Berdasarkan data BP Statistical Review 2018, yang dikutip Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan terbukti minyak mentah Indonesia sekitar 3,2 miliar barel.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Berapa cadangan terbukti minyak mentah Indonesia? Berdasarkan data BP Statistical Review 2018, yang dikutip Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan terbukti minyak mentah Indonesia sekitar 3,2 miliar barel. Jangan girang dulu karena angka miliaran. Sebab, Indonesia butuh 1,5 juta barel setiap hari.
Dengan kemampuan produksi siap jual (lifting) minyak 800.000 barel per hari, cadangan 3,2 miliar barel akan habis tak sampai 11 tahun.
Dengan catatan, jika sama sekali tak ditemukan cadangan baru. Dengan kemampuan lifting sebanyak itu, Indonesia masih perlu mengimpor minyak mentah untuk mencukupi kebutuhan 1,5 juta barel per hari tersebut.
Indonesia bukan (lagi) dan tak bisa disebut sebagai negara kaya minyak. Cadangan 3,2 miliar barel hanya 0,2 persen dari total cadangan terbukti minyak mentah negara-negara di seluruh dunia. Bahkan, sejak 2004, Indonesia berstatus sebagai negara pengimpor bersih minyak. Padahal, sebelumnya tercatat sebagai negara pengekspor dan menjadi anggota negara-negara pengekspor minyak atau OPEC.
Indonesia juga bukan Arab Saudi yang dikenal sebagai negara petro dollar. Negara yang urat nadi ekonominya dari menjual minyak ini punya cadangan terbukti minyak 267 miliar barel. Indonesia bukan pula Venezuela selaku pemilik cadangan terbukti terbesar di dunia, yakni 302 miliar barel, kendati ekonominya sedang terpuruk.
Angka 3,2 miliar barel tak berarti apa pun apabila ketergantungan terhadap minyak tak berubah. Mau mengandalkan impor? Tak masalah, sepanjang kondisi finansial negara kita kuat dan tak berdampak serta mampu menciptakan nilai tambah di dalam negeri.
Toh, negara-negara seperti Singapura, Korea Selatan, atau Jepang adalah negara pengimpor bersih minyak dan gas, tetapi menjelma menjadi negara makmur lantaran penciptaan nilai tambah di dalam negeri yang luar biasa. Sementara bagi Indonesia, impor migas justru menimbulkan defisit neraca perdagangan.
Respons
Seperti yang dikatakan Ketua Dewan Penasihat Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) Kuntoro Mangkusubroto, Indonesia pernah sangat bergantung pada minyak di era 1970-an. Kondisi ini membuat Indonesia lupa dan mengabaikan pengembangan sumber energi lain. Saat itu, devisa hasil penjualan minyak menjadi tulang punggung utama keuangan negara.
Pada saat produksi minyak merosot, sedangkan kebutuhan minyak terus naik, Indonesia diterpa defisit neraca perdagangan migas. Pemerintahan gagap menghadapi kondisi ini. Rencana-rencana untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak tak disiapkan sedemikian rupa.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Indonesia mematok target energi terbarukan 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025, yang naik menjadi 31 persen pada 2050. Faktanya, hingga kini, peran energi terbarukan masih sekitar 8 persen. Sejumlah kalangan meragukan target 23 persen pada 2025 bisa dipenuhi kendati secara teknis memungkinkan.
Padahal, Indonesia bukan negara yang miskin sumber daya energi terbarukan, seperti panas bumi (geotermal), bayu, surya, hidro, dan bahan bakar nabati. Khusus bahan bakar nabati, Indonesia di jalur yang tepat dengan program pencampuran biodiesel ke dalam solar kendati dampaknya tak terlalu signifikan bagi pengurangan impor migas.
Sebagian kalangan berpendapat, pengembangan energi terbarukan di Indonesia terhambat regulasi. Investor enggan menanamkan modal lantaran dukungan pemerintah berupa insentif atau kebijakan fiskal dirasa kurang. Harga jual energi terbarukan tak mampu bersaing dengan energi fosil yang diberi subsidi negara.
Ironis. Untuk energi yang dianggap menyumbang emisi dan tak bisa diperbarui, negara menyubsidi. Sebaliknya, untuk energi yang bersih, ramah lingkungan, dan berkelanjutan, negara belum mengucurkan subsidi. Pengembangan energi terbarukan di Indonesia bagai jalan di tempat.
Sebenarnya, seberapa serius niat pemerintah mengantisipasi cadangan minyak yang hanya 0,2 persen itu? (ARIS PRASETYO)