Kementerian Luar Negeri RI mencanangkan ”empat plus satu (4+1)” kebijakan luar negeri lima tahun ke depan dengan penekanan pada diplomasi ekonomi.
Oleh
Benny D Koestanto dan Elsa Emiria Leba
·5 menit baca
Penempatan penguatan diplomasi ekonomi sebagai prioritas pertama politik luar negeri Republik Indonesia 2019-2024 menghadapi tantangan besar. Pelambatan perdagangan dan kekhawatiran adanya resesi global menghadang di depan mata. Dibutuhkan kerja superkeras dengan koordinasi kuat dan sinkronisasi kebijakan antarlembaga.
Prioritas politik luar negeri RI 2019-2024 disampaikan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pada akhir Oktober lalu. Prioritas itu bertumpu pada formula yang disebut Retno dengan istilah ”4+1”. Prioritas pertama adalah penguatan diplomasi ekonomi. Kedua, prioritas perlindungan warga negara Indonesia. Ketiga, diplomasi kedaulatan dan kebangsaan. Keempat, peningkatan kontribusi dan kepemimpinan Indonesia di kawasan dan dunia. Adapun yang dimaksud ”plus 1” adalah penguatan infrastruktur diplomasi dengan mendidik para diplomat menjadi diplomat andal dan berkualitas.
Penempatan penguatan diplomasi ekonomi sebagai prioritas pertama didasari sejumlah alasan. Retno menyebut adanya kecenderungan secara global bahwa rivalitas pengaruh politik berjalan seiring dengan rivalitas ekonomi. Di bidang perdagangan, tren proteksionisme telah melahirkan hambatan baru yang akhirnya menekan perdagangan global. Akibatnya, terjadi pelambatan perdagangan dunia sehingga pertumbuhan ekonomi global terus direvisi ke bawah.
Dibutuhkan kerja superkeras dengan koordinasi kuat dan sinkronisasi kebijakan antarlembaga.
Pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Dafri Agussalim, menilai, keberhasilan pencapaian prioritas politik luar negeri RI, khususnya penguatan diplomasi ekonomi, akan banyak tergantung pada kemampuan diplomasi Indonesia di lapangan dan kondisi ekonomi global, apakah menunjukkan kecenderungan ke arah positif.
Ia mengingatkan, politik luar negeri bidang ekonomi agak berbeda dengan bidang politik semata. Bidang ekonomi sangat didasari pertimbangan rasional (untung-rugi) yang kental, sedangkan di bidang politik pertimbangan untung-rugi secara material kadang tidak terlalu penting. ”Ini artinya menjadi tantangan Indonesia untuk menyukseskan prioritas politik luar negeri itu akan jauh lebih berat di tengah persaingan yang sangat ketat serta gejolak ekonomi global yang ada saat ini,” kata Dafri.
Bank Dunia dalam tinjauannya pada pertengahan tahun ini memperingatkan kemungkinan tekanan ekonomi yang dihadapi Indonesia. Di tengah memburuknya kondisi eksternal, pertumbuhan ekspor RI diramalkan akan melambat. Pertumbuhan impor juga diperkirakan akan melemah sejalan dengan melambatnya pertumbuhan investasi. Kebijakan pemerintah untuk mengatur impor diperkirakan akan tetap berlaku dalam jangka pendek.
Mengingat impor ataupun ekspor sama-sama akan melemah, sektor eksternal—kalaupun ada—hanya akan memberikan sedikit kontribusi untuk pertumbuhan hasil pada tahun ini dan tahun depan.
Aset pasar domestik
Menurut Retno, patut disyukuri, produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih tumbuh di atas 5 persen dan stabilitas politik terjaga. Di tengah gempuran proteksionisme, Indonesia punya aset luar biasa, yaitu pasar domestik yang besar dan terus bertumbuh. Pasar besar itu vital bagi perkembangan geo-ekonomi di masa depan.
”Kondisi obyektif ini harus dikapitalisasi, tidak saja untuk kepentingan Indonesia, tetapi juga untuk menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan negara-negara di dunia,” kata Retno.
Pasar yang besar itu harus menjadi daya tawar Indonesia dalam menjalin kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan di tingkat bilateral ataupun regional. Hal yang harus diwaspadai adalah menjaga pasar domestik dari produk-produk yang masuk secara ilegal ataupun dengan dumping atau disubsidi pihak asing. Pertumbuhan ekonomi global yang rendah saat ini menunjukkan peningkatan pelanggaran yang harus makin diwaspadai.
Pemerintah RI juga bertekad memperkuat pasar tradisional di luar negeri dan melakukan terobosan pasar nontradisional. Setelah menembus pasar Afrika melalui Indonesia-Africa Forum dan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue, BUMN dan swasta Indonesia akan terus melanjutkan hubungan ekonomi dengan Afrika. Hal yang sama juga dilakukan dengan kawasan nontradisional lainnya, yaitu Amerika Latin, Asia Selatan dan Tengah, serta Timur Tengah dan Pasifik.
Sejalan dengan hal itu, pemerintah bertekad memperkuat akses pasar. Dalam lima tahun mendatang, penyelesaian perundingan kesepakatan kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA), kesepakatan perdagangan bebas (FTA), dan area perdagangan preferensial (PTA) dengan sejumlah negara akan dipercepat dengan catatan memberi manfaat bagi kepentingan nasional Indonesia dan saling menguntungkan.
Dukungan internal
Dafri menyatakan, kebijakan luar negeri RI di bidang ekonomi harus mendapatkan dukungan secara internal. Dukungan itu terutama melibatkan kalangan industri dalam negeri serta departemen dan lembaga-lembaga negara di dalam negeri. Mutlak sifatnya adanya sinkronisasi kebijakan antarlembaga atau departemen, seperti Kemlu, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian.
Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai, Indonesia harus memastikan strategi diplomasi ekonominya. Pembenahan produksi harus dilakukan seiring dengan promosi yang digelar. ”Boleh promosi ke luar negeri, tetapi apa yang mau dijual harus dipastikan, harganya cukup kompetitif atau tidak, atau kualitas baik-tidak, apa bisa memenuhi permintaan. Jangan promosi dan dapat pesanan, tahu-tahu tidak bisa dipenuhi,” kata Yose.
Terkait peran Kemlu, Yose mengatakan, sebaiknya promosi dan penjualan tidak dijalankan Kemlu, tetapi oleh pihak profesional. Hal itu dapat didorong melalui peran serta Pusat Promosi Perdagangan Indonesia (ITPC) yang berada di puluhan kota di luar negeri dan diisi personel dari Kementerian Perdagangan. Mereka dinilai mengerti kondisi dan kemauan pasar sekaligus dapat melakukan promosi. Peran seperti ITPC itu, menurut dia, dilakukan sejumlah negara lain.
Kita harus membedakan diplomasi ekonomi dan pemasaran produk ekonomi.
”Jadi, saya tidak ingin terlalu membebani Kemlu. Kita harus membedakan diplomasi ekonomi dan pemasaran produk ekonomi. Diplomasi itu memperlancar penjualan dan promosi perdagangan produk indonesia, bukan jadi satu kesatuan,” kata Yose.
Retno menegaskan, pemerintah bertekad mengintegrasikan promosi perdagangan dan investasi agar promosi lebih terarah dan menghasilkan hal yang konkret. Promosi ke luar negeri akan dilakukan secara sinergis serta sejalan dengan perbaikan iklim usaha dan investasi di dalam negeri.
”Dengan mulainya ekspansi BUMN dan sektor swasta Indonesia, sudah waktunya Indonesia juga mengembangkan kebijakan outbound investment ke luar negeri yang sinergis dengan kepentingan ekonomi nasional,” kata Retno.