Rabuk itu Bernama Djaduk
Festival musik tahunan perdesaan bernama Ngayogjazz tak kehilangan tajinya meski ditinggal mangkat pencetusnya, Djaduk Ferianto, Rabu pekan lalu. Jazz tetap bisa dinikmati sambil makan pecel di pinggir sawah. Jazz tetap jadi lucu dan hangat. Inilah salah satu warisan penting Djaduk.
“Ini tadi dengarkan kegembiraan di panggung Didi Kempot. Djaduk pasti senang banget. Kita mengantar Djaduk ke surga dengan kegembiraan. Terima kasih kegembiraannya, Didi dan Soimah. Keluarga kami telah merelakan kepergian Djaduk. Ngayogjazz sudah diberi rabuk yang luar biasa. Nyawa Djaduk jadi rabuk bagi Ngayogjazz,” kata Butet Kertaradjasa, yang tiba-tiba mendapat mikrofon di sela-sela penampilan Kua Etnika yang menampilkan penyanyi Soimah, Silir Pujiwati, dan Didi Kempot.
Sejatinya, Djaduk tampil bersama mereka di panggung utama bernama Panggung Gendheng pada perhelatan Ngayogjazz ke-13, Sabtu (16/11/2019) di Padukuhan Kwagon, Desa Sidorejo, Godean, Sleman, Yogyakarta. Kua Etnika adalah kelompok musik yang didirikan Djaduk, Butet, dan Purwanto pada 1995. Sedangkan Didi Kempot adalah bintang tamu kelompok itu.
Butet, sang kakak, belum selesai. Dia masih melanjutkan ucapannya dengan bersemangat. “Tak ada alasan Ngayogjazz berhenti,” lanjutnya yang disambut teriakan dan keplok penonton yang jumlahnya banyak banget itu. Bisa jadi, itu adalah kalimat terpanjang Butet di depan publik sepanjang hari itu mengenai kepergian Djaduk.
Selepas ucapan Butet itu, musik kembali bergema. Kua Etnika mengiringi Didi Kempot membawakan tembang terkenalnya, “Stasiun Balapan”. Lirik yang sudah dihayati betul oleh penggemar Didi itu dilatari musik yang berirama swing. Aransemen seperti itu adalah garapan Djaduk bersama kelompok Ring of Fire Project, dan sebelumnya pernah diusung di acara Jazz Gunung Bromo pada Juli lalu.
Warna campursari Didi Kempot makin beragam dengan bumbu-bumbu jazz. Intro lagu “Banyu Langit”, misalnya, amat ramai dengan tetabuhan kendang, khas Kua Etnika. Bunyi piano dan gitar mengiringi lirih. Didi kagum dengan aransemen itu. “Ini banyu langite Mas Djaduk,” kata Didi.
Didi juga menyatakan belasungkawanya. “Almarhum Mas Djaduk adalah seniman luar biasa. Jogja benar-benar kehilangan. (Bahkan) bukan hanya Yogya yang kehilangan. Musisi dunia pun kehilangan beliau,” ucap Didi.
Penonton, yang memenuhi sawah kering di hadapan panggung, jalan-jalan desa, pelataran rumah warga, hingga berdiri di pagar-pagar tembok, larut dalam campur sari gaya baru itu. Suasana Padukuhan Kwagon masih ramai hingga lagu terakhir “Sewu Kuto” menjelang pukul 1.00 Minggu dini hari.
Genre musik yang ada di festival itu tak melulu jazz, meski mengemban istilah jazz pada namanya. Campur sari adalah satu di antaranya. Selain itu masih ada musik pop, rock, gambang kromong, karawitan, hingga elektronika.
Enggak boleh sedih
FSTVLST (dibaca Festivalist) adalah salah satu pewakilan dari kubu rock, walau nggak ngerock-ngerock amat. Band ini sedang digandrungi kawula muda, dan baru meluncurkan album kedua. Biasanya, penonton amat menggila—sampai meluncurkan tubuh di atas kepala penonton lain—di setiap pentas band ini. Namun, karena ruang yang terbatas juga tak rata, vokalis Farid Stevy mengimbau kaumnya untuk lebih anteng. Penonton FSTVLST memang banyak sekali.
Farid mendedikasikan salah satu lagunya untuk Djaduk, yaitu “Menantang Rasi Bintang” yang punya lirik begini, “Hidup itu sekali, mati itu pasti. Maka sudahilah sedihmu yang belum sudah…Berbahagialah.”
“Kita mengingat figur penting yang mendahului kita beberapa hari lalu. Tapi nggak boleh sedih. Yang harus diingat adalah spiritnya beliau. Aku yakin dia akan senang kalau kita tepuk tangan meriah,” ujar Farid. Di antara tepuk tangan yang sontak membahana, Farid sempat bergumam, “Isih (masih) sedih je, padahal di-briefing jangan sedih. Tapi bagaimana, ya....” Pertunjukan kuartet itu tetap riuh sampai akhir.
Farid tak sendiri, banyak yang merasa haru. Idang Rasjidi salah satunya. Dia tampil sebelum petang. Semestinya, Idang tak hanya main bareng gitaris kawakan Oele Pattiselano, Paulus Neo, Josafat, dan Samuel Song. Djaduk dijadwalkan ikutan juga. Namun, Djaduk “tetap” di panggung dalam wujud lukisan. Idang mengundang istri Djaduk, Bernadette Ika Sari atau Petra, menanyikan lagu “Mau Dibawa Ke Mana” milik grup Armada.
Lagu yang dianggap “menye-menye” itu, kata Idang, adalah pilihan Djaduk. Idang yang semula tak terlalu kerap mendengarnya, jadi latihan demi memenuhi permintaan sahabatnya itu. “Djaduk bilang, kalau lagu itu disentuh Kang Idang jadi luar biasa. Dia punya sense bagus terhadap suatu lagu. Menurut dia, jiwa lagu itu luar biasa,” kata Idang yang tampil di Panggung Umpak, satu dari tujuh panggung.
Awas terpeleset
Sedangkan FSTVLST tampil di Panggung Usuk yang bertempat di samping tobong (tempat pembakaran genteng) milik warga bernama Ata. Sang empunya usaha genteng itu tak menonton aksi ugal-ugalan penonton FSTVLST. Dia malah sibuk menerangi jalan setapak yang menurun curam dan gelap bagi lalu-lalang penonton.
“Lewat sini saja, mas, mbak, biar nggak kepeleset,” kata Ata menunjuk gudang penyimpanan gentengnya. Dia mengaku senang dengan perhelatan Ngayogjazz karena banyak bertemu dengan orang-orang baru, meski harus meliburkan usahanya seminggu. Keluarga dan karyawannya menggelar dagangan mi rebus, gorengan, dan minuman di dekat tobongnya.
Pengalaman Pak Ata yang ceking itu seolah membenarkan sambutan Mahfud MD dalam pembukaan festival pada sore harinya. Mahfud mengatakan, festival Ngayogjazz adalah pengabdian Djaduk terhadap masyarakat melalui kesenian.
“Djaduk berhasil membawa musik jazz yang pada umumnya dikenal untuk kelompok elit, kelas atas, ke desa-desa. Sehingga, seni yang netral bisa membuat merenung tentang kebaikan,” ujar Mahfud. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu hadir bersama Wakil Gubernur DIY Sri Paku Alam X, dan Bupati Sleman Sri Purnomo.
Para penggede itu berbaur dengan warga Kwagon, dan penonton dari banyak daerah di luar Yogyakarta, seperti Cirebon, Jakarta, dan Surabaya. Alas kaki yang mereka kenakan sama-sama berselimut debu tanah liat. Tangan mereka mengibas laron yang sepertinya senang karena banyak lampu malam itu.
Sunggingan senyum, atau bahkan tawa sama-sama terurai demi melihat papan-papan layaknya usaha jasa jalanan, seperti “jasa nggugah polisi tidur”, “tukar tambah mertua”, dan “jasa buat skripsi kumlod”.
Tulisan-tulisan itu terpasang di arena Panggung Empyak, tempat Frau tampil selepas maghrib. Leilani Hermiasih, sosok di balik nama Frau, mendedikasikan penampilannya untuk Djaduk. Secara khusus, dia membawakan lagu “Ndherek Dewi Maria” yang pernah digubah Djaduk dalam Album Rohani Kua Etnika.
“Saya yakin, dia ada di sini, dalam setiap kerja kita, dalam setiap senyum kita,” kata Lani, yang merekam album keduanya, Happy Coda (2013) di Studio Kua Etnika, Bantul, Yogyakarta.
Di Ngayogjazz, keharuan itu berkelindan hangat dengan komedi. Guyonan hadir di sana-sini. Humor itu bahkan diwujudkan dalam bentuk “museum”, yang diberi nama Messiom Ngayogjazz 2019. Wahana yang mendaku memaparkan tapak sejarah jazz di Nusantara ini mengusung slogan #tidakpercayatidakdilarang.
Di dalam wahana itu, ada sejumlah artefak yang seolah-olah menjadi penanda perkembangan jazz di Indonesia. Ada kompor minyak tanah berlumur jelaga dengan keterangan “inspirasi lagu ‘Kompor Meleduk’ ciptaan Benyamin Sueb. Ada juga koleksi sandal jepit milik Djaduk yang “dibeli bukan lantaran enak digunakan, tapi karena sedang diskon”. Ada juga komik dinding yang berusaha meyakinkan bahwa jazz lahir di Tanah Jawa. Awas terpeleset.
Ngayogjazz dengan nilai kerakyatan, gotong-royong, juga guyonan telah bertumbuh. Menurut Aji Wartono, salah satu dewan kreatif Ngayogjazz, nilai itu telah disemai sejak 2007. Mengulang ucapan Butet, Ngayogjazz akan makin kokoh dengan imbuhan pupuk bernama Djaduk.