Kelapa Ditolak Thailand, Eksportir Rugi Rp 2,5 Miliar
Sebanyak 25 kontainer yang berisi 675 ton kelapa bulat asal Sumatera Selatan ditolak Thailand karena kondisi kelapa yang sudah bertunas. Akibatnya, eksportir mengalami kerugian hingga Rp 2,5 miliar.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Sebanyak 25 kontainer berisi 675 ton kelapa bulat asal Sumatera Selatan ditolak Thailand karena kondisi kelapa yang sudah bertunas. Akibatnya, eksportir mengalami kerugian hingga Rp 2,5 miliar. Percepatan pengiriman dan penyortiran barang akan menjadi prioritas agar kejadian ini tidak terulang.
Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi Bea Cukai Palembang Dwi Harmawanto di Terminal Peti Kemas Pelabuhan Boom Baru, Palembang, Selasa (19/11/2019), mengungkapkan, pengembalian barang ekspor (re-impor) sampai dengan 25 kontainer dalam jangka waktu satu bulan merupakan yang pertama kali terjadi di Sumsel. ”Biasanya tidak pernah ada pengembalian. Kalaupun ada, tidak sampai sebanyak ini,” ungkap Dwi.
Sepanjang tahun ini, ada 5.504 kontainer kelapa dengan berat 94.070 ton yang dikirim ke beberapa negara, seperti China, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Dari jumlah tersebut, sekitar 28 persen di antaranya atau 1.527 kontainer dengan berat 37.106 ton dikirim ke Thailand.
Nilai devisa yang diperoleh dari ekspor kelapa bulat ini mencapai Rp 213 miliar, sekitar Rp 89 miliar dari jumlah itu berasal dari Thailand. ”Thailand merupakan salah satu pengimpor kelapa asal Sumsel yang cukup besar selain China,” katanya.
Dwi mengatakan, pihaknya tidak mengetahui pasti alasan pengembalian kelapa karena Bea Cukai tidak melakukan pemeriksaan kualitas produk sebelum dikirim. Apalagi, saat ini, ekspor-impor sudah dilakukan secara daring sehingga dokumen akan dikirim dan diterima langsung oleh pihak eksportir.
Muhammad Rajief Nasir, Direktur PT Central Agro Indonesia selaku perusahaan pengekspor, mengatakan, alasan Pemerintah Thailand mengembalikan kelapa itu karena telah bertunas sekitar 1-2 sentimeter (cm) sesampainya di Thailand. Padahal, pertumbuhan tunas sulit dihindari karena mulai dari pemetikan hingga sampai ke Thailand membutuhkan waktu satu bulan.
Kemungkinan ada perubahan regulasi sehingga kelapa yang bertunas ditolak.
Selama ini, ungkap Rajief, kelapa bertunas tidak menjadi masalah. Baru bulan ini saja kelapa kirimannya dikembalikan. ”Kemungkinan ada perubahan regulasi sehingga kelapa yang bertunas ditolak,” katanya. Penolakan datang dari pihak pemerintah, adapun pihak perusahaan pengimpor kelapa tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Akibat pengembalian ini, ujar Rajief, perusahaannya harus menanggung kerugian hingga Rp 2,5 miliar dengan penghitungan kerugian satu kontainer mencapai Rp 100 juta. Untuk mengurangi kerugian tersebut, ungkap Rajief, pihaknya akan mengolah kelapa itu menjadi sejumlah produk turunan, seperti kopra, sabut, dan arang.
Rajief berharap agar pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan Pemerintah Thailand terkait hubungan dagang ini sehingga pihak eksportir tidak dirugikan. ”Perlu ada kesepakatan lanjutan, termasuk tolerasi tentang tunas di kelapa, sehingga barang yang telah kami kirim tidak lagi ditolak,” kata Rajief.
Kepala Dinas Perdagangan Sumsel Iwan Gunawan menilai, kelapa yang dikirim eksportir dari Sumsel layak kirim. ”Tidak mungkin eksportir sengaja mengirimkan barang yang tidak layak, itu akan merugikan mereka sendiri,” katanya.
Namun, yang menjadi permasalahan utama adalah panjangnya pengiriman sehingga sesampainya di Thailand kelapa jadi bertunas. Apalagi, kondisi kontainer lembab sehingga pertumbuhan tunas pada kelapa tidak bisa dihindari.
Karena itu, ia menilai, perlu percepatan distribusi. ”Pemetikan atau pengupasan bisa lebih dipercepat dengan memakai alat,” kata Iwan.
Selain itu, ungkap Iwan, perlu ada upaya hilirisasi produk agar eksportir tidak hanya mengirim kelapa bulat, tetapi juga produk yang sudah diolah, misalnya santan. Sumsel sudah memiliki pabrik santan yang produknya juga telah diekspor. ”Hasil santan itu diterima oleh pengimpor dan ada pasarnya,” kata Iwan.
Kepala Bidang Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian menuturkan, langkah mekanisasi adalah solusi. Dengan hasil panen sekitar 300 butir per tiga bulan di Sumsel membuat mekanisasi pengolahan kelapa sangat mendesak.
Selama ini, ungkap Rudi, pemetikan dan pengupasan dilakukan secara manual sehingga membutuhkan waktu cukup lama. ”Di tingkat petani dan pengumpul saja membutuhkan waktu hingga tiga minggu,” katanya.
Dengan hasil ini, Sumsel menjadi pengekspor kelapa terbesar nasional, terutama setelah Palu menghentikan produksinya setelah bencana gempa pada 2018 lalu. ”Langkah mekanisasi ini diharapkan dapat memangkas waktu pengiriman setidaknya satu minggu sehingga bisa lebih cepat tiba di negara tujuan,” kata Rudi.