Teheran menuding sanksi yang dikenakan Washington penyebab kemerosotan ekonomi Iran. Kondisi perekonomian yang memburuk telah memicu unjuk rasa di berbagai penjuru Iran.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
TEHERAN, SENIN— Unjuk rasa di Iran menjadi pemicu terbaru perselisihan negara itu dengan Amerika Serikat. Teheran marah kepada Washington yang mendukung unjuk rasa hingga berujung kericuhan di Iran.
Dukungan Washington di- tunjukkan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Pejabat Urusan Media di Gedung Putih Stephanie Grisham. Pompeo dan Grisham menyatakan AS bersama pengunjuk rasa di Iran. Bahkan, Grisham menuding Teheran menggunakan kekuatan mematikan dalam menghadapi unjuk rasa.
”Kami mengecam penggunaan kekuatan mematikan dan pembatasan komunikasi yang amat parah dalam menghadapi unjuk rasa,” ujar Grisham, Minggu (17/11/2019) sore waktu Washington atau Senin dini hari WIB.
Dukungan dan kecaman itu dibalas juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Abbas Mousavi. Ia menyebut AS mendukung para perusuh dan mencampuri urusan dalam negeri Iran. ”Masyarakat Iran yang berdaulat amat paham pernyataan munafik yang tidak menunjukkan simpati apa pun. Tindakan para perusuh yang didukung (Pompeo) tidak sesuai dengan kebajikan warga Iran,” ujar Mousavi.
Mousavi juga menyoroti sanksi yang terus dikenakan AS terhadap Iran. Rangkaian sanksi diterapkan setelah AS mundur dari kesepakatan nuklir bernama Rencana Aksi Komprehensif Bersama (Joint Comprehensive Plan of Action/ JCPOA) yang disepakati pada 2015. AS mundur dari perjanjian pada Mei 2018. JCPOA mengatur pencabutan sanksi internasional terhadap Iran. ”Mencurigakan bahwa simpati itu ditunjukkan kepada orang yang tertekan oleh terorisme ekonomi Amerika,” ujarnya.
Presiden Iran Hassan Rouhani menyebut, Iran membutuhkan dana untuk menyediakan tunjangan dan layanan bagi 60 juta warga kurang mampu. Sumber dana yang diharapkan itu berasal dari ekspor minyak. Atau pilihan lain adalah dengan menaikkan harga bahan bakar minyak di dalam negeri.
Rangkaian sanksi AS membuat Iran kesulitan mengekspor minyak. Karena itu, Iran menaikkan harga BBM sejak Jumat lalu. Harga bensin naik 50 persen menjadi setara Rp 1.820 per liter untuk pembelian hingga 60 liter pertama. Untuk pembelian 61 liter atau lebih, harganya dinaikkan 300 persen. Dari kenaikan itu, Teheran berharap bisa mengumpulkan 2,55 miliar dollar AS per tahun.
Kenaikan harga BBM di tengah kesulitan perekonomian memicu unjuk rasa yang berujung kerusuhan. ”Unjuk rasa adalah hak. Walakin, protes berbeda dengan merusuh. Kami tidak boleh membiarkan kekacauan di masyarakat,” ujarnya.
Sejauh ini, sedikitnya 40 orang di Yazd dan 180 orang di Kuzestan ditangkap. Mereka dituding terlibat kericuhan.
Protes di Iran menambah daftar unjuk rasa yang dipicu kemerosotan ekonomi di kawasan Timur Tengah. Selain di Iran, unjuk rasa sudah lama meletus di Irak dan Lebanon.
Demo di Irak
Di Irak, pengunjuk rasa kembali menutup jalan ke Pelabuhan Umm Qasr, Basra. Penutupan pelabuhan itu membuat separuh aktivitasnya terhenti. Pelabuhan itu penting karena menjadi pintu masuk utama impor gandum, minyak nabati, dan gula.
Bukan kali ini saja pelabuhan itu ditutup. Pada 29 Oktober-
9 November 2019, pengunjuk rasa juga menutup jalan ke pelabuhan itu. Akibatnya, Irak harus menanggung kerugian setara 1 miliar dollar AS per hari. Kini, setelah sepekan kembali beroperasi, pelabuhan itu kembali ditutup pengunjuk rasa.
Belum ada tanda-tanda unjuk rasa akan reda. Tuntutan pengunjuk rasa untuk merombak struktur politik sulit dipenuhi. Dalam bocoran dokumen yang diterima dua media AS, The New York Times dan The Intercept, terungkap hubungan erat para politisi dan pejabat Irak dengan Iran. Dokumen 700 halaman itu dinyatakan hasil sadapan Kementerian Intelijen Iran dan diberikan sumber tidak dikenal.
Perdana Menteri Irak Adel Abdul Mahdi disebut berhubungan erat dengan Iran sejak menjadi Menteri Perminyakan pada 2014. Mantan PM Irak Haider al-Abadi dan Ibrahim al-Jafari serta mantan Ketua DPR Irak Salim al-Jabouri pun demikian.