Kampung KB yang seharusnya dihadirkan di kampung tertinggal dan terisolasi justru dijumpai di wilayah yang mudah dijangkau. Tujuannya pun salah sasaran.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·2 menit baca
MANOKWARI, KOMPAS — Tiga tahun sudah konsep Kampung Keluarga Berencana berjalan setelah dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 2016. Namun, implementasi dari program tersebut belum optimal. Untuk itu, evaluasi perlu dilakukan.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo melihat, implementasi Kampung Keluarga Berencana (KB) di sebagian besar wilayah hanya sebatas proyek. Padahal, filosofi dari program Kampung KB adalah tempat untuk pelayanan dan terapi bagi masyarakat yang berada di kampung yang tertinggal, terisolasi, dan terpencil.
”Kampung KB yang ada sekarang justru banyak dijumpai di wilayah yang mudah dijangkau dan mudah dibina. Tujuannya pun bisa menjadi salah sasaran. Program Kampung KB perlu dilakukan evaluasi untuk melihat efektivitasnya dengan melakukan penelitian singkat,” katanya dalam kegiatan diskusi bersama pemangku kepentingan terkait kependudukan dan keluarga berencana di Manokwari, Papua Barat, Rabu (20/11/2019).
Hasto mengatakan, meski namanya Kampung KB, aktivitas yang dilakukan di dalamnya tidak terbatas pada pemasangan alat kontrasepsi.
Setidaknya ada empat hal lain yang bisa diimplementasikan di Kampung KB, yakni terkait kependudukan, keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, ketahanan keluarga dan pemberdayaan keluarga; serta kegiatan lintas sektor, seperti infrastruktur, sosial ekonomi, kesehatan, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak.
Saat ini, jumlah Kampung KB di seluruh Indonesia tercatat 15.537 kampung. Namun, banyak di antaranya tak lagi aktif menjalankan fungsi.
Peran lintas sektor untuk mendukung keberadaan Kampung KB di masyarakat pun masih lemah. ”Padahal, Kampung KB merupakan perwujudan dari sinergitas antar-kementerian dan lembaga,” ucap Hasto.
Kepala Dinas Kesehatan Papua Barat Otto Parorongan mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan BKKBN untuk mengembangkan Kampung KB.
Di Papua Barat, terdapat 107 Kampung KB. Namun, Kampung KB belum tersedia di daerah yang sulit dijangkau, seperti Kabupaten Pegunungan Arfak dan Kabupaten Maybrat.
”Kami kini mencoba menjangkau masyarakat di wilayah yang sulit dijangkau dengan bekerja sama bersama babinsa (bintara pembina desa). Para babinsa akan dibekali dengan kemampuan pelayanan kesehatan dasar sehingga mampu membantu masyarakat di pedalaman,” ucapnya.
Ketua Dewan Adat Papua John Warijo menuturkan, jumlah layanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang terbatas menjadi kendala masyarakat adat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Tingginya kematian ibu dan anak salah satunya karena akses layanan kesehatan yang sulit dijangkau.
Kepemilikan Kartu Indonesia Sehat tidak menjadi solusi karena biaya perjalanan yang dibutuhkan menuju pusat pelayanan kesehatan masih mahal.
”Kami harap, pelayanan kesehatan yang didekatkan dengan masyarakat. Setidaknya secara berkala tenaga kesehatan datang mengecek ibu-ibu hamil yang berada di kampung dan langsung diintervensi dengan vitamin dan berbagai kebutuhan gizi lainnya,” katanya.