Salah Kaprah Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah dinilai belum tepat sasaran. Sejauh ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah lebih banyak digunakan untuk keperluan internal daerah, bukan pada belanja yang terkait langsung dengan rakyat.
Banyak daerah salah kaprah dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebagian besar anggaran digunakan untuk keperluan internal daerah, seperti gaji pegawai, serta belanja barang dan jasa. Sementara belanja-belanja yang terkait langsung dengan rakyat acap kali dikesampingkan.
Perbaikan kualitas belanja daerah menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, rata-rata alokasi belanja pegawai dalam APBD mencapai 36 persen, belanja perjalanan dinas 13,4 persen, dan belanja jasa kantor 17,5 persen.
Beberapa pemerintah daerah bahkan menetapkan standar biaya tinggi. Misalnya, uang harian perjalanan dinas yang lebih tinggi hampir 50 persen dari pemerintah pusat. Belanja rapat dan konseling serta tim dan honorarium juga meningkat setiap tahun.
Data-data itu menyiratkan bahwa sebagian besar belanja APBD habis untuk urusan internal perangkat daerah. Padahal, jenis belanja pegawai serta belanja barang dan jasa tidak mampu memutar roda perekonomian daerah lebih kencang.
Baca juga: Melalui Pencegahan, KPK Selamatkan Rp 28,7 Triliun Keuangan Daerah
Motor penggerak pertumbuhan ekonomi justru belanja yang mampu menciptakan efek berganda. Ironisnya, belanja modal cenderung turun dan relatif kecil. Rata-rata alokasi belanja modal hanya sekitar 19 persen. Itu pun sebagian digunakan untuk pembangunan gedung dan kendaraan dinas.
”Sekitar 70 persen APBD digunakan untuk urusan orang-orang pemerintah daerah, sisanya baru untuk rakyat. Itu, kan, salah,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di hadapan ratusan kepala daerah dalam acara sosialisasi transfer ke daerah dan dana desa, beberapa waktu lalu.
Sri Mulyani memang kerap menyindir pengelolaan APBD dalam acara-acara bersama pemerintah daerah. Belanja daerah dinilai kurang fokus karena terlalu banyak program prioritas yang diusung. Setiap daerah rata-rata memiliki 150-600 program prioritas dan turunannya.
Banyaknya program menyebabkan belanja-belanja mandatori dikesampingkan. Dari 34 provinsi, baru 32 provinsi memenuhi belanja wajib untuk pendidikan sebesar 20 persen dari APBD, 27 provinsi memenuhi belanja kesehatan (10 persen), dan 29 provinsi memenuhi belanja infrastruktur (25 persen).
Baca juga: Daftar Kejanggalan Rancangan APBD DKI Jakarta
Jumlah pemerintah kota dan kabupaten yang belum memenuhi belanja mandatori lebih banyak. Misinterpretasi regulasi dinilai sebagai salah satu penyebab belanja tidak tepat sasaran. Misalnya, belanja modal diartikan sebagai pengelolaan aset sehingga dapat digunakan untuk membeli perangkat komputer, pembangunan gedung, atau penyewaan mobil pejabat, hal yang tidak memberikan dampak berganda bagi perekonomian.
Perbaikan tata kelola APBD dan kualitas belanja daerah menjadi keniscayaan. Selama ini, disadari atau tidak, anggaran yang mengalir ke daerah sangat besar. Selain dari penerimaan pajak, pemerintah daerah memperoleh transfer dana dari pemerintah pusat setiap tahun. Alokasi transfer ke daerah mencapai sepertiga dari total belanja pemerintah pusat.
Mengutip data Kementerian Keuangan, alokasi dana transfer ke daerah sebesar Rp 826,77 triliun atau 33,59 persen dari total belanja dalam APBN 2019. Transfer ke daerah terdiri dari dana perimbangan Rp 724,59 triliun, dana insentif ke daerah Rp 10 triliun, dana otonomi khusus dan dana keistimewaan DI Yogyakarta Rp 22,18 triliun, dan dana desa Rp 70 triliun.
”Semakin baik kualitas belanja, ekonomi makin berdenyut. Ada empat jenis belanja yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, yaitu belanja rumah tangga, pemerintah, perusahaan, dan belanja luar negeri, ekspor-impor,” ujar Sri Mulyani.
Baca juga: Perubahan APBD Sumut Tersandera Rapat Paripurna
Pajak daerah
Dalam kenyataannya, sebagian besar daerah di Indonesia sangat tergantung pada aliran dana dari pusat. Selain karena APBD lebih banyak digunakan untuk kebutuhan internal, kemampuan pemerintah daerah untuk mengumpulkan pajak dan retribusi juga rendah.
Berdasarkan data yang diolah Universitas Indonesia, rata-rata rasio pajak pemerintah daerah 1,2 persen pada 2017. Rasio pajak itu dihitung dari data agregasi provinsi, kabupaten, dan kota yang dibagi produk domestik bruto (PDB) nasional.
Dari 34 provinsi, hanya 10 provinsi yang rasio pajak pemerintah daerahnya di atas rata-rata 1,2 persen. Sepuluh provinsi tersebut, antara lain, adalah Bali, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Banten, Maluku Utara, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat.
Rata-rata rasio pajak pemerintah daerah di Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan sejumlah negara. Sebagai contoh, rasio pajak pemerintah daerah di Swedia sebesar 16 persen, Australia 4,4 persen, Portugal 2,3 persen, dan Hongaria 2 persen.
Baca juga: Tiga Megaproyek Senilai Sepertiga APBD Sultra Mulai Berlangsung
Menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Benedictus Raksaka Mahi, rendahnya rasio pajak pemerintah daerah terkait sistem pungutan pajak yang belum optimal. Perkembangan teknologi seharusnya dimanfaatkan secara maksimal untuk mengelola basis pajak daerah, seperti Pajak Bumi dan Bangunan serta Pajak Kendaraan Bermotor.
Rendahnya ratio pajak pemerintah daerah juga dipengaruhi jenis-jenis pajak daerah yang memang kurang elastis (bouyant). Di Swedia, pemerintah daerah berwenang memungut Pajak Penghasilan (PPh) layaknya pemerintah pusat. Basis pajak sama, tetapi dipungut dua pihak.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng berpendapat, pemerintah daerah harus mencari sumber-sumber penerimaan baru agar tidak hanya mengandalkan transfer dana dari pemerintah pusat. Tanpa sumber penerimaan baru, percepatan pembangunan di daerah sulit terwujud karena APBD tidak cukup. ”Pola pikir pemerintah daerah harus berubah. Tidak hanya mengandalkan transfer dana dari pusat, tetapi juga mencari alternatif penerimaan,” kata Robert.
Baca juga: Pembahasan APBD 2020 Dikebut
Pertumbuhan ekonomi
Pengelolaan APBD yang belum optimal juga tecermin dari pertumbuhan ekonomi nasional yang belum merata. Pada 2018, hanya Jawa, Sulawesi, serta Papua dan Maluku yang pertumbuhan ekonominya di atas rata-rata nasional 5,17 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Kalimantan dan Sulawesi di bawah rata-rata nasional.
Mengutip data Bappenas, grafik pertumbuhan ekonomi dan belanja negara periode 2011-2018 membentuk kurva U. Belanja negara meningkat 75,34 persen dari Rp 1.294 triliun pada 2011 menjadi Rp 2.269 triliun pada 2018. Namun, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat dari 6,16 persen pada 2011 menjadi 5,17 persen pada 2018.
Dari hasil kajian Bappenas, setiap 1 persen kenaikan belanja kementerian/lembaga memiliki andil terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,06 persen. Sementara setiap 1 persen kenaikan transfer dana ke daerah secara agregat dapat meningkatkan 0,016 persen pertumbuhan ekonomi daerah.
Kenaikan belanja negara belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara optimal. Pada 2017-2018, misalnya, kenaikan belanja negara sebesar 11 persen hanya memberikan andil terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,24 persen. Padahal, andil belanja negara mestinya 0,66 persen.
Untuk memperbaiki kualitas belanja, Kementerian Keuangan akan merumuskan standar harga satuan regional, terutama untuk perjalanan dinas, paket rapat, honorarium, pengadaan kendaraan dinas, serta pemeliharaan sarana dan inventarisasi kantor. Keuangan daerah juga akan dipantau rutin melalui Badan Akun Standar (BAS) pemerintah daerah.
Dengan demikian, APBD bisa dikelola lebih efektif dan efisien agar mampu menciptakan daya dorong terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Desain APBD dirancang untuk kegiatan yang dapat menciptakan efek berganda, seperti memperluas lapangan kerja, menurunkan kemiskinan, dan meningkatkan pendapatan asli daerah.