Gali Kreasi Disabilitas lewat Seni
Senin (4/11/2019) siang, bahagia di Lembaga Pelatihan Kerja Art Theraphy Center Widyatama menyejukkan Kota Bandung, Jawa Barat, yang dihajar panas menyengat. Di sana, keterbatasan kembali didobrak memberika harapan baru.
Senin (4/11/2019) siang, bahagia di gedung Lembaga Pelatihan Kerja Art Theraphy Center (LPK ATC) Widyatama menyejukkan Kota Bandung, Jawa Barat, yang dihajar panas menyengat. Di sana, keterbatasan kembali didobrak memberikan harapan untuk kehidupan lebih baik kelak.
Salah satu yang tidak dapat menyembunyikan rasa bahagia itu adalah Anna Surismi (44), warga Margaasih, Kota Bandung. Wajahnya berbinar cerah saat melihat lembar demi lembar gambar tangan buatan anaknya, Alif Abdulrahman (20). Disimpan rapi dalam album plastik, puluhan karya beragam warna dan bentuk itu dibuat Alif dalam tiga bulan terakhir.
Dengan bangga, Alif memperlihatkan satu persatu gambar buatannya. “Ini buatan Alif,” katanya. Dari hanya bentuk garis dan kotak bermotif hingga gambar wajah dalam bentuk sederhana. Setiap lembar demi lembar usai dibuka, Anna melontarkan pujian yang membuat Alif terlihat semakin bahagia.
"Ini adalah pertama kalinya saya melihat gambar tangan buatan Alif. Saya tidak pernah menyangka dia bisa membuat gambar tangan seperti ini. Sebelumnya dia tidak pernah tertarik gambar tangan karena lebih suka membuat gambar digital menggunakan program di komputer. Di sini, bakat Alif berhasil dibangkitkan," kata Anna.
Alif adalah mahasiswa anyar di LPK ATC Widyatama. ATC adalah lembaga pendidikan inklusi yang menerima dan mendidik difabel lulusan SMA atau sederajat. Metode belajarnya lewat seni musik, desain grafis, dan kriya.
Dia bersama lima rekannya adalah angkatan pertama jurusan kriya yang baru belajar tiga bulan lalu. Mereka menempati dua ruang kriya berukuran masing – masing 3 meter x 6 meter, hibah dari Kompas 100 CEO Forum.
Seperti mahasiswa lainnnya, Alif berkebutuhan khusus. Dia menyandang sindrom asperger. Tanda signifikan sindrom ini, penyandangnya kesulitan berinteraksi sosial dan berkomunikasi verbal. Rekan-rekan lainnya juga menyandang kesulitan konsentrasi hingga hambatan belajar.
Baca Juga : Potensi Penyandang Disabilitas Butuh Dukungan Fasilitas Pelatihan
Bakat Alif memang menonjol. Rabu (6/11), ia memperlihatkannya saat meniru gambar-gambar bunga dengan tiga tingkat kesulitan berbeda. Dia mampu menyelesaikan lebih cepat dengan tingkat kemiripan yang baik. Hanya sedikit koreksi kecil yang diberikan pendampingnya, Anunsiata Srisabda.
”Itu batang bunganya terlalu besar. Coba dihapus dan dibuat lagi ya,” kata Anunsiata.
”Iya ibu. Terlalu besar ya,” kata Alif.
Dengan cepat dia mengambil penghapus dan menggambar lagi batang bunga itu dengan ukuran lebih kecil tapi proporsional.
”Bagus,” kata Anunsiata selepas melihat gambar yang sudah dikoreksi.
”Terima kasih ibu,” kata Alif. Mereka terbiasa mengucapkan terima kasih bila karyanya diapresiasi.
Tak hanya Alif yang diapresiasi positif siang itu. Ada Theodorus Fabian Lunnel (19) yang ikut dipuji. Meski tidak terlalu mulus menyelesaikan gambar bunga, Anunsiata mengatakan, Theo belajar banyak tentang arti toleransi.
”Biasanya Theo selalu protes bila ada orang bernyanyi di sebelahnya saat sedang menyelesaikan tugas. Lewat sejumlah pendekatan, Theo akhirnya bisa menerimanya. Ini bekal bagus baginya untuk bersosialisasi dengan banyak orang kelak,” katanya.
Kesempatan
Dibentuk tahun 15 Maret 2014, Direktur ATC Widyatama Anne Nurfarina mengatakan, ingin membantu difabel menggali kemampuan dalam karya, inovasi, dan wirausaha. Dia yakin, difabel punya kemampuan sama atau mungkin lebih baik ketimbang lulusan pendidikan umum.
Dia berharap, semakin banyak industri memberikan kesempatan berkarya bagi kalangan difabel. Kesempatan difabel masuk dunia kerja sudah diatur UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal 53 menyebutkan, pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah, wajib mempekerjakan paling sedikit 2 persen difabel dari total jumlah pekerja. Sementara perusahaan swasta wajib mempekerjakan sedikitnya 1 persen difabel dari total jumlah pekerja.
Baca juga: Bantuan Bagi Penyandang Difabel
Difabel punya kemampuan sama atau mungkin lebih baik ketimbang lulusan pendidikan umum (Anne Nurfarina).
Akan tetapi, aturan itu kerap masih diterapkan seperti macan kertas. Praktik di dunia nyata tak seindah kenyataan. Oleh karena itu, saat hak-hak difabel belum terpenuhi ideal, ATC Widyatama mencoba membantu difabel menggali potensinya.
”Setelah beberapa kali kolaborasi dengan rumah produksi dan kreatif, kini karya mereka sudah mulai diterima dunia usaha. Ini jadi modal baik bagi mereka agar mandiri menjalani hidup setelah lulus dari sini,” kata Anne.
Salah satu yang tertarik adalah Aleza, produsen mode kaya motif. Creative Team Aleza, Socha Adi Paramitha (27), mangatakan, tertarik menggunakan karya siswa ATC setelah melihat kolaborasi lembaga itu dengan musisi Andien Aisyah. Imajinasi mereka, kata Socha, out of the box, dan sangat berpotensi disukai konsumen.
Total ada 17 desain yang diminati Aleza. Sebanyak 11 desain untuk kemeja dan 6 lainnya untuk tas. Teknik desain beragam, mulai dari gambar tangan, digital, hingga ecoprint. Semuanya sudah selesai didesain dan siap diluncurkan ke pasar 22 November 2019. Harganya diperkirakan antara Rp 200.000–Rp 300.000.
”Seluruh penjualan akan dibagi rata antara kami dan ATC, masing-masing 50 persen. Sejak awal proyek ini mengutamakan sisi sosial yang tinggi,” katanya.
Ke depan, kolaborasi serupa besar kemungkinan bakal dilakukan lagi. Bisa dengan ATC atau lembaga lainnya. Kolaborasi semacam ini, kata dia, memiliki peran besar.
”Semua orang, tanpa memandang perbedaan, bisa banyak melakukan hal besar. Kami ingin selalu membangun kesempatan itu bagi siapa saja,” katanya.
Semua orang, tanpa memandang perbedaan, bisa banyak melakukan hal besar. Kami ingin selalu membangun kesempatan itu bagi siapa saja (Socha Adi Paramitha).
Menghafal nada
Saat mahasiswa lainnya tengah belajar banyak kemampuan berkarya, Achmad Taufan (27), tengah menjalani ”ujian hidup” sesungguhnya setelah lulus dari jurusan Desain Grafis LPK ACT setahun lalu. Sembari menjalani pekerjaan sebagai desainer lepas, ia membantu mengajar mata kuliah di ATC Widyatama olah tubuh yang diampu Eni Nuraeni.
Eni mengatakan, Taufan menembus batas. Siang itu, meski difabel rungu, dia mampu menari kontemporer dengan luwes dan menjadi contoh bagi delapan siswa LPK ACT lainnya. Jurang antara irama musik dan keterbatasan pendengaran berhasil didobrak Taufan.
”Tidak mudah awalnya, tapi dari hasil studi dan diskusi dengan pengajar di sini, saya mampu menari meski cara belajarnya juga luar biasa,” ujar Eni.
Saat mengenal dan menghafal ritme serta irama, misalnya, Taufan terbiasa menyentuh pelantang suara yang memainkan musik pengiring tari. Dentuman bas dan drum yang terasa di telapak tangannya menjadi jembatan menghafal nada.
”Butuh ketekunan untuk memelihara ingatan saat menghafal begitu banyak gerakan tari. Taufan bisa melakukannya. Saya rasa siswa difabel lainnya bakal mampu melakukannya,” katanya.
Tidak hanya berhasil memandu siswa disabilitas rungu, Taufan jadi guru bagi Didik (20), difabel netra. Gayanya unik. Untuk gerakan kaki, Didik memegang kaki Taufan yang bergoyang mengikuti irama lagu.
”Sebelumnya ada jurang saat mengajar difabel netra. Di satu sisi, mereka tidak bisa melihat tapi saya kesulitan mendengarkan musik,” kata Taufan, Kamis (7/11).
Taufan perlahan jadi inspirasi, setidaknya bagi Pradana Mustaqim (21), mahasiswa jurusan Desain Grafis ATC Widyatama. Pradana, juga difabel rungu, sebelumnya tidak percaya diri bisa menari sampai melihat Taufan beraksi. Namun, dengan metode yang diberikan Eni dan Taufan, Pradana kini percaya diri mengembangkan minatnya menari.
”Sekarang masih ada gerakan yang kurang sempurna. Ke depan pasti akan lebih baik lagi,” ujarnya.
Baca juga: Jadikan ”Golf Charity” Kompas Gerakan Sosial Para CEO
Ke depan, Eni sangat berharap, apa yang dilakukan lebih dari sekadar memenuhi kegiatan belajar-mengajar. Setiap gerak bukan hanya mencari kesempurnaan menari, tetapi jadi sarana melatih kemampuan diri sebagai persiapan untuk hidup yang lebih baik kelak.
Menjelang siang, lantunan lagu ”Rasa Sayange” yang mengiringi siswa ATC Widyatama menari mengolah tubuhnya masih diputar. Ada tawa dan bangga setiap gerakan sukses dipraktikkan. Seperti lirik lagu yang bercerita tentang kisah penuh cinta diantara umat manusia, tarian mereka seperti menyiapkan diri hidup bersama masyarakat kelak.