Penerapan Standar Nasional Indonesia sebagai salah satu sistem manajemen antisuap perlu menjadi kewajiban pengusaha dan lembaga. Hal itu akan mendorong adanya perbaikan dalam praktik antisuap di Tanah Air.
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan Standar Nasional Indonesia sebagai salah satu sistem manajemen antisuap hingga kini masih bersifat sukarela dan belum menjadi kewajiban pengusaha dan lembaga. Kondisi ini menjadi salah satu faktor lambannya pemberantasan praktik suap.
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi Pahala Nainggolan menuturkan, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mengadopsi International Organization for Standardization (ISO) 37001 baru dimulai.
”Seharusnya ada regulasi yang mewajibkan (setiap perusahaan menerapkan SNI ISO 37001) atau setidaknya pasar didorong supaya menekan. Misalnya, yang boleh ikut tender pemerintah hanya perusahaan yang punya bukti telah melakukan manajemen antisuap,” kata Pahala, Senin (18/11/2019) di Jakarta.
Indeks risiko penyuapan dalam berbisnis yang dirilis TRACE International pada November 2019 menempatkan Indonesia di peringkat ke-90 dari 200 negara. Dalam lima tahun terakhir, skor indeks penyuapan Indonesia relatif stagnan.
Stagnasi juga terjadi di indeks lainnya, seperti Indeks Negara Hukum yang dirilis World Justice Project (WJP). Skor Indeks Negara Hukum Indonesia tahun 2019, yang meliputi pengukuran atas variabel ketiadaan korupsi berada di posisi ke-62 dari 126 negara. (Kompas, 18/11/2019)
Sistem Kewajiban untuk menerapkan SNI ISO 37001 kini menjadi salah satu kebutuhan untuk mendorong adanya sistem antisuap di lembaga.
Penerapan SNI itu juga menjadi semakin penting, kata Pahala, karena pemerintah pusat ataupun daerah belum seluruhnya terintegrasi dengan online single submission atau sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik. Padahal, sistem ini juga penting mendukung transparansi.
Di saat yang sama, menurut Pahala, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah juga perlu direvisi. Ini karena perpres tersebut justru dapat membuka celah suap. ”Kami mau surati Presiden untuk revisi perpres,” ujarnya.
Data Badan Standardisasi Nasional hingga Desember 2018 baru ada 72 organisasi yang menerapkan sistem manajemen antisuap. Beberapa di antaranya ialah Badan Narkotika Nasional, Badan Pemeriksa Keuangan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, dan Badan Karantina Pertanian.
”Omnibus law”
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B Sukamdani menyatakan, suap terjadi karena banyak kepentingan dari para pihak. Suap bisa muncul dari pengusaha ataupun pemerintah. Kata kuncinya ada di regulasi. Jika regulasinya dibuat dengan prosedur benar, yakni diukur juga dampak ekonomi dan sosialnya, peluang ”permainan” korupsi bisa dieliminasi. Omnibus law, kata Haryadi, menjadi salah satu solusi untuk membuat regulasi semakin jelas dan tidak berbelit.
Secara terpisah, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, sistem antisuap yang dibangun dalam pelayanan publik akhirnya kembali pada integritas dan kualitas manusianya.
”Sistem seketat apa pun, pengelolanya adalah manusia. Akan tetapi, bagaimana risiko suap itu bisa diminimalisasi, yakni dengan menciptakan regulasi atau mekanisme pelayanan yang membatasi pertemuan antara pencari keadilan dan penegak hukum,” katanya.
Kita punya lembaga pengawasan, tetapi kewenangannya perlu diformulasikan agar lebih efektif.
Deputi Direktur Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengatakan, penanganan suap di kalangan institusi penegak hukum tak kalah pentingnya dengan penanganan di lingkungan privat atau perusahaan swasta. Institusi penegak hukum yang bersih dari pungutan liar dan suap akan memperbaiki kepercayaan publik dalam akses dan pencarian keadilan.
”Indonesia sebenarnya berupaya membangun sistem antisuap dalam penegakan hukum dan peradilan. Komisi independen yang dibentuk untuk mengawasi penegak hukum, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Kepolisian Nasional, bisa menjadi saluran pengaduan masyarakat yang mengalami pungli atau suap. Peran serupa juga dimiliki Ombudsman RI,” tuturnya.
Masalahnya, kata Erwin, lembaga-lembaga pengawasan itu belum sepenuhnya efektif menciptakan keseimbangan pelayanan publik oleh institusi penegak hukum dan peradilan. Laporan masyarakat belum optimal ditindaklanjuti dan diumumkan transparan.
”Kita punya lembaga pengawasan, tetapi kewenangannya perlu diformulasikan agar lebih efektif. Dengan sistem pengawasan sekarang, memang ada lembaganya, tetapi pengawasan seperti tidak ada,” ujarnya.