Pemberdayaan masyarakat menjadi strategi Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, dalam mengurangi timbulan sampah laut.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberdayaan masyarakat menjadi strategi Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, dalam mengurangi timbulan sampah laut. Tidak hanya itu, berkat kolaborasi antara pemerintah daerah, masyarakat, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat, wilayah pesisir kini memiliki nilai ekonomis dari sektor pariwisata.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyuwangi Husnul Chotimah mengatakan, salah satu faktor di balik sukses Banyuwangi mengurangi timbulan sampah plastik adalah perubahan perilaku masyarakat. Langkah ini tidak lepas dari peran Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Banyuwangi.
”Perilaku masyarakat berubah lewat program Tebar Ikan Terkendali (Barkanli) yang memanfaatkan selokan, parit, saluran irigasi pertanian dan sungai,” kata Husnul dalam Forum Kemitraan Multipihak 2019 yang diinisiasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Rabu (20/11/2019).
Menurut Husnul, program tersebut terbukti mampu mengubah perilaku masyarakat di Kecamatan Muncar untuk membersihkan saluran-saluran dari sampah plastik. Menariknya, mereka bergerak secara swadaya, sedangkan dinas perikanan dan pangan hanya mendukung dengan membagikan ribuan bibit ikan.
Beberapa masyarakat bahkan menjadikan area-area tersebut sebagai tempat wisata. Mereka menata kawasan kuliner, menyediakan perahu wisata, dan menjadikan parit sebagai tempat pijat ikan. ”Seorang warga bernama Wibisono menginisiasinya. Ia juga rela mengajari para warga membakar ikan,” kata Husnul.
Sebagai kabupaten terluas di Pulau Jawa, Banyuwangi memiliki garis pantai sepanjang 175,8 kilometer. Banyak masyarakat yang menjadikan sektor perikanan laut sebagai mata pencarian. Menurut Husnul, tanpa perhatian serius terhadap permasalahan sampah plastik, kawasan pantai di Banyuwangi akan menjadi bencana bagi perekonomian masyarakat.
Di sini, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi berperan. Secara paralel, mereka juga mengubah perilaku masyarakat menjadi para wiraswasta di bidang pariwisata. Maka, tidak mengherankan jika kini muncul kelompok-kelompok pegiat pariwisata di sepanjang pesisir selatan Kabupaten Banyuwangi.
”Masyarakat Wongsorejo, misalnya, dulu mereka menangkap ikan dengan merusak terumbu karang. Sekarang, mereka melestarikannya untuk daya tarik wisata,” ujar Husnul.
Keuntungan ekonomi terus dirasakan masyarakat sehingga mereka juga terus bergerak mengurangi timbulan sampah plastik di laut. Dari hulu, gerakan tersebut dijalankan melalui Barkanli, sedangkan di hilir ada kelompok sadar pariwisata.
Selain masyarakat dan dinas terkait, pengurangan timbulan sampah di Banyuwangi juga tidak lepas dari peran swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan akademisi. Pihak swasta selama ini mendukung lewat penyediaan sarana pengelolaan sampah, seperti TPS, tempat sampah, dan gerobak sampah.
Dampak pariwisata
Di Provinsi Bali, permasalahan sampah plastik turut memberikan dampak krusial pada sektor pariwisata. Produksi sampahnya mencapai 4.281 ton perhari. Selain menurunkan nilai estetika dan kebersihan, sampah plastik juga merusak ekosistem pesisir dan lautan. Adapun mikroplastik juga menghambat pertumbuhan terumbu karang.
Untuk itu, Gubernur Bali mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 97 Tahun 2019 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Sekali Pakai. Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Bali I Wayan Wiasthana Ika Putra menyebutkan, ada tiga bahan yang dibatasi, yakni sedotan, kantong plastik, dan styrofoam.
”Sampah plastik di Bali berasal dari 400 aliran sungai di Bali dan kiriman dari daerah lain. Sebanyak 50 persen dari Bali Selatan,” katanya.
Dalam pembukaan forum, Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, standar operasi pengelolaan sampah laut di Perfektur Kagawa, Jepang, menjadi salah satu contoh kerja sama penanganan sampah yang baik. Terjalin kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, asosiasi nelayan, dan operator pengelolaan limbah.
”Di Indonesia, ada program Citarum Harum yang sampai sekarang masih berlangsung. Pengelolaan polusi air di hulu sungai untuk mencegah sampah laut,” ujarnya.