Jumlah sumur minyak bertambah di Kabupaten Batanghari, tetapi produksinya menurun. Penambangan ilegal bertambah dan leluasa hingga kabupaten lain tanpa penegakan hukum.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS— Tambang minyak ilegal tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam kesehatan warga, termasuk penambang itu sendiri. Di Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi, negara kehilangan potensi pendapatan Rp 2,5 miliar hingga Rp 3 miliar per hari akibat masifnya tambang minyak ilegal di wilayah itu.
Kehilangan potensi pendapatan itu akibat turunnya produksi minyak mentah. Itu disebabkan maraknya tambang ilegal di Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) PT Pertamina (Persero), yang produksinya dikerjakan PT Prakarsa Betung Meruo Senami (PBMS). Kondisi di lapangan saat ini juga susah membuka sumur baru. Dari target membuka tujuh sumur sepanjang 2018-2019, pembebasan tanah baru dapat dilakukan di dua titik sumur.
”Pada lokasi lima titik sumur lainnya sulit dilakukan karena sudah digerogoti aktivitas petambang liar,” kata Pertamina EP Asset 1 Government and PR Assistant Manager Andrew, dihubungi Senin (18/11/2019). Sebelumnya, produksi minyak mentah di sana 1.150 barel, kini hanya 850 barel. Tidak hanya dalam WKP, praktik tambang liar marak di luar WKP di wilayah Kecamatan Bajubang.
Bisa dibayangkan besarnya potensi pendapatan negara yang hilang akibat praktik liar dua tahun terakhir.
Head of Safety and Security Environment PT PBMS Hendri mengatakan, enam bulan terakhir terdata 2.300 sumur ilegal, baik aktif maupun tidak aktif. Tahun lalu, jumlah sumur masih 1.500-an, produksi minyak 10 barel per sumur.
Jumlah sumur makin banyak, tetapi produksi menurun. Jika dirata-rata, potensi 4.000 barel hilang setiap hari. Dengan harga minyak 55-60 dollar AS per barel, pendapatan hilang minimal Rp 2,5 miliar hingga Rp 3 miliar per hari. ”Bisa dibayangkan besarnya potensi pendapatan negara yang hilang akibat praktik liar dua tahun terakhir,” kata Hendri. Penindakan kolaboratif dan tegas didesakkan agar tak semakin besar potensi kerugian.
Kepala Bidang Energi Terbarukan dan Tidak Terbarukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jambi Zulfahmi mengatakan, potensi kerugian negara diperkirakan jauh lebih besar. Apalagi, aktivitas liar itu terus meluas ke kabupaten-kabupaten sekitarnya. Tambang liar meluas hingga wilayah Kabupaten Sarolangun dan Musi Banyuasin, perbatasan Jambi-Sumsel. Tak hanya dalam kawasan hutan, pembukaan sumur liar marak di kebun-kebun karet rakyat.
Ketegasan
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari, Parlaungan mengatakan, praktik tambang liar terus merambah kawasan Taman Hutan Raya Sultan Thaha Syaifuddin alias Tahura Senami di Bajubang. Awal tahun ini luasnya 50-100 hektar, kini 250-an hektar.
Pihaknya mendorong ada penindakan tegas dan solusi terpadu bagi petambang di sana. Jumlah penambang di Tahura itu diperkirakan lebih dari 6.000 orang. Sebagian pendatang dari Sumatera Selatan, Lampung, dan daerah di Jawa. Sebagian lain juga warga lokal. Perihal masifnya praktik itu, kata Zulfahmi, pemerintah daerah telah mengupayakan antisipasi dengan membentuk tim terpadu. Namun, diakuinya, sejauh ini upaya yang berjalan sebatas sosialisasi.
Gubernur Jambi Fachrori Umar mengharapkan dukungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam mengatasi persoalan kehutanan di wilayahnya. Pihaknya mengapresiasi konsultasi teknis pemerintah daerah dengan KLHK, Jumat pekan lalu.
Saat ini, 844.647 hektar lahan kritis di Jambi membutuhkan pemulihan, termasuk di antaranya kawasan tahura yang menjadi lokasi tambang ilegal dan kerap mengalami kebakaran lahan. Pemprov Jambi ingin memulihkan, tetapi sejauh ini anggaran pemeliharaan belum tersedia.