Dalam laporan pada akhir pekan lalu itu, media AS, ”The New York Times”, mengungkap dugaan penggunaan kekerasan terhadap warga etnis Uighur yang merupakan warga etnis mayoritas di Xinjiang, China.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
BEIJING, SELASA — China akan mempertahankan kebijakan yang disebut sebagai penanggulangan radikalisme di Xinjiang. Kebijakan itu dinilai bisa meredam terorisme selama tiga tahun terakhir.
”China tidak akan pernah lunak terhadap teroris,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, Senin (18/11/2019), di Beijing.
”Kami akan meneruskan pekerjaan, menerapkan kebijakan di Xinjiang, dan membawa Xinjiang lebih baik. Kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan, persatuan di antara suku berbeda, dan keselarasan di masyarakat Xinjiang adalah jawaban terbaik atas tuduhan oleh sejumlah orang dan media,” tuturnya.
Geng menanggapi laporan media Amerika Serikat, The New York Times (NYT), soal tempat-tempat yang disebut China sebagai pusat pelatihan vokasi ulang di Xinjiang. Dalam laporan pada akhir pekan lalu itu, NYT mengungkap dugaan penggunaan kekerasan terhadap warga etnis Uighur yang merupakan warga etnis mayoritas di Xinjiang. NYT menyebut laporan itu didasarkan pada berkas yang dibocorkan pejabat China yang tidak mau diungkap identitasnya.
Dalam laporan itu, Presiden China Xi Jinping disebut memerintahkan penggunaan kekerasan untuk mengatasi radikalisme di Xinjiang. Berkas yang dikutip NYT mencantumkan banyak halaman berisi salinan pidato Xi soal penanganan isu di Xinjiang.
Perintah Xi tersebut dikeluarkan setelah sejumlah teroris Uighur menikam 150 orang di stasiun kereta di Kunming pada 2014. Hampir dua tahun sejak perintah itu dikeluarkan, pusat-pusat penahanan mulai dibuat di Xinjiang. Orang-orang yang diduga terlibat kelompok radikal dibawa ke pusat-pusat penahanan yang disebut China sebagai pusat pelatihan vokasi itu.
Berkas yang dicuplik NYT juga mencantumkan pengakuan seorang PNS di Xinjiang. PNS bernama Wang Yongzhi itu dihukum karena membebaskan 7.000 orang dari pusat penahanan.
Keaslian
Geng menyatakan, ada pertanyaan soal keaslian berkas yang dijadikan sumber NYT. Selain itu, ia menuding NYT mengabaikan latar belakang dan manfaat kebijakan di Xinjiang. Sebelum kebijakan itu diterapkan, banyak penyerangan bermotif separatisme dan terorisme dari dan di Xinjiang.
”Kebijakan soal Xinjiang tidak terkait agama, etnis, atau HAM. Sepenuhnya soal penanggulangan teror dan separatis,” kata Geng.
Sejumlah orang Uighur memang menginginkan kemerdekaan dari China. Sebagian orang Uighur juga terlibat jaringan teror. Bahkan, Indonesia pernah menangkap orang Uighur yang bergabung dengan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Geng menyebut, Beijing secara rutin mengeluarkan laporan soal Xinjiang. ”Warga Xinjiang mendukung langkah China menjaga stabilitas. China tidak mengenal ampun pada teroris dan tidak kompromi dalam melindungi nyawa serta keselamatan warga,” ujarnya.
Sejumlah pembela HAM menuding hingga 1 juta orang Uighur ditahan karena kebijakan Beijing di Xinjiang. Selain itu, sejumlah orang dari suku minoritas juga ditahan, lalu masuk pusat vokasi karena alasan mendorong separatisme.
Beijing awalnya membantah ada pusat-pusat penahanan itu. Belakangan, Beijing mengakui dengan menyebutnya sebagai pusat vokasi.
”Bocoran berkas itu mengungkap apa yang terjadi di Xinjiang terkait tekanan dan pengendalian terhadap orang-orang selain suku Han (suku mayoritas di China). Bocoran itu juga menunjukkan Partai Komunis China tidaklah selalu monolitik,” kata Fei-Ling Wang, dosen di Georgia Institute of Technology (AP/AFP/REUTERS)