40 Tahun Pasca-serangan di Mekkah, Arab Saudi Makin Memperkokoh Visi Barunya
Penyerangan itu dipersiapkan jauh-jauh hari. Para pengikut Utaibi menyelundupkan senjata lewat tong dan drum ke Masjidil Haram. Setelah semua senjata, Utaibi dan para pengikutnya menyerbu. Sedikitnya 250 orang tewas.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Sejarah modern Arab Saudi mencatat 20 November 1979 sebagai salah satu hari terkelam. Tepat 40 tahun lalu, kelompok militan Arab Saudi yang dipimpin Juhaiman al-Utaibi melakukan tindakan yang tidak sanggup dibayangkan banyak Muslim: menyerbu dan menduduki Masjidil Haram di Mekkah, Arab Saudi. Bagi umat Muslim, Masjidil Haram merupakan satu dari tiga masjid suci, selain Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi, dan Masjidil Aqsa di Palestina.
Wartawan The Wall Street Journal, Yaroslav Trofimov, menulis dalam bukunya, The Siege of Mecca (terjemahan edisi bahasa Indonesia: Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak), peristiwa tersebut menjadi catatan penting dalam sejarah modern. ”Kisah pengambilalihan Mekkah sesungguhnya merupakan latar dari segala pemahaman kita tentang Al Qaeda. Akar peristiwa yang mendorong kita sanggup memahami kejadian saat ini di Irak, Afghanistan, dan lainnya," tulis Trofimov.
Dalam laporan khususnya untuk mengenang serangan ke Masjidil Haram di Mekkah tahun 1979 itu, media Arab Saudi, Arab News, menyebut peristiwa tersebut sebagai ”peristiwa yang tak terpikirkan (bisa terjadi), yang mengguncang dunia Muslim, dan membayang-bayangi masyarakat Arab Saudi selama beberapa dekade”.
Serangan itu dilakukan kala Masjidil Haram dipadati jemaah haji dari banyak negara, termasuk Indonesia. Sheikh Mohammed al-Subayil baru selesai mengimami shalat Subuh di Masjidil Haram pada hari kelam itu. Selepas shalat, Utaibi dan pengikutnya menyerbu Masjidil Haram. Sedikitnya 250 orang, termasuk sebagian pengikut Utaibi, tewas dalam insiden yang berlangsung selama dua pekan tersebut.
”Saya tidak mencium sesuatu yang buruk (bakal terjadi), tetapi ketika saya berdoa saya melihat puluhan pria bersenjata datang ke arah Kabah,” kenang Sheikh Mohammed al-Subayil dalam wawancara pada tahun 2012, tak lama sebelum ia meninggal, seperti dikutip Arab News.
Penyerangan itu dipersiapkan jauh-jauh hari. Para pengikut Utaibi menyelundupkan senjata lewat tong dan drum ke dalam Masjidil Haram. Setelah semua senjata dan amunisi tersimpan di berbagai penjuru Masjidil Haram, Utaibi dan pengikutnya menyerbu.
”Mereka ingin membebaskan Masjid Agung (Masjidil Haram) dari penguasa murtad dan membebaskan Muslim untuk menyambut Imam Mahdi,” kata Pangeran Turki Al-Faisal, Direktur Intelijen Arab Saudi kala peristiwa itu terjadi, kepada Arab News.
Penyerangan itu dipersiapkan jauh-jauh hari. Para pengikut Utaibi menyelundupkan senjata lewat tong dan drum ke dalam Masjidil Haram.
Penguasa murtad yang dimaksud Utaibi adalah keluarga Saud yang memimpin Arab Saudi sampai sekarang. Sebutan itu tetap dipertahankan meski guru mereka, Abdul Aziz bin Baz, bekerja untuk keluarga kerajaan di Riyadh. Para bawahan Faisal pernah menangkap dan menahan sejumlah pengikut Utaibi. Walakin, mereka dibebaskan atas permintaan Abdul Aziz bin Baz, mufti agung Arab Saudi periode 1993-1999.
Dalam buku Inside the Kingdom: Kings, Clerics, Modernists, Terrorists, and the Struggle for Saudi Arabia, yang ditulis Robert Lacey, kelompok Utaibi disebut sebagai Neo-Salafi. Kelompok itu merupakan salah satu pihak yang menganggap Arab Saudi tidak lagi islami dan harus diperbaiki.
Kelompok lain adalah Sahwa yang banyak dimotori para aktivis Ikhwanul Muslimin (IM). IM, yang belakangan disebut Riyadh sebagai teroris itu, memang pernah diterima di Arab Saudi. Lacey menulis, Sahwa memadukan pandangan Wahabi, yang pengajarannya antara lain diteruskan Abdul Aziz bin Baz, untuk soal agama dan IM untuk soal politik.
Perombakan
Selepas penyerangan itu, Riyadh melakukan sejumlah perombakan. Kelompok Sahwa dan Utaibi dinilai sebagai hasil penyimpangan praktik beragama. Karena itu, Riyadh mengeluarkan dekrit memperkuat polisi syariah yang resminya bernama Komisi Penganjur Kebaikan dan Pencegahan Kejahatan (CPVPV).
Dengan kekuatan berdasar dekrit kerajaan, polisi syariah melakukan berbagai hal yang dinilai untuk menjaga kemurnian agama. Mereka menghancurkan alat musik, menyerbu salon-salon kecantikan, mencukur kepala, hingga memburu orang yang dianggap melanggar syariat.
Setelah puluhan tahun, Riyadh merasa cara itu pun salah. Sebab, Arab Saudi malah terkesan semakin keras dan kaku. Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed Bin Salman mengatakan, karakter asli negaranya tidak seperti itu.
Pada 2018, Menteri Pendidikan Arab Saudi Ahmed bin Mohammed al-Isa mengumumkan perombakan kurikulum pendidikan. Perombakan itu, antara lain, bertujuan mendorong pemahaman lebih lunak atas Islam. ”Perombakan juga untuk melawan ideologi ekstremis,” ujarnya.
Ideologi yang dimaksud adalah pemahaman IM. Segala hal terkait IM dilarang di seluruh sistem pendidikan Arab Saudi. ”Melarang seluruhnya dari buku sekolah dan univesitas, mencopot simpatisan kelompok itu dari jabatannya,” ujarnya.
Pangeran Mohammed bin Salman mengatakan, sekolah-sekolah Arab Saudi diserbu dan dibajak IM. Ia juga menyebut, kurikulum lama tidak mendukung anak muda Arab Saudi bersaing di era baru. Perombakan dibutuhkan untuk mendukung visi baru Arab Saudi yang lebih terbuka untuk semua.
Dengan pemahaman lebih lunak tentang Islam yang diajarkan lewat sekolah di Arab Saudi, diharapkan tidak ada lagi Utaibi baru. Tidak ada lagi penyerangan terhadap Masjidil Haram. (REUTERS)