Fotografi digital telah menihilkan fungsi film negatif. Media perekam berubah menjadi compact flash atau SD card yang dinamis, bisa merekam foto sebanyak-banyak dan bisa dipakai berulang-ulang. Kamera manual atau yang lebih populer dengan sebutan kamera analog kian jarang dipakai. Toko yang menjual dan memproses film negatif tidak lagi melayani jasa cuci film negatif. Semua dimudahkan dengan teknologi kamera digital.
Ketika kemudian beberapa tahun belakangan muncul tren memotret dengan kamera analog, film negatif kembali dicari. Kini, yang menjual film negatif bukan toko atau studio foto besar, namun lapak-lapak indie yang menawarkan melalui media sosial. Meski sekarang memotret dengan kamera manual menjadi hal yang keren bagi generasi masa kini, perlakuan terhadap media perekam manual tidak lagi sama.
Toko (Lab)Rana di Kawasan Kemang, Jakarta, setiap hari melayani lebih dari 100 rol cuci film negatif per hari. Proses mencuci film negatif warna menggunakan mesin, sementara film negatif hitam putih diproses manual. Setelah diproses cuci film, negatif film dipindai dan kemudian file foto disimpan di Google Drive untuk diunduh pemilik negatif. Negatif film yang sudah dipindai disimpan dalam amplop dan ditata rapi di lemari. Tetapi, sebagian besar amplop tersebut tidak pernah diambil oleh pemiliknya.
Suatu sore pada Oktober 2019, Nadhira, remaja berpenampilan gaul, melepaskan rol film negatif dari dalam kamera Nikon FM2 nya dan kemudian menyerahkan rol tersebut ke staf (Lab)Rana untuk diproses. Setelah mengisi data, petugas bertanya apakah film negatifnya akan diambil? ”Nanti saja kalau sempat,” jawab Nadhira.
Wahyudin, pemilik (Lab)Rana, mengatakan, para pemotret yang menggunakan kamera analog sudah tidak membutuhkan negatif film yang diproses. Bagi mereka, yang penting dapat link Google Drive, terus fotonya diunggah di media sosial dengan embel-embel tanda pagar #35mm. Film negatif material tidak lagi menjadi materi mentah, tetapi file digital yang diutamakan. Padahal, jika file digital tersebut rusak atau hilang, fotografer tidak lagi punya file cadangan. (Lab)Rana memberikan tenggat waktu dua bulan penyimpanan negatif film di lemari. Hingga saat ini, selalu banyak amplop yang dibuang karena tidak diambil pemiliknya.
Jika film negatif bagian sebagian fotografer kini tidak lagi ada artinya, namun bagi yang lain film negatif adalah harta karun tak ternilai. Harian Kompas yang terbit pada 28 Juni 1965 mempunyai sekitar 2 juta file negatif foto hasil pemotretan sejak awal berdiri hingga akhir penggunaan kamera analog tahun 2002. Kompas telah melakukan digitalisasi arsip foto selama lebih dari 2 tahun.
Hasilnya adalah foto-foto yang bersejarah, bukan hanya tentang perkembangan Indonesia, tetapi juga perkembangan dunia fotografi dari masa ke masa. Usai proses digitalisasi arsip selesai, film negatif milik harian Kompas tersebut kembali disimpan dalam posisi terhormat sebagai arsip penting.
Fotografer alam liar Riza Marlon yang telah membuat beberapa buku foto adalah salah satu yang cukup rapi menyimpan file film negatif. Meski semua telah disimpan dalam bentuk digital, rasa-rasanya Riza Marlon tidak akan membuang negatif fotonya.
Dunia fotografi analog yang kini kembali marak adalah sebuah bentuk nostalgia pada era fotografi lampau. Semua fotografer yang bermain kamera analog merasakan sensasinya. Mereka menyanjung kamera retro yang mereka pakai. Menyimpan negatif foto sebagai material mentah hasil foto tidak lagi penting. Bagi sebagian mereka, kebanggaan berakhir pada jumlah like pada foto yang mereka unggah di media sosial.
Baca Juga: