Penanganan kasus suap oleh kejaksaan dan kepolisian masih minim. Padahal, suap mengakar di segala jenis korupsi.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Pemberantasan korupsi di negeri ini perlu difokuskan dalam upaya memberantas praktik suap yang sudah mewabah di berbagai lini. Menindak korupsi tidak semestinya hanya untuk mengejar kerugian negara. Praktik suap juga penting untuk dihapuskan karena suap sebenarnya telah mengakar dalam segala jenis korupsi.
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Amien Sunaryadi mengatakan, memberantas korupsi artinya memberantas suap. Pemberantasan suap mesti diprioritaskan dalam ”mengobati penyakit” yang sudah mewabah di lapangan.
Berdasarkan data Anti-corruption Clearing House, dalam periode 2014-2018, penyuapan menjadi jenis perkara terbanyak yang ditangani KPK, yaitu 564 dari 887 perkara. Selain suap, KPK juga menangani perkara korupsi dalam pengadaan barang atau jasa (188 perkara) dan penyalahgunaan anggaran (46 perkara) (Kompas, 19/11/2019).
”Pengobataan yang dilakukan KPK dengan menindak suap itu sudah cocok dengan penyakit yang ada selama ini,” ujar Amien.
Berbeda dengan KPK, jajaran Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan lebih banyak mengejar kerugian negara daripada menangani kasus suap. Menurut Amien, hal ini terjadi karena adanya pola pikir di kalangan polisi dan jaksa bahwa korupsi adalah merugikan keuangan negara.
”Padahal, suap itu gampang dibuktikan kalau penegak hukumnya diajari dahulu soal modus suap. Misalnya, A memberikan suap kepada B, dan seusai pertemuan membuang coretan tawar-menawar ke tempat sampah. Penyidik seharusnya memiliki kemampuan untuk menemukan barang bukti itu, kemampuan penggeledahan yang dibutuhkan,” tuturnya.
Ragu
Sebelumnya, Direktur Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengusulkan agar penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagai salah satu sistem manajemen antisuap perlu diwajibkan untuk perusahaan dan lembaga. Selama ini, penerapan SNI yang mengadopsi International Organization for Standardization (ISO 37001 tentang manajemen antisuap masih bersifat sukarela (Kompas, 19/11/2019).
Amin yang pernah menjabat Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengatakan, penerapan ISO 370001 bisa menjadi langkah awal menghadapi risiko suap. ”Memang harus ada komitmen dari pimpinan tertinggi atau disebut setting tone from the top yang menyatakan kepada bawahan atau rekanan bisnisnya secara terbuka bahwa perusahaan menolak segala bentuk korupsi,” ujar Amien.
Direktur PT Integra Solusi Optima Roni I Maulana juga menyampaikan, perusahaan sebenarnya banyak yang ingin menerapkan SNI ISO 37001. Namun, masih ada keraguan bahwa proses bisnis nantinya terancam terganggu tanpa ada penyuapan.
Masih ada keraguan bahwa proses bisnis nantinya terancam terganggu tanpa ada penyuapan.
”Misalnya di pelabuhan, perusahaan mengeluarkan barang kemudian ada bea cukai yang di bawah Kementerian Keuangan, ada juga administrator perhubungan di bawah Kementerian Perhubungan. Mereka (pengusaha) bilang, jangan kita dahulu dong, tetapi pemerintahnya,” kata Roni.
Berdasarkan data Badan Standardisasi Nasional (BSN) Per Desember 2018, baru ada 72 organisasi yang menerapkan sistem manajemen antisuap. Beberapa di antaranya Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), SKK Migas, dan Badan Karantina Pertanian.
Secara terpisah, Peneliti Standardisasi dari BSN, Reza Lukiawan, menyatakan, memang SNI ISO 37001 tidak menjamin 100 persen menutup celah korupsi. Namun, setidaknya ada upaya mencegah dan mengendalikan lewat sertifikasi sistem manajemen antisuap.