Genjot Belanja di Akhir Tahun
Berbagai strategi dilakukan pemerintah di akhir tahun, termasuk menggenjot belanja, agar pertumbuhan ekonomi terjaga di atas 5 persen. Konsumsi masyarakat tak boleh merosot.
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dapat berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Belanja mesti terus digenjot untuk menopang laju perekonomian.
Di sisi lain, kebijakan yang bersifat kontraproduktif terhadap konsumsi masyarakat hendaknya dihindari.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, Selasa (19/11/2019), realisasi belanja negara per akhir Oktober 2019 sebesar Rp 1.797,97 triliun atau 73,1 persen dari pagu APBN 2019. Realisasi belanja itu hanya tumbuh 4,5 persen secara tahunan, padahal pada Oktober 2018 tumbuh 11,9 persen secara tahunan.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi RI triwulan III-2019 sebesar 5,02 persen. Dari angka pertumbuhan itu, konsumsi rumah tangga menyumbang 2,69 persen, sedangkan investasi 1,38 persen.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, pada kondisi banyak tekanan ekonomi, baik dari global maupun domestik seperti saat ini, pemerintah mestinya melonggarkan sisi moneter dan fiskal.
”Belanja jangan ditekan hanya karena penerimaan turun. Upaya menggali penerimaan jangan sampai pada cara-cara yang menjadikan dunia usaha lebih menahan produksi,” kata Faisal di Jakarta.
Ia menyebutkan, belanja negara mesti tetap didorong untuk memperbaiki kondisi perekonomian. Pada saat kondisi perekonomian sudah membaik, pajak bisa dikejar lagi untuk mengurangi defisit anggaran.
Per akhir Oktober 2019, defisit APBN sebesar Rp 289,06 triliun atau sekitar 1,79 persen produk domestik bruto (PDB). Sementara realisasi penerimaan pajak Rp 1.018,47 triliun atau 64,56 persen dari target APBN 2019.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, penyerapan anggaran belanja terus ditingkatkan untuk menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan pemerintah sebagai penopang perekonomian. Realisasi belanja pemerintah pusat tahun ini diupayakan 98 persen dari target APBN.
”Pada intinya, kebijakan belanja untuk memacu perekonomian, tetapi efisiensi tetap dilakukan sejalan dengan pendapatan pajak yang lesu,” kata Askolani.
Dalam APBN 2019, belanja negara Rp 2.461 triliun, sedangkan pendapatan negara Rp 2.165 triliun.
Dalam dua bulan mendatang, pemerintah akan menggenjot penyerapan belanja modal, barang, dan bantuan sosial. Sampai dengan akhir Oktober 2019, realisasi belanja modal Rp 100,8 triliun atau 53,2 persen dari pagu, belanja barang Rp 236,5 triliun (68,6 persen), dan bantuan sosial Rp 91,7 triliun (94,5 persen).
Askolani menambahkan, realisasi belanja modal diupayakan 90 persen pada 2019. Penyerapan belanja modal akan meningkat karena sebagian besar kegiatan fisiknya sudah dilakukan. Pencairan anggaran tinggal menunggu dokumentasi dan pelaporan selesai. Realisasi belanja modal bisa lebih tinggi 1-2 persen dari tahun 2018.
”Peningkatan serapan dibarengi penghematan belanja modal dari pelaksanaan lelang dan proyek yang sifatnya tahun ganda,” jelasnya. Berdasarkan kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), setiap 1 persen kenaikan belanja kementerian/lembaga memiliki andil terhadap pertumbuhan ekonomi 0,06 persen.
Faisal menambahkan, penciptaan lapangan kerja melalui belanja pemerintah maupun investasi mesti dimaksimalkan. Dengan cara itu, konsumsi masyarakat akan terjaga sehingga masih bisa menopang pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, melihat kondisi terkini, Faisal memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI sepanjang 2019 tidak akan mencapai target 5,3 persen. Ia memperkirakan, perekonomian RI pada 2019 tumbuh pada kisaran 5-5,05 persen.
Bantuan sosial
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Maxensius Tri Sambodo, menyarankan, dalam 1,5 bulan menjelang akhir tahun ini, penyerapan anggaran pemerintah pusat dan daerah bisa didorong untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Bantuan sosial yang masih ada juga bisa dituntaskan untuk mendorong konsumsi masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan Askolani, pemerintah berupaya menjaga daya beli kelompok masyarakat miskin dengan cara mendorong realisasi bantuan sosial hingga 100 persen, yakni Rp 97,1 triliun. Bantuan sosial meliputi program keluarga harapan, penerima bantuan iuran Jaminan Kesehatan Nasional, bantuan pangan nontunai, dan penanggulangan bencana.
”Strategi belanja dioptimalkan untuk menjaga pertumbuhan konsumsi rumah tangga tetap di atas 5 persen dalam kondisi pelambatan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Perekonomian Indonesia diproyeksi tumbuh 5 persen pada 2019 oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Adapun Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memproyeksikan 5,2 persen dan Bank Pembangunan Asia memproyeksikan 5,1 persen.
UMKM
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah berupaya mendukung pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam meningkatkan kontribusi terhadap perekonomian.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, saat berkunjung ke Kompas, Selasa, menyebutkan, salah satu caranya adalah dengan meningkatkan peran produk UMKM terhadap kinerja ekspor. Ia mengakui ditugaskan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kontribusi UMKM terhadap ekspor dari 14 persen menjadi 50 persen pada 2024.
Sebelumnya, Teten menuturkan, arah kebijakan pengembangan UMKM melalui pendekatan komunitas, kluster, berdasarkan sentra produksi, komoditas, atau wilayah.
”Dengan demikian pembiayaan dan pembinaan dilakukan lebih masif. Pemerintah juga akan menggunakan pendekatan variatif karena kebutuhan pelaku UMKM di masing-masing skala atau level usaha berbeda,” ujar Teten.
Berdasarkan data Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo), UMKM menyerap 95 persen tenaga kerja dan menyumbang sekitar 64 persen terhadap PDB Indonesia. Berdasarkan data BPS, PDB Indonesia per akhir 2018 sebesar Rp 14.837 triliun.
Meski demikian, untuk meningkatkan peran UMKM, pemerintah memerlukan data yang lebih rinci. Menurut Ketua Umum Komite Pengusaha Mikro Kecil Menengah Indonesia Bersatu Yoyok Pitoyo, Indonesia kebutuhan data yang rinci itu berdasarkan pengalamannya melihat data UMKM yang tumpang tindih antara kementerian/lembaga.