Harus Diselesaikan, Kasus HAM Berat Masa Lalu Selalu Jadi Komoditas Politik
Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu masih belum menemukan titik terang. Instansi-instansi yang bertugas untuk membawa perkara itu ke meja hijau bertahan dengan argumen masing-masing.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu selalu menjadi komoditas politik. Oleh karena itu, kasus-kasus tersebut harus diselesaikan. Namun, persoalannya hingga kini, instansi-instansi yang berwenang untuk menyelesaikannya masih saling lempar tanggung jawab.
”Kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu itu sebenarnya selalu menjadi komoditas politik yang harus diselesaikan,” kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Jakarta, Selasa (19/11/2019).
Pemerintah ditekankannya berkomitmen untuk menyelesaikan itu. Termasuk di dalamnya, menyelesaikan persoalan yang muncul antara Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam mengusut kasus-kasus HAM masa lalu.
”Ya itu yang akan diselesaikan. Selama ini terus berulang, Komnas HAM punya bukti, tetapi Jaksa Agung selalu meminta perbaikan. Namun, yang terjadi perbaikan dibalas dengan tanggapan dari Komnas HAM, bukan perbaikan,” katanya.
”Kita clear-kan saja, saya kira Komnas HAM cukup dewasa untuk tahu bahwa memang bisa (memenuhi usulan perbaikan), saya yang bawa (kasus dugaan pelanggaran HAM berat) ke pengadilan,” tambahnya.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman menyatakan, Kejaksaan Agung belum bisa meningkatkan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu itu ke penyidikan karena minimnya kualitas penyelidikan oleh Komnas HAM.
”Kalau hasil penyelidikan harus ditambah dan sudah kami berikan petunjuk, lalu petunjuk itu tidak dipenuhi, bagaimana kami melakukan penyidikan?” katanya. Ia pun akan mengoordinasikan penyelesaian hal ini dengan Kemenko Polhukam.
Setidaknya ada 10 berkas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah dilimpahkan oleh Komnas HAM ke Kejaksaan Agung, yakni Tragedi Kemanusiaan 1965/1966; Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985; Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998; Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II; Kasus Talangsari tahun 1989; Kerusuhan Mei 1998; Kasus Wasior di Papua Barat, Wamena di Papua, dan tiga kasus semasa Daerah Operasi Militer Aceh.
Menurut komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, penting bagi pemerintah untuk mengutamakan narasi hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus itu.
Tugas Komnas HAM sudah jelas, yaitu merumuskan sebuah peristiwa, termasuk pelanggaran HAM berat atau bukan. Tugas itu dilakukan Komnas HAM sebagai penyelidik. Sementara Jaksa Agung, sebagai penyidik, yang bertugas merampas surat-surat atau dokumen penting serta memaksa terduga untuk diperiksa.
”Kalau menuduh dari Komnas HAM kurang kuat, bisa di-challenge dengan melihat siapa punya kewenangan apa sesuai hukum,” katanya.
Dia menyatakan, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sudah menyediakan mekanisme terkait kebuntuan ini. Jaksa Agung bisa mengeluarkan surat perintah penyidikan kepada penyelidik, dalam hal ini Komnas HAM. Jika memang ada barang bukti yang kurang, Komnas HAM dengan status sebagai penyidik akan melengkapi kekurangan tersebut.
Akan tetapi, lanjut Choirul, Jaksa Agung tidak melakukan hal itu. Ia pun menduga, pemerintah sengaja mengulur waktu agar pembuktian kasus-kasus ini semakin sulit dilakukan.
Oleh karena itu, Komnas HAM menunggu komitmen Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus ini sesuai koridor hukum. Menurut dia, pemerintah saat ini terkesan hanya menggunakan hukum sebagai narasi politik.
”Kalau yang digunakan narasi politik, jadinya saling lempar. Hal itu merugikan korban dan proses hukum yang sedang berjalan,” katanya.
Pada Jumat (15/11/2019), Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan bahwa Komisi III DPR sudah mengagendakan rapat dengar pendapat antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Namun, pertemuan itu batal dan akan diagendakan lagi dengan batas waktu yang tidak ditentukan.