Konsekuensi Genjot Belanja, Utang Pemerintah Meningkat
Utang harus digunakan untuk belanja berdampak langsung pada ekonomi, seperti belanja modal dan bantuan sosial. Hingga Oktober 2019, realisasi belanja modal masih rendah, Rp 100,8 triliun atau 53,2 persen dari APBN.
Oleh
Karina Isna Ismawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Strategi menggenjot belanja di tengah penerimaan negara yang seret membawa konsekuensi keuangan. Utang pemerintah akan meningkat pada akhir tahun untuk menutup defisit anggaran.
Penambahan utang bisa ditoleransi sepanjang masih dalam batas aman dan pengelolaan risikonya terjaga dengan baik. Pada saat yang sama, utang harus dialokasikan ke belanja produktif yang efektif menstimulasi ekonomi.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi pembiayaan utang dari surat berharga negara (SBN) dan pinjaman mencapai Rp 384,5 triliun atau 107 persen dari target. Pembiayaan utang per Oktober 2019 tumbuh 14,2 persen, jauh dari Oktober 2018 yang tumbuh negatif 18,8 persen. Adapun total utang pemerintah pada Oktober 2019 sebesar Rp 4.756,13 triliun.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Ahmad Akbar Susamto, menuturkan, pemerintah tidak mempunyai banyak pilihan dalam dua bulan mendatang. Pilihan merelaksasi defisit anggaran dan menambah utang cukup rasional dalam kondisi pelambatan pertumbuhan ekonomi.
”Defisit APBN melebar tidak masalah, asalkan digunakan untuk hal baik. Dalam kondisi saat ini, penyerapan anggaran belanja mesti digenjot untuk mendorong perekonomian,” kata Ahmad dalam acara CORE Economic Outlook, Rabu (20/11/2019), di Jakarta.
Utang harus digunakan untuk belanja berdampak langsung pada ekonomi, seperti belanja modal dan bantuan sosial. Hingga Oktober 2019, realisasi belanja modal masih rendah, Rp 100,8 triliun atau 53,2 persen dari APBN. Adapun realisasi bantuan sosial Rp 91,7 triliun atau 94,5 persen dari pagu.
Ahmad mengatakan, pemerintah tetap harus berhati-hati menambah utang, apalagi sebagian besar bersumber dari domestik. Penerbitan SBN acap kali menimbulkan perebutan likuditas (crowding out) antara pemerintah dan perbankan. Pada saat yang sama, penambahan utang domestik berpotensi mengurangi belanja swasta.
”Uang yang seharusnya digunakan swasta untuk belanja dialihkan guna membeli surat utang pemerintah. Hal ini justru mengurangi dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi,” ujar Ahmad.
Di sisi lain, menurut Ahmad, APBN bukan satu-satunya instrumen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. APBN memiliki banyak keterbatasan, apalagi dalam kondisi penerimaan negara yang lesu. Pemerintah perlu merancang terobosan di luar kebijakan APBN. Jika tidak, dilema-dilema fiskal akan terus terjadi.
Pada 2019, target penerbitan SBN neto meningkat dari Rp 388,96 triliun menjadi Rp 439,03 triliun. Mengutip data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, realisasi SBN neto per 6 November 2019 mencapai Rp 428,8 triliun atau 97,67 persen dari proyeksi APBN, yakni Rp 439,03 triliun.
Dana siaga
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, penambahan utang untuk mengantisipasi risiko pelambatan perekonomian global. Di dalam negeri, penyaluran belanja tetap harus direalisasikan mendekati target. Kondisi itu yang menyebabkan realisasi penerbitan SBN dan pinjaman lebih tinggi daripada tahun lalu.
”Dana disiagakan sehingga jika dibutuhkan bisa diambil agar belanja negara dan hasilnya, seperti pembangunan jembatan, bantuan nontunai, dan bantuan lainnya, tetap dilaksanakan,” ujar Suahasil.
Pemerintah sampai akhir tahun masih akan melakukan dua kali lelang surat utang negara dan satu kali penerbitan surat berharga syariah negara. Strategi pembiayaan dari utang tetap oportunistik dengan mencari waktu yang tepat, harga yang pas, dan imbal hasil yang rendah. Dengan strategi itu, utang tidak terlalu membebani APBN.
Menurut Suahasil, defisit APBN 2019 diupayakan tidak lebih dari Rp 354,3 triliun atau 2,2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pelebaran defisit pada 2019 belum tentu memengaruhi kinerja APBN 2020. Defisit akan dikelola dengan baik untuk menjaga kepercayaan investor dan sentimen dunia usaha.
Penyerapan anggaran
Deputi Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Prijambodo mengatakan, kualitas belanja pemerintah berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi. Namun, stimulus dari belanja pemerintah belum optimal karena terganjal penyerapan anggaran.
Mengutip data Kemenkeu, realisasi belanja negara pada Oktober 2019 sebesar Rp 1.798 triliun atau 73,1 persen dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Realisasi belanja itu hanya tumbuh 4,5 persen, padahal pada Oktober 2018 tumbuh 11,9 persen.
Belanja negara terdiri dari realisasi belanja pemerintah pusat Rp 1.121,1 triliun atau 68,6 persen dari pagu serta realisasi transfer ke daerah dan dana desa Rp 676,9 triliun atau 81,9 persen dari pagu APBN.
”Penyerapan anggaran mulai tahun depan akan didorong sejak awal tahun. Penyerapan merata pada setiap triwulan sulit sehingga akan diberlakukan kenaikan bertahap,” ujar Bambang.
Menurut Bambang, selama ini penyerapan belanja terkonsentrasi pada akhir tahun sehingga dampak terhadap pertumbuhan ekonomi tidak optimal. Ke depan, belanja yang sifatnya langsung akan disalurkan secara bertahap sejak awal tahun. Strateginya dengan melaksanakan tender sedini mungkin dan mempersingkat proses lelang proyek.
Dari hasil kajian Bappenas, setiap 1 persen kenaikan belanja kementerian/lembaga memiliki andil terhadap pertumbuhan ekonomi 0,06 persen. Namun, kenaikan belanja negara pada 2017-2018 yang sebesar 11 persen hanya memberikan andil terhadap pertumbuhan ekonomi 0,24 persen. Data itu menyiratkan belanja pemerintah belum tepat sasaran.