Korban Penggusuran di Sunter Tolak Bantuan Program Pelatihan Kerja
Pemerintah Kota Jakarta Utara menawarkan warga korban penggusuran di Jalan Agung Perkasa VIII, Sunter Jaya, Jakarta Utara, sejumlah program pelatihan kerja. Namun sejumlah warga korban penggusuran menolak tawaran itu.
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Kota Jakarta Utara menawarkan sejumlah program pelatihan kerja kepada warga korban penggusuran di Jalan Agung Perkasa VIII, Sunter Jaya, Jakarta Utara. Namun, sejumlah warga menolak tawaran tersebut. Warga menilai, program pelatihan yang ditawarkan tak cocok dengan kemampuan mereka sebagai pedagang barang bekas yang telah dilakoni sejak puluhan tahun.
Tawaran bantuan pelatihan program kerja oleh Pemkot Jakarta Utara ini dimaksudkan membantu sebagian besar warga yang tadinya berprofesi sebagai pedagang barang bekas untuk beralih profesi.
Menurut rencana, lebih dari 60 keluarga yang berdomisili di jalan yang terkena penggusuran itu akan direlokasi ke Rusun Marunda, Jakarta Utara, atau sekitar 30 menit perjalanan menggunakan sepeda motor dari tempat tinggal mereka sebelumnya. Sejak Kamis (14/11/2019), tempat tinggal mereka dibongkar karena kawasan itu hendak ditata supaya ramah lingkungan dan bebas banjir.
Masalahnya, sebagian besar warga menolak direlokasi karena akan kesulitan mencari nafkah di rusun.
Untuk itu, Pemkot Jakarta Utara berinisiatif membantu mereka beralih profesi dengan menawarkan program pelatihan. Ada empat kelas program pelatihan profesi yang ditawarkan, yaitu perancang web (web developer), operator komputer, desain grafis, dan teknik listrik. Pegawai negeri sipil (PNS) menjadi instruktur dalam semua program pelatihan ini.
”Selasa pagi ini, kami membagikan brosur program pelatihan, menawarkan program pelatihan peningkatan keahlian mereka,” kata Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Jakarta Utara Siti Nurbaiti dalam pernyataan tertulis yang dirilis Selasa (19/11/2019).
Soalnya kami yang sudah tua ini dulu sekolahnya sampai SD doang. Tradisi kita itu, ya, berusaha dengan buka lapak dan jual barang bekas. Kerja lain enggak bisa. Program pelatihan itu tidak masuk akal. (Tia)
Dia menjelaskan, setiap kelas program keahlian digelar selama 15 hari kerja tanpa batas minimal peserta. Diharapkan, setelah pelatihan warga dapat menjadi wirausaha sesuai keahlian yang diberikan.
Wali Kota Jakarta Utara Sigit Wijatmoko menambahkan, Pemkot Jakarta Utara telah menyediakan posko terpadu di Jalan Agung Perkasa VIII. Warga dapat mendaftarkan diri untuk ikut serta dalam program pelatihan yang ditawarkan. Ia juga mengimbau kepada warga yang sebelumnya bermukim dan menjalankan usahanya di sepanjang Jalan Agung Perkasa VIII untuk bisa menerima program pemerintah agar kawasan itu bisa ditata dan saluran air diperbaiki.
”Puluhan bangunan liar yang berdiri di atas trase saluran itu mengakibatkan Jalan Agung Perkasa VIII kerap tergenang karena saluran menyempit sehingga aliran air tidak berjalan dengan maksimal,” kata Sigit.
Tidak masuk akal
Beberapa warga Jalan Agung Perkasa VIII mengaku telah menerima brosur program pelatihan profesi yang ditawarkan pemerintah. Namun, untuk sementara, mereka menolak untuk ikut serta karena menganggap program itu tidak sesuai dengan kemampuan mereka.
”Soalnya kami yang sudah tua ini dulu sekolahnya sampai SD doang. Tradisi kita itu ya berusaha dengan buka lapak dan jual barang bekas. Kerja lain enggak bisa. Program pelatihan itu tidak masuk akal, kecuali kalau untuk yang muda-muda,” kata Tia (47), warga asal Jawa Timur yang tinggal di sana sejak 1980-an.
Sejak rumahnya dibongkar pada Kamis pekan lalu, ia beserta keluarganya tinggal, tidur, dan makan di luar, tepatnya di depan lokasi tempat tinggalnya yang sudah dirobohkan. Untuk mandi, ia menumpang di rumah warga lain.
Bagi Syukron (37), warga asal Madura, program pelatihan pemerintah yang hanya berlangsung selama 15 hari tidak cukup untuk mempelajari keahlian baru. ”Kami sudah puluhan tahun buka usaha sendiri. Program pemerintah tidak sesuai dengan profesi kami,” ujarnya.
Profesi Syukron sebagai pedagang barang bekas memungkinkan dia untuk menyekolahkan anaknya dan mengirim sebagian uang ke kampung halamannya. ”Makanya kami ngotot tidak mau direlokasi. Kami berharap pemerintah memberikan pembinaan bagaimana mengelola tempat tinggal secara lebih baik,” tambahnya.
Ia mengakui bahwa tempat tinggal sebagian besar warga di sana tidak memiliki izin. Sebagai kompensasi, ia bersedia membayar ratusan ribu rupiah per bulan kepada pemerintah sebagai biaya sewa lahan.
”Lebih baik seperti itu daripada menyewa di rusun. Kami tidak bisa berdagang di sana. Lebih baik pemerintah bangun tempat tinggal layak di Jalan Agung Perkasa VIII dan kami ditagih setiap bulan. Ekonominya bisa berputar,” ujar Syukron.