saat berkunjung ke Kantor Harian Kompas, Jakarta, Senin (18/11/2019). Dia diterima Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Pemimpin Redaksi Ninuk Mardiana Pambudy, dan Wakil Pemimpin Redaksi P Tri Agung Kristanto.
Doni menyampaikan pentingnya kesiapsiagaan bencana di Tanah Air. Menurut dia, bencana alam merupakan peristiwa yang selalu berulang sehingga kesiapsiagaan masyarakat perlu ditingkatkan. Untuk itu, BNPB akan meluncurkan Program Keluarga Tangguh Bencana (Katana), awal bulan depan.
”Program Katana disokong langsung oleh Kementerian Keuangan untuk menguatkan kapasitas warga dalam mengikuti pelatihan kebencanaan,” katanya.
Program Katana merupakan program turunan dari Desa Tangguh Bencana (Destana) yang telah menyasar ratusan desa di pesisir selatan Jawa pada Juli-Agustus 2019. Menurut Doni, melatih kesiapsiagaan bencana tidak bisa hanya mengandalkan teori semata. Perlu pelatihan atau simulasi secara langsung.
Terlebih, banyak fakta lapangan yang kondisinya berbeda dengan teori mitigasi bencana. Masyarakat juga dituntut untuk mengenali struktur bangunan tempat tinggalnya. Pemerintah daerah juga diharapkan tidak mudah mengeluarkan izin mendirikan bangunan (IMB) jika struktur tahan gempa tidak terpenuhi.
Tsunami masih menjadi pembunuh nomor satu di dunia.
”Perlu beri pengetahuan yang lebih luas kepada masyarakat agar jumlah korban bencana alam bisa ditekan,” ujarnya.
BNPB menyebutkan, tahun lalu Indonesia menjadi negara dengan jumlah korban bencana alam terbanyak di dunia, yakni 4.814 jiwa. Selama 20 tahun terakhir, Indonesia menempati urutan kedua terbanyak setelah Haiti. Tahun ini, setidaknya 556 orang meninggal.
”Tsunami masih menjadi pembunuh nomor satu di dunia,” kata Doni.
Menurut Doni, bencana alam harus dicegah dengan bantuan alam. Sehebat apa pun benteng buatan manusia, misalnya, tidak akan mampu melawan kekuatan tsunami. Hal itu terbukti tatkala Jepang membangun Sea Walls di Sendai pada 2009.
”Dua tahun setelahnya, tsunami yang menerjang kawasan tersebut justru menimbulkan korban lebih banyak dari yang diprediksi,” ujarnya.
Vegetasi alami
Menurut Doni, vegetasi alami terbukti lebih ampuh menahan terjangan tsunami. Di beberapa kawasan pesisir selatan Jawa, misalnya, masyarakat mulai menanam pohon bakau dan cemara udang.
Tidak hanya mencegah abrasi, kedua tanaman ini juga dipercaya mampu mengurai tsunami yang kecepatannya bisa mencapai 700 kilometer per jam.
Pohon cemara udang di kawasan pesisir tidak sekadar mampu menjadi pengurai tsunami, tetapi juga sebagai shelter sementara. Pohon yang bisa mencapai ketinggian 25 meter tersebut dapat dipasangi jaring sehingga bisa dipanjat oleh masyarakat untuk berlindung.
”Tidak semua kawasan pesisir memiliki dataran tinggi. Ada daerah-daerah yang datar sepanjang 3 kilometer. Pohon ini bisa menjadi alternatif,” kata Doni.
Vegetasi alam lainnya yang bisa dijadikan sebagai penahan tsunami adalah pohon pule. Panjang akar pohon ini bisa mencapai ratusan meter sehingga sangat kokoh. Selain itu, ada juga pohon sukun yang usianya bisa mencapai ratusan tahun.
”Satu batang pohon sukun bisa menghasilkan tunas dan bisa beranak pinak. Tingginya bisa mencapai 30 meter,” ucap Doni.
Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB Bernadus Wisnu Widjaja mengatakan, tahun ini BNPB juga telah membuat penilaian mandiri untuk menentukan sebuah rumah tahan gempa atau tidak.