”Meneer” Panggungkan Bahasa Lokal, ”Katong” Justru Tinggalkan
Niels Brouwer dan Monica Akihary, musisi grup Boi Akih asal Amsterdam, Belanda, mengingatkan pentingnya merawat bahasa daerah di Maluku. Mereka menggunakan bahasa Haruku di Maluku dalam komposisi lagu sejak 1997.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Niels Brouwer dan Monica Akihary, musisi grup Boi Akih asal Amsterdam, Belanda, mengingatkan pentingnya merawat bahasa daerah di Maluku. Niels, gitaris sekaligus komposer dan Monica, penyanyi, menjadikan bahasa daerah Maluku sebagai lirik dalam produksi lagu yang mereka kenalkan ke puluhan negara di dunia sejak 1997.
Saat ditemui Kompas di Desa Tuni, Rabu (20/11/2019), keduanya menunjukkan dua buku berisi kamus dan puisi yang ditulis dalam bahasa Haruku. Kamus itu disusun oleh Margaret Florey pada tahun 2003, sedangkan kumpulan puisi ditulis Van Hoevell pada September 1876. Dua buku itu dibawa dari Belanda.
Bahasa Haruku merupakan bahasa daerah yang berasal dari Pulau Haruku, pulau di seberang Pulau Ambon. Di banyak desa di Pulau Haruku, bahasa tersebut tidak digunakan lagi. Di Desa Haruku, misalnya, jumlah pengguna bahasa daerah bisa dihitung jari. Masyarakat lebih sering menggunakan bahasa melayu berdialeg Ambon yang bukan bahasa daerah di Maluku.
Monica sendiri adalah warga Belanda keturunan Haruku. Kakeknya adalah mantan tentara Belanda yang pernah bertugas di Maluku. ”Saya belajar bahasa tanah (sebutan bahasa daerah) dari keluarga dan membaca buku. Saya buatkan dalam bentuk lagu. Sementara di sini banyak orang tidak tau bahasa tanah,” kata Monica, yang juga fasih berbahasa Melayu dialeg Ambon.
Niels berpesan, pihak perguruan tinggi harus mengambil langkah cepat dalam mencetak pendidik bahasa daerah. ”Mengapa perguruan tinggi lebih senang mengajarkan bahasa asing, tetapi bahasa tanah yang merupakan identitas lokal tidak diajarkan?” ujar pria keturunan Belanda lulusan musik jazz pada Conservatium van Amsterdam tahun 1992 ini.
Dua pekan lalu, Monica dan Niels tampil dalam kolaborasi bersama grup suling bambu Molucca Bamboo Wind Orchestra dari Ambon, teater Delta Dua dari Belanda, dan puisi oleh sastrawan Maluku Josep Matheus Rudolf Fofid di Ihuroang Amphiteater, Desa Tuni, Kota Ambon. Monica menyanyikan lagu berbahasa Haruku. Hampir semua penonton tidak mengerti lirik lagu itu. Sungguh ironis.
Kantor Bahasa Maluku telah mengindentifikasi terdapat 61 bahasa daerah di Maluku. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen mengalami kemunduran, terancam punah, dan bahkan ada yang dinyatakan sudah punah. Kondisi tersebut dianggap dapat mengoyak tatanan budaya lokal sebab bahasa merupakan rahim dari sebuah kebudayaan, bukan sekadar alat komunikasi.
Bahasa daerah yang dikategorikan aman kebanyakan tersebar di wilayah bagian tenggara Maluku, seperti Kepulauan Aru, Kepulauan Kei, Kepulauan Tanimbar, dan Maluku Barat Daya. Wilayah lain yang juga masuk kategori aman adalah pedalaman Pulau Buru dan pedalaman Pulau Seram.
Sementara itu, bahasa daerah yang sudah punah adalah Kayeli, Palumata, Moksela, dan Hukumina di Pulau Buru, kemudian Piru di Seram barat, dan Loun di Seram bagian utara.
Secara terpisah, Kepala Kantor Bahasa Maluku Asrif berpendapat, institusi pendidikan tidak melihat ancaman kepunahan bahasa daerah sebagai sesuatu hal yang serius. Padahal, bahasa daerah merupakan rahim budaya. Hilangnya bahasa daerah secara otomatis mengoyak budaya. ”Bayangkan kalau ritual adat tidak lagi menggunakan bahasa daerah, seperti apa tingkat kesakralannya,” ujarnya.
Senada dengan itu, Patris Rahabav, pemerhati sastra dan budaya dari Universitas Pattimura (Unpatti), Ambon, mengatakan, belum ada satu pun kampus di Maluku yang mengajarkan sastra bahasa daerah. Unpatti pernah mewacanakan pendirian program studi tersebut. ”Sampai sekarang, wacana itu menghilang,” ujar mantan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unpatti itu.
Menurut Patris, perguruan tinggi harus memulai hal itu. Jika tidak, laju kepunahan bahasa daerah akan semakin cepat. Kampus sebagai benteng ilmu pengetahuan harus berkontribusi menyelamatkan kondisi ini.
Sementara itu, Rektor Unpatti MJ Sapteno yang dihubungi terkait wacana pendirian program studi bahasa daerah itu belum juga menjawab pertanyaan Kompas.
Di Maluku terdapat beberapa perguruan tinggi negeri, yakni Universitas Pattimura, Institut Agama Islam Negeri Ambon, dan Institut Agama Kristen Negeri Ambon. Dari seluruh perguruan tinggi tersebut, program studi kebahasaan atau sastra yang ditawarkan justru dari negara asing. Sekadar membandingkan, sejumlah perguruan tinggi di Pulau Jawa tetap menawarkan program studi bahasa lokal.
Pesan dari Monica dan Niels itu semacam peringatan keras akan ancaman kepunahan bahasa daerah.
Pesan dari Monica dan Niels itu semacam peringatan keras akan ancaman kepunahan bahasa daerah. Tokoh revolusioner Afrika Selatan, Nelson Mandela, pernah berkata lebih kurang begini, ”Jika Anda berbicara dengan seseorang menggunakan bahasa yang ia mengerti, kata-kata Anda akan masuk ke dalam kepala. Namun, jika Anda berbicara dengan bahasa dia sendiri, kata-kata Anda akan masuk ke dalam hatinya.”
Berharap, sentilan Monica dan Niels masuk ke kepala dan hati para pemangku kepentingan di Maluku. Jangan sampai katong atau kita meninggalkan bahasa sendiri saat orang lain ikut melestarikan.