Semua warga negara Indonesia terlahir dengan ekualitas yang sama. Namun, di beberapa tempat masih sering muncul stigmatisasi, seperti yang dialami masyarakat Papua.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Billy Mambrasar, tokoh anak muda Papua lulusan S1 Institut Teknologi Bandung dan S2 di Australian National University serta Universitas Oxford mengungkapkan bagaimana dirinya sebagai warga Papua masih sering mendapat stereotip atau stigmatisasi.
”Ketika saya masuk di ITB, banyak yang bertanya apakah saya masuk kuliah lewat jalur umum atau khusus. Meskipun saya betul-betul berjuang untuk bisa masuk ke ITB, namun ada saja yang menganggap saya masuk lewat jalur tertentu atau khusus,” paparnya, Senin (18/11/2019) dalam diskusi Gelar Wicara, Lokakarya, dan Pameran Budaya Papua dengan tema “Ragam Budaya Papua” di Gedung Sarinah, Jakarta.
Saya asli Papua, dari suku Mambrasar dan memiliki hak ulayat.
Stereotiping atau pelabelan juga dialami Billy ketika mengikuti debat dan diskusi di forum-forum global. Pertanyaan yang muncul seringkali justru menjurus pada soal keaslian, apakah dirinya asli Papua atau tidak. Ia juga sering dianggap keturunan Papua yang berasal dari keluarga kaya dan lahir di luar Papua.
“Saya asli Papua, dari suku mambrasar dan memiliki hak ulayat. Anggapan bahwa saya berasal dari keluarga orang kaya salah. Saya berasal dari keluarga yang sangat miskin, bukan anak pejabat. Saat kecil, saya harus ikut berjualan di pasar,” kata dia.
Jangan ada jarak
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Adriana Elisabeth mengungkapkan bagaimana ia mengalami proses yang panjang untuk dekat dan benar-benar mengenal masyarakat Papua. Adriana pertama kali datang ke Papua tepatnya di Sorong tahun 1992 silam untuk melakukan penelitian. Tahun 2004, ia kembali datang ke Papua dan terus-menerus berlanjut hingga sekarang.
“Saya pernah diusir saat datang di sebuah suku di Papua. Tapi, saya tidak putus asa, perlahan-lahan saya menjadi semakin tahu bagaimana pergulatan teman-teman di Papua. Tidak ada cara instant untuk dekat dan mengenal. kita harus berinteraksi, jangan ada jarak dan jangan ada stereotip,” ucapnya.
Adriana memberikan contoh bagaimana upaya membangun dialog di Papua membutuhkan sikap ketulusan. Prinsipnya, jangan ada jarak dan jangan meremehkan masyarakat di sana. Ia yakin, anak-anak muda Papua sekaranglah yang akan menentukan masa depan Papua.
Pendiri Yayasan Noken Papua, Titus Pekei memaparkan bagaimana Papua memiliki aneka macam kerajinan dengan nilai-nilai filosofis yang mendalam, salah satunya noken yang telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya tak benda 4 Desember 2012 lalu.
Upaya membangun dialog di Papua membutuhkan sikap ketulusan.
”Noken hadir di sepanjang waktu. Manfaat noken multifungsi, mulai dari untuk menggendong bayi, mengambil ubi jalar, talas, keladi, buah-buahan, sayur, dan sebagainya. Noken melambangkan hati Papua yang terbungkus. Pesannya, jangan robek noken karena di situlah hati Papua disimpan. Papua tidak boleh lagi ada kekerasan, tidak boleh lagi ada noken yang dirobek,” papar Titus.
Diskusi itu jadi bagian rangkaian dari Gelar Wicara, Lokakarya, dan Pameran Budaya Papua dengan tema “Ragam Budaya Papua” yang digelar Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan PT Sarinah (Persero).
Selain diskusi, terdapat pula pameran kekayaan budaya Papua, berbagai lokakarya, pemutaran video, dan penampilan 10 Usaha Mikro Kecil dan Menengah Papua yang memperkenalkan produk-produk Papua. Kegiatan ini diselenggarakan sebulan penuh dari 18 November 2019 hingga 18 Desember 2019 di Lantai UG, Sarinah, Jakarta.
Saat ini, sebanyak 38 mata budaya Papua telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Selain itu, empat orang penggiat budaya Papua telah menerima Anugerah Kebudayaan dari Kemendikbud, dan noken sendiri telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia oleh Unesco.