Kasus HAM Masa Lalu Tak Kunjung Tuntas, Komnas HAM Usulkan Tiga Hal
Salah satu dari ketiga usul tersebut, Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atas Undang-Undang Pengadilan HAM untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada Komnas HAM.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JEMBER, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM mengusulkan tiga hal sebagai solusi atas perdebatan yang tak kunjung tuntas terkait pemenuhan alat bukti dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Salah satunya, Komnas HAM diberikan kewenangan penyidikan.
Komisioner Komnas HAM, M Choirul Anam, menyampaikan hal itu dalam diskusi bertajuk ”Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu pada Periode Kedua Presiden Joko Widodo”, yang menjadi salah satu agenda dalam Festival Hak Asasi Manusia (HAM), di Jember, Rabu (20/11/2019).
Selain Anam, hadir pula sebagai pembicara pengajar Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Muktiono, dan Mugiyanto Sipin, korban pelanggaran HAM pada 1998, sekaligus mantan pengurus Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).
Ada setidaknya 12 kasus yang masuk kategori pelanggaran HAM berat masa lalu. Ke-12 kasus itu adalah peristiwa 1965-1966, penembak misterius (petrus) 1982, peristiwa Talangsari, Lampung, 1989, tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II 1998-1999, serta peristiwa Mei 1998.
Selain itu, ada pula penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, peristiwa Wamena dan Wasior 2001-2003, peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003, peristiwa Aceh-Simpang KKA 1998, peristiwa Aceh Rumoh Geudong 1989, serta peristiwa santet atau pembunuhan beberapa terduga dukun santet di Banyuwangi, Malang, dan Jember 1998-1999.
Anam mengatakan, kemauan politik pemerintah dan penegak hukum dalam menuntaskan kasus-kasus HAM masa lalu itu masih dipertanyakan. Pasalnya, temuan penyelidikan Komnas HAM atas beberapa kasus tak kunjung ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Kejagung selalu berdalih alat bukti yang dikumpulkan Komnas HAM tidak memadai.
Padahal, selain kesaksian, bukti yang dibutuhkan adalah dokumen resmi yang menunjukkan adanya perintah atas tindakan yang melanggar HAM. Seluruh dokumen tersebut ada pada instansi yang diduga melakukan pelanggaran.
Untuk mendapatkannya, butuh kewenangan merampas alat bukti. Namun, mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pihaknya tak memiliki kewenangan tersebut.
”Jika pemerintah dan penegak hukum meminta kami untuk merampas dokumen-dokumen tersebut, tolong beri kami surat perintah perampasan bukti dan penangkapan orang,” ujar Anam.
Alasan Kejagung tidak bisa menindaklanjuti temuan Komnas HAM karena kurang alat bukti itu kembali disampaikan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, beberapa waktu lalu. Sejumlah bukti disebutnya sulit ditemukan karena peristiwa sudah terjadi bertahun-tahun lampau.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan, pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan yang muncul di antara Kejagung dan Komnas HAM. Penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu tetap menjadi perhatian pemerintah karena jika tidak segera diselesaikan, kasus-kasus itu selalu jadi komoditas politik.
Anam sepakat, penuntasan kasus perlu dipercepat. Untuk memotong perdebatan seputar pengumpulan bukti, Komnas HAM mengusulkan tiga hal.
Pertama, membentuk tim bersama dengan sekretariat di Komnas HAM agar pihaknya mudah mengontrol perkembangan dan memudahkan akses publik terhadap perkembangan penyelidikan dan penyidikan.
Kedua, memilih tiga dari 12 kasus yang diperkirakan mudah penyelesaiannya. ”Ketiga, Presiden Joko Widodo perlu menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atas UU No 26/2000 untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada Komnas HAM,” ujar Anam.
Peran hakim
Komitmen pemerintah untuk menuntaskan kasus HAM tidak hanya dipertanyakan pada proses penyelidikan dan penyidikan, tetapi juga pada penyelenggaraan pengadilan HAM. Pengadilan HAM pernah digelar untuk menuntaskan kasus Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura.
Mengutip David Cohen dalam laporannya yang berjudul ”Intended to Fail”, Muktiono berpendapat, setiap tahap pengadilan HAM memang terkesan dimaksudkan untuk gagal. Salah satunya pada kasus Timor Timur, para pelaku justru dibebaskan. ”Jika pun ada kasus yang berhasil, faktor penentunya adalah keberhasilan hakim,” lanjutnya.
Oleh karena itu, ia mendorong mekanisme penemuan hukum oleh hakim atau rechtsvinding dalam pengadilan HAM. Adapun penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkret. Hasil penemuan hukum bisa menjadi dasar pengambilan keputusan.
Menurut Muktiono, penemuan hukum dapat memberikan kekuatan moral bagi institusi dalam sistem peradilan untuk membawa pelanggar HAM berat ke pengadilan HAM, baik yang bersifat ad hoc maupun permanen.
Selain itu, penemuan hukum dapat memfasilitasi hakim dan korban untuk menggali nilai keadilan berdasarkan prinsip hukum HAM yang ada, baik yang berlaku di masyarakat maupun sistem hukum HAM internasional.
Penemuan hukum oleh hakim itu, ujar Muktiono, dapat dilakukan secara paralel dengan proses penyelidikan dan penyidikan. Dengan demikian, jika peradilan HAM terwujud, setiap kelemahan aturan telah diantisipasi.
Mugiyanto Sipin mengingatkan, lingkup penyelesaian kasus HAM tidak hanya pada pengadilan, tetapi juga pemenuhan hak korban.
Korban merupakan pihak penanggung akibat paling berat dari kasus pelanggaran HAM. Selain kehilangan keluarga, mereka juga mendapatkan stigma yang berbuntut diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena itu, penyelesaian kasus HAM melalui jalur hukum ataupun pemenuhan hak korban harus simultan. ”Penyelesaian kasus HAM di Indonesia tidak bisa ditempuh dengan jalur tunggal peradilan saja. Sebab, kompleksitas pelanggaran, skala kejadian, dan waktu terjadinya yang sudah sangat lama memerlukan kombinasi penanganan,” kata Mugiyanto.