Negara-negara Eropa turut menghadapi ancaman meluasnya paham radikalisme dan ekstremisme, termasuk Denmark. Indonesia dan Denmark bisa saling belajar mengenai upaya pencegahan dan penanganan masalah tersebut.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara Eropa turut menghadapi ancaman meluasnya paham radikalisme dan ekstremisme, termasuk Denmark. Indonesia dan Denmark bisa saling belajar mengenai upaya pencegahan dan penanganan masalah tersebut.
Duta Besar Denmark untuk Indonesia Rasmus Abildgaard Kristensen mengatakan, dibandingkan dengan negara Eropa Barat lainnya, Denmark menjadi negara dengan warga paling banyak bergabung menjadi militan asing di Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Tercatat, sekitar 250 orang telah berangkat sejak 2012.
”Sebagai akibat, kami dituntut untuk mengeksplorasi sistem baru untuk mencegah ekstremisme. Sistem baru ini bertujuan untuk menciptakan rasa percaya antara otoritas dan lingkungan sosial serta membantu para radikal kembali ke masyarakat,” kata Kristensen dalam ”Countering and Preventing Violent Extremism and Radicalization-A Danish Perspective” di Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Kristensen melanjutkan, Denmark dan Indonesia memiliki tantangan yang sama. Oleh karena itu, penting agar kedua negara berbagi pengalaman dan pandangan dalam menangani isu ekstremisme dan radikalisme.
Direktur Pusat Denmark untuk Pencegahan Ekstremisme Karin Ingemann mengatakan, Denmark menggunakan pendekatan multi-agensi dalam menangani isu ekstremisme dan radikalisme. Jaringan yang dibentuk melibatkan, antara lain, berbagai dinas yang menyediakan lapangan pekerjaan, layanan sosial untuk anak, layanan psikiatri untuk dewasa, penjara nasional, dan kepolisian.
Di setiap kotamadya, Denmark memiliki info-house atau sebuah kerangka kerja sama antara polisi dan layanan sosial untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang terpapar radikalisme. Warga yang mengidentifikasi seseorang terlibat dalam hal yang membahayakan dapat melapor ke info-house.
”Strategi pencegahan yang efektif harus dibangun di dalam sistem yang sudah ada di masyarakat. Jadi, penting bagi Indonesia untuk menemukan sistem yang telah ada dan membangun relasi dengan semua badan terkait,” ujar Ingemann.
Deputi Bidang Kerja Sama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Andhika Chrisnayudhanto menyampaikan, Pemerintah Indonesia telah bekerja sama lintas kementerian dan badan dalam menyusun rencana aksi dalam melawan ekstremis keras. Salah satu visi dalam rencana aksi ini adalah meningkatkan ketahanan komunitas dari ancaman ekstremisme menuju terorisme.
”Terkait kerja sama, Indonesia bisa bekerja sama dengan Denmark. Ada sekitar 80 negara yang perlu didekati untuk belajar mengenai penanganan kasus warga negara yang menjadi militan asing NIIS,” kata Andhika.
Beda, tetapi sama
Direktur Institut Analisis Kebijakan dan Konflik (IPAC) Sidney Jones mengatakan, Indonesia dan Denmark merupakan dua negara yang sangat berbeda dalam hal jumlah penduduk, pendapatan per kapita, dan agama mayoritas. Namun, kedua negara juga memiliki sejumlah kesamaan.
Menurut dia, kedua negara menggunakan pendekatan campuran, yakni atas-bawah dan bawah-atas, dalam menangani isu radikalisme dan ekstremisme. Meskipun begitu, Denmark lebih sukses mengimplementasi pendekatan atas-bawah dan Indonesia lebih cocok menggunakan pendekatan bawah-atas.
”(Dalam prosesnya), kedua negara harus mengonfrontasi kepentingan birokrasi. Indonesia sering menyebutnya dengan istilah ego-sektoral, yaitu setiap pihak berupaya memiliki kontrol atas sumber daya, strategi, dan informasi dalam melawan terorisme dan kekerasan ekstremisme. Jika Denmark mampu menangani isu ini, kedua negara bisa berbagi,” tuturnya.
Jones melanjutkan, ada sejumlah elemen paralel lainnya yang membuat Indonesia dan Denmark sama. Kedua negara melihat aksi terorisme sebagai kejahatan sehingga ditangani oleh otoritas keamanan. Indonesia dan Denmark juga melihat individu yang terpapar ekstremisme sebagai orang yang salah arah, bukan orang jahat.
Apalagi, tuturnya, faktor-faktor yang menyebabkan warga kedua negara bergabung dengan NIIS pun mirip. Warga kedua negara bergabung bukan karena faktor pendorong, seperti kondisi dalam negeri yang tidak aman ataupun represif. Namun, lebih karena faktor penarik, seperti alasan kemanusiaan serta iming-iming jaminan pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan.