Kebakaran Hutan, 1.253 Perusahaan Dituntut Ikut Bertanggungjawab
Sebanyak 1.253 perusahaan diminta turut bertanggungjawab terhadap dampak kebakaran hutan dan lahan selama 2019.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 1.253 perusahaan diminta turut bertanggungjawab terhadap dampak kebakaran hutan dan lahan selama 2019. Asap kebakaran ini telah meningkatkan persoalan dan dampak kesehatan hingga puluhan tahun ke depan.
"Sudah selayaknya penegakan hukum tidak hanya mengejar tanggung jawab pemilik lahan atau konsesi, tetapi juga pertanggungjawaban atas korban asap beracun. Kebakaran hutan dan lahan mungkin berhenti saat ini, akan tetapi dampaknya terus berlanjut sampai dengan 20-30 tahun ke depan," kata Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan dalam diskusi di Jakarta, yang dirilis Selasa (19/11/2019).
Hingga tahun 2019, Madani menemukan adanya titik panas di 836 perkebunan sawit, 247 konsesi HTI, 170 konsesi HPH, dan 111 area PIAPS yang belum diberikan izin perhutanan sosial. Sebagian di antara lahan ini sudah berulangkali terbakar dari tahun 2016 hingga 2019.
Hingga tahun 2019, Madani menemukan adanya titik panas di 836 perkebunan sawit, 247 konsesi HTI, 170 konsesi HPH, dan 111 area PIAPS yang belum diberikan izin perhutanan sosial.
“Ada 1.253 perusahaan yang harus bertanggungjawab terhadap gas beracun PM2.5 selama periode kebakaran hutan dan lahan tahun 2019,” ujar Fadli, GIS Specialist Madani.
Madani dan Kelompok Advokasi Riau (KAR) telah melakukan kajian khusus di Provinsi Riau, yang memiliki titik panas terbanyak selama periode pengamatan Januari-Agustus 2019, yaitu 13.656 titik panas. Berdasarkan analisis tumpang tindih atas data titik panas yang dikeluarkan oleh Lapan dan VIRS pada September 2019, titik panas terbanyak di Riau terdapat di Kabupaten Indragiri Hilir, Indragiri Hulu dan Rokan Hilir.
Hasil kajian spasial Madani menunjukkan bahwa sebagian besar titik panas di Riau terjadi di wilayah gambut dengan kedalaman 0,5 hingga 2 meter atau wilayah gambut dangkal hingga menengah. Titik panas di Riau juga banyak terjadi di wilayah prioritas restorasi gambut, sebagian besar bahkan terjadi di wilayah prioritas restorasi dengan zona lindung.
Total luas indikasi area terbakar di wilayah prioritas restorasi gambut di Riau mencapai 49.117,9 ha, dengan rincian di wilayah prioritas restorasi gambut tidak berkanal (zona lindung) seluas 16.467,2 ha, kubah gambut (zona budidaya) sekitar 16.027,9 ha, gambut berkanal (zona lindung) sekitar 7.866,7 ha, dan wilayah pasca-kebakaran 2017 seluas 8.756,1 ha.
Total luas indikasi area terbakar di wilayah prioritas restorasi gambut di Riau mencapai 49.117,9 hektar.
Dari investigasi yang dilakukan di 14 desa di Riau, 11 desa mengalami kebakaran pada periode April hingga 20 September 2019, termasuk 7 desa yang menerima program restorasi gambut BRG, di mana 5 desa pernah mengalami kebakaran sebelumnya dan 2 desa baru kali mengalami kebakaran.
Dampak Kesehatan
Asap beracun PM2.5 yang timbul akibat kebakaran menyebabkan meningkatnya penyakit yang diderita masyarakat. Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Provinsi Riau, dari Januari 2014 hingga Agustus 2019 penyakit terbanyak yang dialami masyarakat di wilayah ini adalah batuk, ISPA, pneumonia, infeksi kulit, TB paru dan beberapa penyakit degeneratif lainnya. Jumlah kasus ISPA di Provinsi Riau paling tinggi dibandingkan penyakit lain.
Pada tahun 2018, sebanyak 31,4 persen penderita pneumonia pada balita di Indonesia berada di Provinsi Riau. Penderita terbesar di Kabupaten Siak (86,9 persen), disusul Kabupaten Pelalawan (72,8 persen), Kabupaten Kota Dumai (64,4 persen), dan kepulauan Meranti (59,6 persen).
Pada tahun 2018, sebanyak 31,4 persen penderita pneumonia pada balita di Indonesia berada di Provinsi Riau.
Menurut Teguh, terganggunya kesehatan masyarakat akibat kebakaran hutan ini merupakan anggung jawab dari para pemilik lahan dan konsesi yang lahannya terbakar, selain pemerintah. Sehingga mereka pun harus bertanggung jawab terhadap korban asap.
“Selain itu, mitigasi kebakaran hutan dan lahan, dan penanganan korban asap harus menjadi prioritas utama pemerintah dan terintegrasi ke dalam rencana pembangunan daerah dan nasional,” tambah Teguh.
Berdasarkan kajian terpisah oleh Miriam E Marlier dari Universitas Columbia, Amerika Serikat dan tim yang diterbitkan di jurnal GeoHealth Juli 2019, paparan asap dari kebakaran hutan di kawasan Asia Tenggara dapat menyebabkan 36.000 kematian prematur per tahun di Indonesia, Singapura dan Malaysia selama beberapa dekade mendatang. Potensi kematian dini ini disebabkan cemaran PM 2,5 dari kebakaran hutan tropis dinilai sangat membahayakan kesehatan, mulai dari persoalan pernafasan hingga memicu kanker.
Paparan asap dari kebakaran hutan di kawasan Asia Tenggara dapat menyebabkan 36.000 kematian prematur per tahun di Indonesia, Singapura dan Malaysia selama beberapa dekade mendatang.
Madani merekomendasikan agar pemerintah mempersiapkan infrastruktur untuk menangani korban asap beracun, baik saat bencana terjadi maupun dalam jangka panjang, termasuk langkah-langkah mitigasinya. Pemerintah selayaknya merancang program sosialisasi bahaya asap dan rencana tanggap bencana. Daerah terdampak wajib memiliki fasilitas kesehatan secara gratis bagi para korban yang dibiayai oleh APBN/APBD.
Untuk mitigasi kebakaran ke depan, pemerintah dituntut mempercepat dan memperkuat upaya restorasi gambut pasca 2020 serta melaksanakan review izin dan penegakan hukum lingkungan.