Film yang dibuat oleh Joris Ivens pada 1946 ini menggambarkan bahwa Indonesia tidak dapat merdeka dengan berjuang sendiri. Terlebih dengan kemerdekaan yang dinyatakan melalui pidato.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia harus tetap menjaga kemajemukan dan hubungan baik dengan negara lain dalam prinsip saling menghormati kedaulatan masing-masing. Ruang sempit dari gagasan nasionalisme mengenai arti berbangsa dapat kembali diperluas dalam konteks kerja sama multilateral sesama negara merdeka.
Direktur Monash Herb-Feith Indonesia Engagement Centre Australia Ariel Heryanto menyampaikan hal ini dalam kuliah umum berjudul ”Two Nations: a Friendship is Born” di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (20/11/2019). Acara ini sekaligus menandai pemutaran film Indonesia Calling yang juga dihadiri Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan.
Kuliah umum dan pemutaran film merupakan rangkaian acara Australia Connect yang menjadi peringatan hubungan diplomatik Indonesia dan Australia ke-70 pada 27 Desember 2019. Dalam paparannya, Ariel menyampaikan, kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah hal baru bagi dunia karena belum ada negara terjajah berani menyatakan kemerdekaan dan kedaulatan.
”Saat itu, Soekarno-Hatta diketahui sedang menyiapkan kemerdekaan yang dijanjikan Jepang. Demikian pula dengan Belanda yang menjanjikan dan menawarkan sejenis kemerdekaan kepada Indonesia, tetapi tidak penuh,” tutur Ariel.
Namun, Indonesia berhasil merebut kesempatan yang begitu pendek, menyatakan kemerdekaan tanpa bantuan Jepang ataupun Belanda. ”Itu di luar naskah, di luar rencana dan sebenarnya tidak siap,” kata Ariel.
Paparan yang disampaikan Ariel terkait film Indonesia Calling, film reka ulang pemberontakan oleh pelaut India di atas Patras, sebuah kapal penuh muatan senjata yang berlayar ke Indonesia dari Sydney, Australia. Menurut dia, pesan utama film ini adalah kemerdekaan hak setiap bangsa.
Ariel mengatakan, jika dilihat lebih jauh, kemerdekaan yang diraih Indonesia tidak lepas dari peran serta Australia. Film yang dibuat oleh Joris Ivens pada 1946 ini menggambarkan bahwa Indonesia tidak dapat merdeka dengan berjuang sendiri. Terlebih dengan kemerdekaan yang dinyatakan melalui pidato.
”Pidato kemerdekaan Indonesia itu sangat rapuh dan akan sangat mudah dihancurkan oleh sekutu yang berhasil mengalahkan Jepang. Namun, gagasan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap bangsa itu gagasan dunia internasional yang mendapat dukungan dari sejumlah negara,” kata Ariel.
Pada akhir film berdurasi 22 menit tersebut diperlihatkan bahwa kemerdekaan Indonesia mendapat dukungan dari Australia, India, dan China. Dukungan didapat karena setiap bangsa menyadari bahwa kemerdekaan merupakan hak bangsa.
Negara tetangga
Quinlan menyampaikan, sejarah memang berperan penting dengan kehidupan saat ini. Kemerdekaan Indonesia, bagi Australia, merupakan peristiwa penting yang juga membuat hubungan bilateral menjadi erat.
”Ketika saya berusia sembilan tahun saat duduk di bangku sekolah dasar, saya sudah belajar mengenai dukungan Australia bagi kemerdekaan Indonesia. Artinya, kemerdekaan Indonesia adalah bagian penting dari Australia,” ujarnya.
Film Indonesia Calling, menurut Quinlan, mengingatkan mengenai kebijakan luar negeri Australia yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan setiap negara di dunia. Dengan begitu, setiap negara dapat menjamin keamanan dan kedamaian dunia.
Dalam dunia yang cepat berubah saat ini, baik politik maupun ekonomi, Quinlan menyatakan, Indonesia dan Australia perlu terus bersama-sama menyiapkan strategi menghadapi segala tantangan. Untuk itu, ia berharap kedua negara dapat mengenal lebih dalam satu dengan yang lain.
”Melalui pameran hingga 14 Desember ini, saya berharap kita bisa diingatkan akan permulaan yang penuh inspirasi tentang hubungan kita. Sebab, masa depan kita sebagai negara tetangga sangat terkait satu sama lain,” ujar Quinlan.